Pages

KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM MEMBANGUN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.



A. KONSEP KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN
Alenia kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depa pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan adalah sebuah jembatan. Bung Karno sendiri dalam Pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan adalah suatu jembatan emas.

Tujuan akhir kemerdekaan adalah mencapai masyarakat adil dan makmur yang hanya dapat dilakukan jika bangsa dan masyarakat dapat menentukan nasibnya sendiri, yaitu dengan cara membentuk negara yang berdaulat. Hanya dengan adanya kedaulatan, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri, baik dalam menentukan nasib sendiri maupun dalam upaya mencapai masyarakat adil dan makmur. Soekarno dalam pledoi yang dikemukakan di depan Landraad Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat” menyatakan “Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi, maupun sosial, maupun politik, diperuntukkan bagi yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.”

Kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum kene¬garaan . Di dalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan ne¬ga¬ra (state). Dari segi bahasa, perkataan ke¬daulatan itu sendiri dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata daulat dan dulatan yang da¬lam mak¬na klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan). Dalam Al-Quran yang mencermin¬kan penggu¬na¬an bahasa Arab klasik, kata daulah ini diper¬gunakan ha¬nya dua kali (dua tem¬pat) , yaitu dalam QS. 3: 140 yang mem¬pergunakan bentuk ka¬ta kerja nuda¬wiluha (ia Kami perganti-kan atau pergilirkan) , dan dalam QS. 59: 7 yang mempergunakan kata kerja duulatan (ber¬edar) . Jika di¬perhatikan, dalam ayat pertama di atas, makna kata daulat dipakai untuk pengertian pergantian kekuasaan di bi¬dang politik, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekua¬sa¬an di lapangan perekonomian .

Selain itu, dalam sejarah, istilah daulat (kedaulatan) itu juga di¬per¬gunakan untuk pengertian dinasti, rezim poli¬tik ataupun kurun waktu kekuasaan. Frasa-frasa seperti Dau¬lat Bani Umaiyah, Daulat Bani Abbasiyah, Daulat Bani Fatimiyah, dan lain-lain biasa dipakai untuk maksud me¬nun¬juk kepada pengertian dinasti atau rezim politik itu. Yang dimaksudkan dengan Daulat Bani Umaiyah , mi¬sal¬nya, adalah dinasti yang berpusat di Syria yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan pada akhir abad ke-6, dan sejak itu terus berkuasa secara terus temurun. Daulat berarti dinasti, sedangkan Ba¬ni berarti bangunan keluarga dan Umaiyah adalah nama yang di¬am¬bilkan dari nama keluarga pendi¬rinya, yaitu Mu’awiyah. Demikian pula dengan sebutan Daulat Abbasiyah, Daulat Osmani, dan lain sebagainya, semuanya menunjuk kepada pengertian kurun waktu dari dinasti kekuasaan.

Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu da¬lam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan menge¬nai kekuasaan ter¬tinggi, baik di bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan makna kekuasaan yang bersifat tertinggi itu, terkandung pula dimensi waktu dan proses peralihannya seba¬gai fenomena yang bersifat alamiyah. Pandangan seperti ini terdapat pula dalam pemikiran Ibn Khaldun (1332-1406) mengenai naik tenggelamnya kekuasaan negara-negara da¬lam seja¬rah umat manusia. Sebagaimana ditulis dalam Mukadimah , muncul dan tenggelamnya negara (kerajaan-kerajaan) di masa lalu atau yang disebut oleh Ibn Khaldun de¬ngan “al-daulah” itu merupakan tun¬tutan alamiah yang sangat rasional. Pandangan Ibnu Khaldun inilah yang sebe¬narnya mempengaruhi Niccolo Maciavelli (1461-1527, yang lahir kurang lebih 63 tahun setelah Ibnu Khaldun wafat) ke¬tika menulis karya monumentalnya l’Prince . Buku l’Prince ini, seperti Mukadimah, juga mengungkapkan teori yang sangat mirip mengenai naik-tenggelamnya negara dalam sejarah umat manusia.

