Pages

Putusan Ultra Petita Dalam Perspektif Ketatanegaraan

Oleh: wongbanyumas

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekwensi sebuah negara sebagai negara hukum adalah apa yang dilakukan oleh negara dan warga negara harus berdasarkan atas hukum. Negara tidak dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Negara terikat pada konstitusi yang merupakan jaminan hak dan kebebasan asasi manusia dan mendefinisikan lembaga negara beserta kewenangan kewenangannya. Melalui konstitusi rakyat melakukan kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Konsep negara hukum menjamin masyarakat atas hak dasarnya sebagai warga negara.

Konstitusi melindungi masyarakat atas tindakan penguasa berupa produk perundang-undangan yang melanggar hak dasar. Menurut konsep stuffenbau theory Hans Kelsen menyatakan bahwa produk hukum (undang-undang) disusun berdasarkan hierarki dari yang norma yang paling dasar sampai dengan norma yang paling rendah. Norma yang paling tinggi (norma dasar) dijadikan sumber bagi norma yang ada di bawahnya. Begitu pula sebaliknya dimana norma hukum yang berada di bawah norma dasar harus bersumber pada norma dasar tersebut. Teori Kelsen ini menegaskan bahwa harus ada konsistensi antar norma yang satu dengan yang lainnya.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yang tercantum dalam Pasal 7, yaitu:

1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahub 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah

2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh dewan perwakilan daerah propinsi bersama gubernur.

b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.

c. Peraturan desa/peraturan yang setingkat, dinuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

3) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah/kota yang bersangkutan.

4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

5) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan hierarki perundang-undangan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Salah satunya bahwa UUD 1945 harus menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah undang-undang. Undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif bersama eksekutif harus sinkron dengan UUD 1945 dan sebagai dasar hukum pembuatan undang-undang baik secara formil maupun materil.

Jika melihat pendapat ­Kelsen tersebut maka apabila terdapat suatu produk perundang-undangan yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan yang lebih tinggi maka produk perundangan tersebut dapat dilakukan pengujian. Terhadap norma tersebut dapat dilakukan kontrol melalui pengujian (legal norm control mechanism). Kontrol terhadap norma hukum tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara:

1. Legislative review yakni mekanisme kontrol melalui parlemen yang dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme kontrol ini adalah dengan melakukan perubahan terhadap norma hukum yang ada dengan membuat undang-undang baru atau undang-undang perubahan.

2. Executive review, mekanisme kontrol terhadap norma yg dilakukan oleh pemerintah.

3. Judicial review, adalah upaya pengujian oleh lembaga judisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun judikatif dalam rangka pererapan prinsip check and balance.

Konsep pengujian undang-undang merupakan bentuk penjaminan bagi masyarakat agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan pembuat undang-undang, dalam hal ini presiden bersama DPR. Sebelum perubahan UUD 1945 tidak dikenal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Keadaan ini sesungguhnya dipengaruhi oleh konstelasi politik saat itu. Pemerintahan orde baru di bawah Soeharto tidak menginginkan adanya review terhadap undang-undang. Hal ini dikarenakan pemerintahan orde baru menjadikan undang-undang sebagai hal yang sakral dan menjadi alat pemaksa yang efektif bagi masyarakat.

Setelah reformasi bergulir di akhir abad ke 20 maka lahir semangat baru untuk memperkuat sistim demokrasi dan hukum. Maka digulirkanlah perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan sampai dengan empat tahapan. Salah satu pencapaian terbesar saat itu adalah pembaharuan dalam kekuasaan kehakiman. Pasal 24 (2) UUD 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi”. MK sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan untuk produk hukum yang lebih rendah diamanatkan kepada MA untuk mengadilinya.

Kewenangan lain yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan dalam Pasal 24C ayat (2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Mahkamah konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian undang-undang terbentuk pasca perubahan konstitusi. Kewenangan melakukan review atas produk legislasi berupa undang-undang tersebut dianggap sebagai perwujudan MK sebagai pengawal konstitusi. Dalam perjalanannya sampai dengan Desember 2010 MK telah melakukan pengujian undang-undang sebanyak 114 kali.[1] Dari keseluruhan putusan MK tersebut terdapat beberapa putusan yang menjadi perdebatan di kalangan para ahli hukum karena dinilai sebagai putusan ultra petita. Putusan MK tersebut menjadi kontroversi lantaran dianggap bertentangan dengan asas non ultra petita dalam hukum acara.

