Pages

Constitutional Review

Oleh Wongbanyumas

Konsep pembagian kekuasaan memberikan berwenang untuk melakukan pembentukan hukum kepada lembaga legislatif. Menjadi kewenangan bagi lembaga wakil rakyat untuk membuat dan menetukan aturan yang membatasi kebebasan warga negara. Apa yang dirumuskan oleh lembaga legislatif dilakukan dalam pembentukan undang-undang setelah disahkan akan mempunyai kekuatan sebagai sebuah produk hukum.

UUD 1945 tidak memberikan definisi undang-undang. Namun definisi undang-undang dapat kita temukan pada Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang merupakan seperangkat aturan yang mendatangkan faedah bagi masyarakat. Undang-undang tujuan utamanya bukan untuk menghukum masyarakat melainkan agar terciptanya ketertiban.

Jika disimpulkan maka undang-undang tidak akan terbentuk jika hanya dilakukan oleh lembaga DPR secara sepihak. Melainkan harus ada persetujuan dari cabang kekuasaan eksekutif (presiden). Pada dasarnya setiap undang-undang merupakan produk hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang (legislatif), bersifat memaksa, dan memiliki sanksi jika dilanggar.

Dengan dianutnya paham konstitusionalisme yang menganut adanya pembatasan kekuasaan yang memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi. Selain itu sebagai bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia dan mekanisme check and balances maka perlu adanya sebuah mekanisme pengawasan oleh lembaga yudisial melalui pengujian konstitusional terhadap sebuah undang-undang sebagaimana yang dikemukakan Mauro Capelleti. Keberadaan MK tak lain sebagai upaya menegakkan prinsip negara hukum dan konstitusionalisme.

1. Definisi, Tujuan dan Fungsi Constitutional Review

Terdapat banyak pendapat mengenai istilah dari pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Judicial review sering diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun judicial review juga dapat diartikan sebagai peninjauan kembali (PK). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial review adalah upaya pengujian oleh lembaga judisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun judikatif dalam rangka pererapan prinsip check and balance berdasarkan separation of power.

Sedangkan istilah constitusional review berarti review yang dilakukan oleh lembaga yudisial atas produk perundang-undangan terhadap konstitusi (undang-undang dasar). Constitusional review lebih spesifik pengujian terhadap undang-undang. Peneliti lebih cenderung menggunakan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Penggunaan istilah constitutional review dirasa lebih tepat dibandingkan judicial review jika konteksnya adalah pengujian terhadap undang-undang dasar (konstitusi). Sebab jika memakai istilah judicial review akan terjadi kerancuan.

Jika kita menengok ke belakang mengenai sejarah pertama kali pengujian terhadap konstitusi. Kita akan melihat bahwa awalnya konsep pengujian undang-undang lahir dari sebuah sengketa hukum. Sengketa yang melibatkan Marbury dan Madison ini akhirnya berbuah putusan hakim yang membatalkan ketentuan undang-undang karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika.

Pengujian undang-undang dapat dikonfigurasikan dalam dua bentuk. Pengujian dapat dilakukan pada pengadilan khusus atau ditempatkan pada kekuasaan pengadilan biasa. Para ahli membedakan antara model Amerika dan Eropa. Model Amerika memiliki ciri yang khas dimana kewenangan pengujian ditugaskan pada pengadilan biasa yang menguji konstitusionalitas undang-undang dalam proses memutuskan sengketa hukum tertentu. Sedangkan pada model Eropa berarti membicarakan kewenangan pengujian yang diletakkan pada lembaga khusus yakni Mahkamah Konstitusi yang dapat menguji validitas undang-undang.

Kewenangan pengujian terhadap UUD merupakan salah satu upaya dalam rangka menegakkan prinsip negara hukum. Ada tiga prinsip dasar yang harus diikuti agar tercipta masyarakat yang beradab dan maju secara konstitusional, yakni: prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, prinsip check and balances dan kekuasaan konstitusional untuk meninjau kemerdekaan.