Hal ini menunjukkan bahwa gagasan kedaulatan yang berkem¬bang di timur sebelumnya pernah turut terbawa serta ke Eropa ber¬samaan dengan pengaruh pemikiran-pemikiran kaum Muslimin ke Eropa pada abad pertengahan, sebelum munculnya gerakan Re¬naissance. Namun demikian, dalam perkembangan lebih lanjut, ga¬gas¬an kedaulatan itu sendiri di dunia barat mengalami pula per¬ubah¬an dan perkembangan¬nya sendiri. Ide kedaulatan dikem¬bang¬kan atas dasar pemi¬kiran berkenaan dengan konsep-konsep ke¬kuasaan yang bersumber kepada pemikiran Yunani dan Romawi. Bahkan, ketika gagasan kedaulatan ini diadopsi ke dalam bahasa dan kebudayaan politik masyarakat Melayu Nusantara, ide ke¬dau¬¬latan itu sendiri sudah mengalami perkembangan pesat sebagai kon¬sep mengenai kekuasaan tertinggi. Karena itulah, frasa-fra¬sa Daulat Tuanku atau Duli Tuanku Raja dan lain-lain menjadi istilah-istilah baku di lingkungan istana-istana para Raja di seluruh wilayah Nusantara, yang dipengaruhi oleh bahasa Melayu pa¬da umumnya, khususnya di pulau Sumatera . Frasa-frasa ini biasa¬nya dipergunakan untuk me¬nyebut Raja, Ratu, Permaisuri, Pangeran, dan sebagainya yang secara filosofis berisikan pernyataan dari orang yang menyebutnya bahwa sang Raja atau Pangeran itu berkuasa pe¬nuh atas dirinya.

Dengan demikian, dalam pengertian klasik, konsep kedaulatan memang dipakai untuk menyebut kurun waktu kekuasaan dan dinasti. Konsep tradisional mengenai ke¬dau¬latan itu juga dikaitkan dengan pengertian kekuasaan yang abstrak, tunggal, utuh dan tak terbagi ataupun tak terpecah-pecah, serta bersifat tertinggi dalam arti tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Dalam bahasa Inggris, isti¬lah kedaulatan disebut souvereignty yang berasal dari baha¬sa Latin, superanus. Perkataan ini juga berkaitan dengan kata supreme dan supremacy. Dalam istilah Jerman dan Belanda serta bahasa-bahasa Ero¬pa lain¬nya, istilah ini di¬adop¬si dan disesuaikan dengan lafal masing-masing bahasa, seperti suvereniteit, soverainette, sove¬reig¬niteit, sou¬vereyn, sovereignty, souvereyn, supera¬nus, summa po¬tes¬tas, maiestas (majesty), dan lain-lain sebagainya yang diadopsi dari bahasa-bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Belanda, dan Italia, yang dipe¬nga¬ruhi oleh Bahasa Latin. Semua istilah tersebut di atas me¬nunjuk kepada pengertian kekuasaan tertinggi.

Dalam berbagai literatur politik, hukum, dan teori kenegaraan pada zaman sekarang, terminologi kedaulatan (souvereignty) itu pada umumnya diakui sebagai konsep yang dipinjam dari bahasa Latin, soverain dan superanus, yang kemudian menjadi sovereign dan sovereignty dalam bahasa Inggris yang berarti penguasa dan kekua¬saan yang tertinggi. Dalam bahasa Arab modern dewasa inipun, istilah kedaulatan tersebut dipahami dalam konteks makna kata souvereignty sebagaimana di Barat . Dengan demikian, da¬pat di¬ka¬takan bahwa dalam perkembangan sejarah telah terjadi perubahan dan pergeseran-pergeseran makna sede¬mikian rupa sehingga ter¬minologi kedaulatan dalam bahasa politik Indonesia sudah tidak terbedakan lagi maknanya, apakah berasal dari sumber Barat atau sumber aslinya istilah itu pertama kali dipinjam, yaitu dari bahasa Arab. Karena itu, yang terpenting adalah bahwa secara teknis, kon¬sep kedau¬latan itu berkaitan dengan konsep kekuasaan yang ter¬tinggi.