Dari kelima putusan MK yang dianggap ultra petita Miftakhul Huda membuat klasifikasi sebagai berikut :[2]

1. MK menimbang Pasal yang diuji merupakan dasar berlakunya Pasal-Pasal lain (jantung UU). Ketentuan lain (Pasal, bagian atau seluruh Pasal UU) yang bersandarkan padanya akan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tercatat dua kali MK menyatakan tidak mengikat UU secara keseluruhan yaitu UU KKR dan UU Ketenagalistrikan . Sedangkan dalam pengjian UU KY dan UU KK, hanya menyatakan tidak mengikat bagian UU sepanjang mengenai “fungsi pengawasan”, melebihi permohonan pemohon;

2. dalam tuntutan pokok meminta Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK.[6] Akan tetapi kata “dapat“ dan “percobaan“ dalam Pasal yang diuji, MK pada 25 Juli 2006 memutuskan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat di luar yang dimohonkan; dan

3. meskipun dalam permohonan tidak diminta, MK memutuskan menangguhkan UU tidak mempunyai kekuatan mengikat sampai 3 (tiga) tahun sejak putusan diucapkan, meskipun UU dinyatakan inkonstitusional. Sementara itu Pasal 58 UU MK menyatakan:“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dengan penafsiran a contrario maka seharusnya setelah dinyatakan bertentangan, UU tidak memiliki kekuatan berlaku.

Jika dilihat kembali alasan mereka yang menyatakan ultra petita dilarang adalah mengacu pada hukum acara perdata. Peradilan perdata sifatnya privat yang berarti hanya mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan kepentingan orang lain. Pelanggaran terhadap aturan hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan. Berbeda dengan hukum publik yang mengatur hubungan antara perorangan dengan negara. Praktik beracara di MK merupakan ranah publik yang tidak hanya mengurus kepentingan pribadi orang-perorang. Melainkan berkaitan dengan kepentingan publik dalam skala yang luas yakni seluruh Warga Negara Republik Indonesia.

Dapat dimaklumi jika dalam beracara perdata putusan yang bersifat ultra petita tidak diperbolehkan. Sebab apa yang diputuskan oleh hakim hanya akan berdampak pada pihak penggugat atau pemohon, dan tergugat. Orang atau pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang diputus oleh peradilan perdata tidak akan terkena akibat dari putusan tersebut. Justru ketika hakim berimprovisasi dalam memutus perkara maka hal tersebut dianggap mencederai kepentingan hukum salah satu pihak. Peradilan memang sebagai tempat untuk mencari kebenaran dan keadilan. Ketika hakim ternyata malah mencedarai rasa keadilan maka tak ubahnya hakim telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap warga negara.

Menurut teori hukum publik, dalam hal mencari kebenaran hakim diberi wewenang besar dalam arti hakim harus aktif.[3] Keaktifan hakim tersebut memiliki konsekuensi bahwa putusan ultra petita tidak dilarang, sehingga hakim dapat menambahkan apa yang diminta. Hakim dapat memperbaiki apa yang telah ditetapkan oleh para pihak misalnya memperbaiki fakta yang tidak didalilkan oleh para pihak. Hakim tidak terikat pada fakta yang telah ditetapkan oleh para pihak dan tidak diragukan. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan cermat, hakim dapat menolak sebagai fakta yang ex officio tidak perlu ditetapkan.

No

Perbedaan

PUU

Acara Perdata

1

Subyek/Pihak

Masyarakat yang hak konstitusionalnya dilanggar berhadapan dengan pembuat undang-undang

Individu-individu, individu-badan hukum (BH), atau BH-BH

2

Pangkal sengketa

Hak konstitusional warga negara

Kepentingan perdata

3

Tindakan

Undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945

Wanprestasi dan PMH

4

Peran hakim

Hakim aktif

Hakim pasif

5

Upaya hukum

Tidak ada

Banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali

Berdasarkan hukum acara peradilan di MK terdapat beberapa asas yang digunakan. Asas tersebut yang melandasi dan menjadi jiwa putusan tersebut. Peradilan konstitusi salah satunya berpegang kepada asas putusan yang bersifat erga omnes yang artinya putusan tersebut tidak hanya berdampak pada pemohon atau termohon melainkan juga seluruh warga negara indonesia. Asas inilah yang melandasi pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus perkara. Hakim memandang kepentingan orang banyak lebih didahulukan dibanding dengan kepentingan pemohon.