Peninjauan terhadap UUD merupakan ekses dari kelalaian yang dibuat oleh lembaga legislatif. DPR sebagai lembaga legislatif memiliki kewajiban legislatif yakni membuat produk perundangan yang sesuai dengan konstitusi. Akibat kelalaian tersebut menciptakan sengketa hukum di mana hakim dapat melakukan interpretasi atas putusannya.

Pengujian undang-undang dalam sejarah ketatanegaraan di Amerika sebelumnya tidak dikenal sampai pada akhirnya hakim John Marshall memutus perkara Madison v Marbury. Marshall mengemukakan alasan mengenai pengujian tersebut yaitu:

1. Hakim bersumpah menjunjung tinggi konstitusi, sehingga peraturan yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi.

2. Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar supreme law itu tidak dilangkahi oleh peraturan di bawahnya.

3. Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada permohoanan pengujian harus dipenuhi.

Ide terbentuknya lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap konstitusi di Indonesia dilatar belakangi oleh:

1. Historis ketatanegaraan

Pada masa pemerintahan orde baru banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 45. UUD 45 sudah tereduksi dan disalahartikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan. Sehingga pasca reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 45.

2. Konsep supremasi konstitusi

Perubahan UUD 1945 membawa konsekwensi terjadinya peralihan kekuasan dari supremasi oleh MPR sebagai perwujudan kehendak rakyat kepada supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi menempatkan konstitusi pada derajat tertinggi dalam tertib hukum Indonesia. Untuk manjaga dan menjamin bahwa amanat dalam konstitusi dijalankan dengan baik diperlukan sebuah lembaga khusus yakni Mahkamah Konstitusi.

2. Macam-macam pengujian

Maruarar Siahaan menyatakan pengujian yang dilakukan terhadap undang-undang ada dua yakni :

1. Pengujian formal

Adalah pengujian undang-undang berkenaan dengan bentuk dan pembentukan yang meliputi pembahasan, pengesahan, dan pemberlakuan. Pengujian secara formal akan menguji atas dasar kewenangan dalam pembentukan undang-undang dan prosedur yang harus ditempuh dari tahap drafting sampai pengumuman dalam lembaran negara.

2. Pengujian materil

Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 45 dapat diminta untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Sri Soemantri berpendapat bahwa : Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende act) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Pada dasarnya Pengujian formil bisaanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.

Pengujian undang-undang terhadap UUD biasanya mendasarkan pada alasan berikut:

1) Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.

2) Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

3) Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan yang bersangkutan.

4) Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundangundangan.

5) Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.

Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.

Sebuah undang-undang dihasilkan melalui pergulatan panjang di lembaga legislatif dan eksekutif. Tujuan pembuatan undang-undang tak lain memberi jaminan perlindungan kepada masyarakat. Alih-alih memberikan jaminan justru undang-undang memiliki beberapa sisi kekurangan. Perundang-undangan pada dasarnya akan menghasilkan seperangkat aturan yang memiliki ciri umum, yakni:

1. Bersifat umum dan komperhensif,

2. Bersifat universal, diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang dan belum jelas bentuk konkretnya.

3. Memiliki kekuatan mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri.

Suatu norma hukum tidak valid apabila tidak sesuai dengan aturan hukum yang lebih dasar. Antara norma utama dan norma kedua sifat hubungannya superordinasi dan subordinasi. Dalam arti dari kedua aturan tersebut yang paling dasar harus menjadi acuan aturan hukum di bawahnya. Pola hubungan tersebut menggambarkn pola antara undang-undang dengan konstitusi. Undang-undang harus sesuai dengan apa yang terdokumentasikan dalam sebuah konstitusi. Dasar validitas sebuah undang-undang adalah apabila undang-undang tersebut dibentuk berdasarkan konstitusi.

Menurut Kelsen diperlukan kehadiran sebuah organ khusus yang ditunjuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi, dan dapat membatalkan undang-undang tersebut bila ternyata terbukti undang-undang tersebut inkonstitusional. Di Indonesia organ tersebut menjelma melalui Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.

2 komentar:

Ayo ungkapkan pendapat kamu...