Kedaulatan dalam pandangan klasik tidak da¬pat dipisahkan dari konsep negara. Tanpa kedau¬latan, apa yang dinamakan negara itu tidak ada, karena tidak berjiwa. Majesty atau Sovereignty itu menurut Bodin adalah “...the most high, absolute, and perpetual power over the citizens and subjects in a commonweale”. Perta¬ma, kedaulatan itu bersifat (i) mutlak, (ii) abadi, dan karena itu juga harus bersifat (iii) utuh, tunggal, dan tak terbagi-bagi atau terpecah-pecah, serta (iv) bersifat tertinggi dalam arti tidak terde¬rivasikan dari kekuasaan yang lebih tinggi . Kedua, kekuasaan berdaulat dalam negara itu berkaitan de¬ngan fungsi legislatif, yaitu negara itu berdaulat dalam mem¬buat hukum atau undang-undang dan atau mengha¬pus¬kan hukum. Ketiga, hukum itu sendiri merupakan perintah dari yang berdaulat tersebut yang pada za¬mannya memang ber¬ada di tangan Raja.

Konsep kekuasaan tertinggi itu sendiri dengan demi¬kian dapat ber¬sifat internal dalam suatu negara, dan dapat pula bersifat eksternal, yaitu kekuasaan mutlak dan merdeka suatu negara berhadapan dengan negara lain . Karena di dalamnya terkandung dua konteks pengertian sekaligus, yaitu: Pertama, kekuasaan tertinggi dalam nega¬ra atau souvereignty in the state yang berkaitan dengan pengertian kedaulatan yang bersifat internal. Kedua, konsep kedaulatan negara (state’s souvereignty) berkaitan dengan pengertian kedaulatan yang bersifat eksternal, yaitu souvereignty of the state dalam berhadapan negara berdaulat lainnya. Inilah yang biasa disebut dengan konsep kedaulatan negara dalam hukum Internasional.

Sebagai salah satu alat analisis yang penting, dapat pula dikemu¬kakan bahwa pemahaman terhadap konsep kedaulatan itu dapat di¬bagi ke dalam dua aspek. Keduanya saling berkaitan satu sama lain, yaitu soal lingkup kekuasaan (scope of power) dan soal jangkauan kekuasaan itu (domain of power) . Lingkup kedaulatan berkenaan dengan soal akti¬vitas yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, se¬dang¬kan jangkauan kedaulatan berkaitan dengan siapa yang menjadi subjek dan pemegang kedaulatan sebagai konsep mengenai ke¬kuasaan yang tertinggi (the sovereign) . Dalam kaitan dengan ling¬kup kedaulatan, aktivitas kekuasan tertingga me¬li¬puti proses atau kegiatan pengambilan keputusan (decision making process). Di sini dipersoalkan, seberapa besar ke¬ku¬at¬an keputusan yang ditetapkan itu di bidang legislatif atau¬pun eksekutif. Sedangkan jangkauan ke¬dau¬latan berkaitan dengan apa atau siapa yang memegang kekuasaan dan siapa atau apa yang menjadi objek atau sasaran yang dijangkau oleh kekuasaan tertinggi itu.

Dengan demikian suatu negara merdeka adalah negara yang berdaulat, yaitu negara yang memiliki kekuasaan tertinggi pada organ negara itu sendiri. Esensi dari kedaulatan adalah adanya kekuasaan untuk menentukan tujuan dan cita-cita sendiri, serta mengelola sumber daya sendiri, serta memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut. Tanpa itu semua, suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itulah kedaulatan menjadi unsur konstitutif suatu negara.

Makna kedaulatan tersebut dalam pelaksanaannya adalah kemandirian suatu bangsa. Mohammad Hatta yang mendeklarasikan Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925 telah menyatakan:
Perhimpunan Indonesia menghendaki suatu kebijaksanaan menyandarkan diri pada kekuatan sendiri, yaitu suatu kebijaksanaan berdiri di atas kaki sendiri. Perhimpunan ini akan mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Sebab hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang-benderang.


Kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya. Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi dinamis antara interdependensi dan independensi.

B. TANTANGAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN
Pada masa lalu, ancaman terhadap kedaulatan dan kemandirian adalah penjajahan oleh negara lain. Untuk menguasai atau menjajah suatu negara, harus dilakukan dengan pendudukan secara fisik dan mengambil-alih pemerintahan negara yang dijajah. Namun di era modern ini hal itu kecil kemungkinan dapat terjadi karena prinsip kemerdekaan adalah hak semua bangsa telah diakui secara universal, bahkan memiliki instrumen hukum dan paksaan untuk menegakkannya melalui organisasi PBB. Kalaupun invansi dapat dilakukan, harus memiliki alasan cukup kuat, bukan semata-mata atas kehendak untuk menjajah. Bahkan upaya tersebut dalam praktikknya hanya dilakukan oleh negara-negara kuat seperti Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak, serta oleh Rusia terhadap Georgia. Itupun akan mendapatkan kecaman dari seluruh penjuru dunia.

Penguasaan suatu negara atas negara lain di era modern ini dilakukan secara tidak langsung dengan cara menciptakan ketergantungan, terutama di bidang ekonomi yang kemudian dengan mudah dapat meluas ke bidang politik dan sosial. Ancaman tersebut sangat besar di era globalisasi yang mengaburkan batas-batas antar negara sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta kecenderungan semakin kuatnya rezim perdagangan dan persaingan bebas. Dalam situasi dunia yang penuh persaingan saat ini, sesungguhnya setiap bangsa dapat menguasai bangsa lain, atau sebaliknya dikuasai oleh bangsa lain. Hal itu semua bergantung kepada bangsa itu sendiri dalam mengelola segala potensi kemampuan yang dimiliki.

Kedaulatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka adalah dasar pijakan untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kemandirian yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa bukanlah hayalan belaka karena Tuhan Yang Maha Kuasa telah memberikan kekayaan berlimpah. Indonesia memiliki wilayah darat seluas 1.922.570 km² yang subur dan dipenuhi dengan kekayaan alam di dalamnya, serta lautan seluas 3.257.483 km² yang penuh hasil laut baik perikanan maupun tambang. Kita memiliki 17.504 pulau dan lebih dari 210 juta penduduk.

Namun tampaknya kekayaan yang kita miliki tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Wilayah daratan yang sangat luas dan subur, yang pernah menghasilkan swasembada beras, ternyata saat ini belum mampu dikelola dengan baik sehingga pada tahun 2008 ini impor beras diprediksi mencapai 400 ribu ton. Jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh, jumlah impor tersebut akan semakin meningkat mengingat pertambahan jumlah penduduk sehingga pada tahun 2018 dibutukan beras sebanyak 40,182 juta ton untuk kebutuhan pangan 270,8 juta penduduk. Hal itu belum memperhatikan alih fungsi lahan sawah yang semakin menyempit.

Kekayaan hutan yang sangat luas juga belum mampu dikelola dengan baik. Bahkan kita masih dirugikan akibat illegal logging sekitar Rp. 30 Triliun setiap tahun, atau sekitar Rp. 83 Miliar setiap hari. Kerugian tersebut tentu lebih besar lagi jika memperhitungkan dampak illegal logging berupa bencana alam dan punahnya khazanah flora, fauna, dan plasma nutfah yang ada di dalam hutan.

Di sektor energi, bangsa Indonesia pernah menikmati hasil ekspor minyak bumi di awal Orde Baru. Saat inipun Indonesia masih kaya bahan tambang energi baik berupa minyak bumi, batu bara, serta gas alam. Namun akibat kebijakan privatisasi yang tidak terkendali, saat ini 85,4% perusahaan energi dikuasai oleh perusahaan asing dengan penerimaan pada tahun 2006 sebesar Rp. 370 Triliun yang jauh lebih besar dari penerimaan negara di sektor ini yang hanya mencapai Rp. 220,8 Triliun.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dari sisi yang lebih umum saat ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya. IPM dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq dan digunakan oleh UNDP sejak tahun 1993. Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh warga negara. Pilihan-pilihan tersebut dimaksudkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang dapat diukur dari kreteria berumur panjang dan sehat, menguasai ilmu pengetahuan, mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup layak, dan memiliki kebebasan politik dan jaminan atas hak asasi manusia.

Pada tahun 2007, angka IPM Indonesia adalah 0,728 dan berada diurutan ke 108, sedikit berada di atas Vietnam. Potret pembangunan manusia Indonesia akan terlihat semakin suram jika dibandingkan dengan perkembangan negara-negara lain. Laporan perkembangan regional Millenium Development Goals (MDG’s) menunjukkan pencapaian program pengentasan kemiskinan dan gizi buruk, masalah pencemaran lingkungan, penyediaan air bersih, serta sanitasi berada dalam kategori Off track-Slow yang berarti baru akan mencapai target setelah tahun 2015.

Ukuran lain yang biasa digunakan untuk melihat kemandirian bangsa adalah posisi hutang luar negeri. Hal itu karena semakin besar hutang luar negeri suatu negara, semakin besar pula tingkat ketergantungannya. Hutang tidak diberikan begitu saja oleh suatu negara, tetapi selalu diikuti dengan persyaratan-persyaratan baik terkait dengan pencairan dan pemanfaatan dana hutang, maupun lebih luas lagi terkait dengan kebijakan negara dalam kaitannya dengan negara pemberi hutang. Sayangnya saat ini posisi hutang Indonesia masih cukup besar, yaitu US$ 59,05 Miliar atau Rp. 590 Triliun.

Kondisi di atas telah mempengaruhi posisi Indonesia di hadapan bangsa-bangsa lain. Kebijakan perekonomian, baik sektor moneter maupun keuangan tidak lagi sepenuhnya dapat ditentukan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan berbagai kebijakan di bidang hukum dan politik juga ditengarai banyak pihak telah diintervensi oleh kepentingan negara lain. Oleh karena itu wajar jika ada pihak yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki kemandirian karena terlalu banyak didikte oleh negara lain, sehingga kedaulatan bangsa pun dipertanyakan.

Mewujudkan kemandirian adalah tantangan bangsa Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Kekayaan bangsa Indonesia masih cukup berlimpah walaupun telah dieksploitasi selama masa penjajahan dan telah banyak disia-siakan selama ini. Salah satu peluang yang dimiliki oleh bangsa Indonesia misalnya adalah krisis energi yang terjadi di dunia yang juga akan merambah menjadi krisis pangan karena banyaknya tanaman pangan yang digunakan untuk produksi bioenergi serta lahan yang digunakan untuk tanaman penghasil energi. Dengan wilayah yang luas dan subur, bangsa Indonesia sesungguhnya mampu menjadi penghasil pangan dan bioenergi terbesar di dunia. Belum lagi energi alternatif berupa arus angin, matahari, dan panas bumi yang melimpah dan tersedia sepanjang tahun.

C. UUD 1945 SEBAGAI PEMIMPIN
UUD 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Dasar keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia adalah kesepa¬katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo¬ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci¬nya adalah konsensus atau general agreement. Konsensus yang kemudian diwujudkan dalam konstitusi dapat dipahami substansinya meliputi tiga hal, yaitu:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose¬dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan de¬ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti¬tusi dan konsti¬tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung¬kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema¬jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke¬ber¬samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe¬rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju¬ga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa’ di antara sesama warga masyarakat dalam kon¬teks kehidupan bernegara.

Di Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewu¬judkan empat tujuan bernegara sebagaimana menjadi bagian dari UUD 1945 pada bagian Pembukaan. Lima prinsip dasar Panca¬sila itu mencakup sila atau prinsip (i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne¬gara, yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) meningkatkan kesejah¬teraan umum, (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde¬kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Tujuan atau cita-cita bernegara dan dasar-dasar negara tersebut dijabarkan secara operasional dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945.

Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis peme¬rin¬tahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks pe¬nyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu “The Rule of Law, and not of Man” untuk menggam¬barkan pe¬ngertian bah¬wa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang.

Istilah “The Rule of Law” jelas berbeda dari istilah “The Rule by Law”. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digam¬barkan hanya sekedar bersifat instru¬mentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu “The Rule of Man by Law”. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah consti¬tutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting se¬hingga konstitusi sendiri dapat dija¬dikan pegangan tertinggi dalam memutuskan sega¬la sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) ba¬ngunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepa¬kat¬an itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama ber¬ke¬naan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ke¬tatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kese¬pakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam doku¬men konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para peran¬cang dan perumus konstitusi tidak seharus¬nya membayang¬kan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharus¬nya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan un¬dang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemung¬kinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.

Oleh karena itu, upaya mewujudkan kemandirian bangsa sesungguhnya adalah upaya mewujudkan cita-cita nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya trelah digariskan dalam UUD 1945. Bahkan, kedudukan konstitusi sebagai kesepakatan nasional yang mempersatukan bangsa, maka konstitusi oleh Thomas Paine dikatakan bahwa konstitusi juga berfungsi sebagai “a national symbol”. Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan fungsi kepala negara. Karena itu, konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai kepala negara simbolik dan sebagai kitab suci dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).

Sebagai kepala negara simbolik, konstitusi berfungsi sebagai; (i) simbol persatuan (symbol of unity), (ii) lambang identitas dan keagungan nasional suatu bangsa (majesty of the nation), dan atau (iii) puncak atau pusat kekhidmatan upacara (center of ceremony). Sedangkan sebagai kitab suci simbolik (symbolic civil religion), konstitusi berfungsi sebagai; (i) dokumen pengendali (tool of political, social, and economic control), dan (ii) dokumen perekayasa dan bahkan pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and economic engineering and reform).

Untuk mencapai tujuan nasional dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, yang di antaranya adalah mempertahankan kedaulatan negara dan membangun kemandirian bangsa, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal ini karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).

Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 mengatur masalah susunan kenegaraan, hubungan antara lembaga-lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara. Hal ini misalnya diatur dalam Bab I tentang Bentuk Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilu, Bab VIII tentang Hal Keuangan, Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab IX tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 26, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28I ayat (5), Bab XII tentang Pertahanan Dan Keamanan Negara, Bab XV tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan.

Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 juga mengatur bagaimana sistem perekonomian nasional seharusnya disusun dan dikembangkan. Ketentuan utama UUD 1945 tentang sistem perekonomian nasional dimuat dalam Bab XIV Pasal 33. Ketentuan tentang sistem perekonomian nasional memang hanya dalam satu pasal yang terdiri dari lima ayat. Namun ketentuan ini harus dielaborasi secara konsisten dengan cita-cita dan dasar negara berdasarkan konsep-konsep dasar yang dikehendaki oleh pendiri bangsa. Selain itu, sistem perekonomian nasional juga harus dikembangkan terkait dengan hak-hak asasi manusia yang juga mencakup hak-hak ekonomi, serta dengan ketentuan kesejahteraan rakyat.

Sebagai konstitusi sosial, UUD 1945 mengatur tata kehidupan bermasyarakat terutama dalam Bab X tentang Warga Negara Dan Penduduk khususnya Pasal 27 dan Pasal 28, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XIII tentang Pendidikan Dan Kebudayaan, dan Bab XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Rakyat khususnya Pasal 34.

Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kerangka bagaimana upaya menjalankan dan mempertahankan kedaulatan serta mencapai kemandirian nasional. Oleh karena itulah agenda mempertahankan kedaulatan serta membangun kemandirian bangsa sesunggunya dapat dilakukan dengan senantiasa berpegang teguh dan melaksanakan UUD 1945. Hal itu sesuai dengan fungsi konstitusi sebagai kitab suci simbolik (symbolic civil religion), yang merupakan dokumen pengendali (tool of political, social, and economic control), dan dokumen perekayasa dan pembaruan ke arah masa depan (tool of political, social and economic engineering and reform).

Dalam fungsinya yang demikian, UUD 1945 dapat disebut sebagai pemimpin yang harus dipatuhi. Dengan demikian ketundukan kepada konstitusi juga dapat dipahami sebagai implikasi dari kewajiban umat Islam tunduk kepada para pemimpin (ulil amri). Konsep kepemimpinan dalam hal ini tidak harus dimaknai sebagai figur personal, tetapi lebih pada sesuatu yang memberikan pedoman dan petunjuk. Sebagai umat Islam, sebagai imam kita adalah al-Qur’an. Sedangkan sebagai bangsa Indonesia, pemimpin yang sesungguhnya adalah UUD 1945.

D. FIGUR KEPEMIMPINAN NASIONAL
Sebagai negara modern yang menganut prinsip demokrasi berdasarkan hukum, masa depan bangsa dan negara tidak diletakkan dipundak seorang pemimpin semata. Masalah kehidupan berbangsa dan bernegara terlalu kompleks jika harus dipikirkan dan diserahkan pada seorang saja. Jika hal itu terjadi, bukan saja akan banyak permasalahan yang tidak terselesaikan, bahkan yang muncul adalah penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu sudah menjadi hukum besi bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang mutlak sudah pasti disalahgunakan (powers tend to corrup, absolut power corrup absolutly).
Keberhasilan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara ditentukan oleh berjalannya sistem yang telah ditentukan oleh konstitusi, terutama oleh lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan wewenang dan tugasnya masing-masing. Upaya mempertahankan kedaulatan dan membangun kemandirian bangsa tidak dapat hanya diserahkan kepada Presiden, tetapi ditentukan oleh jabatan-jabatan lain dalam sistem ketatanegaraan seperti anggota DPR, hakim, menteri, gubernur, bupati, walikota, dan lain-lain. Dengan demikian kepemimpinan nasional adalah kepemimpinan kolektif.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan pemimpin dalam hal ini adalah orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan sebagai penyelenggara negara. Pemimpin-pemimpin inilah yang harus dipilih dan dikawal oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Karena pemimpin-pemimpin tersebut tugas utamanya adalah melaksanakan UUD 1945, maka yang diperlukan adalah pemimpin yang memahami keseluruhan UUD 1945. Dengan demikian para pemimpin tersebut memahami apa yang menjadi tujuan dan cita-cita bangsa ini, apa yang harus dilakukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan tersebut sesuai dengan lingkup wewenangnya, serta sampai di mana batas kekuasaan yang dimilikinya. Pemahamah tersebut harus didukung oleh keberanian untuk menegakkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam negara berdaulat.

Selain kriteria tersebut, tentu setiap kelompok masyarakat memiliki ukuran dalam memilih pemimpinnya. Bagi umat Islam misalnya, seorang pemimpin selalu diharapkan memenuhi sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad yang meliputi (1) shidiq, yaitu orang yang benar; (2) amanah, orang yang jujur dan dapat dipercaya; (3) tabligh, yaitu orang yang menyampaikan pesan-pesan Illahiyah; serta (4) fathonah, yaitu orang yang cerdas. Kecerdasan dalam hal ini meliputi tidak hanya kecerdasan intektual, tetapi juga kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Sifat-sifat tersebut dapat diteladani dari sifat-sifat Rasulullah.

Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang selalu berkata benar (shidiq), bahkan memegang prinsip “Apabila tidak bisa berkata benar dan jujur maka lebih baik diam”. Oleh karena itu pemimpin yang kita pilih hendaknya mengetahui dengan benar persoalan yang dihadapi, termasuk mengetahui dengan benar apa yang menjadi tugas dan kewajibannya berdasarkan UUD 1945. Demikian pula dengan kebijakan dan keputusan-keputusan yang diambil, harus didasarkan pertimbangan dan data-data yang diyakini kebenarannya.

Rasulullah adalah pemimpin yang senantiasa menjunjung tinggi amanah yang diberikan. Oleh karena itu beliau disebut “Al-amin” atau orang yang terpercaya. Sikap amanah tersebut diakui baik oleh kaum muslimin maupun kelompok yang berbeda agama sehingga beliau dipercaya sebagai kepala pemerintahan di negara madinah yang penduduknya tidak hanya kaum muslimin. Dalam konteks saat ini seorang pemimpin harus senantiasa menyadari bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah amanat dari rakyat yang harus digunakan untuk mencapai tujuan dibentuknya kekuasaan itu sendiri.

Karena kekuasaan yang dipegang oleh seorang pemimpin adalah amanat, maka sudah sewajarnya jika pemimpin bersikap transparan. Sikap ini juga diperlukan sekaligus sebagai upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Sifat transparan ini merupakan salah satu unsur dari sifat tabligh, yang selain itu juga dapat dimaknai dengan menyampaikan setiap kebenaran dan diluruskannya segala hal yang dianggap keliru dengan cara yang bijaksana (al-hikmah) dan tutur kata yang santun (al-mauidzhah al-hasanah) serta diiringi alasan dan logika yang kokoh (al-mujadalah).

Untuk dapat menjalankan amanah sebagai pemimpin, tentu seseorang harus memiliki kemampuan melebihi yang dipimpin. Oleh karena itu pemimpin harus memiliki kecerdasan baik dari sisi intelektual sehingga memiliki pemahaman mendalam dan wawasan luas dalam mengambil kebijakan, kecerdasan emosial sehingga bisa bergaul dan menyelami kondisi rakyat, serta kecerdasan spiritual sehingga menempatkan kekuasaan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Hal itu dapat kita teladani dari Nabi Muhammad saw yang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (fathanah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...