Dari putusan MK yang bersifat ultra petita penulis mengambil contoh dua putusan yakni tentang Ketenagalistrikan dan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak hanya berdampak pada para pemohon saja. Kita lihat pada putusan mengenai UU Ketenagalistrikan MK membatalkan seluruh undang-undang tersebut. Salah satu pertimbangan hakim membatalkan undang undang tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33. Pasal tersebut negara menjamin bahwa kekayaan alam dikuasai negara guna menyejahterakan rakyatnya sedangkan dalam Undang-Undang Ketenagalistrikan tersebut pihak swasta dapat mengusahakan penyediaan listrik. Hakim melihat bahwa putusan ini tidak hanya berdampak pada pemohon namun kepada seluruh warna negara Indonesia khususnya dan secara umum siapa saja yang hidup dan tinggal di Indonesia. Listrik merupakan salah satu kebutuhan hidup yang krusial. Apabila negara tidak mengelola listrik dengan baik dan diserahkan pada pihak swasta berpotensi merugikan negara dan masyarakat sebagai konsumen lantaran dengan adanya penetapan harga tarif dasar listrik yang tak terjangkau masyarakat (mahal).

Pengujian UU KKR diputuskan bahwa UU KKR bertentangan dengan UUD 1945. Sebuah komisi yang bertugas mencari dan menggali fafkta mengenai pelanggaran HAM berat di masa lalu terbentuk oleh UU KKR. Komisi tersebut semestinya melakukan verifikasi dan melakukan investigasi yang memadai untuk memperoleh kebenaran yang nyata. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga mensyaratkan jaminan terpenuhinya hak-hak korban secara adil dan tanpa diskriminasi, dan tidak boleh menempatkan korban dalam posisi yang tidak seimbang dan tertekan. Suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga mensyaratkan terpenuhinya prinsip-prinsip hak asasi manusia, sehingga maksud dan tujuan komisi tersebut, yakni menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tetap dalam kerangka prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Menurut para pemohon komisi KKR justru tidak sesuai dengan UUD 1945 yang menjamin hak asasi setiap orang, terutama korban kejahatan HAM di masa lalu. Salah satu hal yang dianggap tidak sesuai adalah ketika keberadaan komisi tersebut justru membatasi penegakan HAM bagi para pelaku dan korban.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan di atas bermakna, bahwa kekuasaan harus tunduk kepada hukum dan hukum menjadi sarana pengendali, pengawas, dan pengontrol kekuasaan dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan atau penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan tidak malah sebaliknya digunakan sebagai sarana pembenar/legitimasi bagi penyalahgunaan kekuasaan dan atau penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.

Sistim ketatanegaraan di Indonesia menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi. MK sebagai bagian dari lingkungan peradilan yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan, dalam hal ini produk legislasi yang dibuat oleh eksekutif bersama legislatif. MK dapat menyatakan undang-undang yang dibuat oleh DPR bersama Presiden bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut berimplikasi bahwa undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi akibat inkonstitusional.

Kembali lagi pada permasalahan ultra petita yang ternyata sama sekali tiada kita temui pengaturannya di dalam undang-undang manapun kecuali dalam hukum acara perdata. Kekosongan hukum ini sebenarnya tidaklah perlu dipermasalahkan lantaran dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Jika kita melihat ketentuan Pasal tersebut maka akan menemukan sebuah bentuk kekhususan bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum. Kadang kala dalam praktiknya hukum tak selalu dapat mengikuti perkembangan jaman secara tepat. Ada saja hal yang masih belum diatur atau tidak disebutkan sama sekali dalam undang-undang. Salah satu contohnya adalah putusan ultra petita. Hakim konstitusi dihadapkan pada dua sisi yakni dengan pandangan kaku secara positivistik atau berfikir progresif guna mencapai keadilan. Pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum kerap kali ditemui oleh para hakim. Banyak hal yang belum bisa dijangkau oleh undang-undang lantaran pembuat undang-undang tidak punya visi jauh ke depan

Prinsip peradilan yang bebas dan mandiri menuntut hakim kreatif dalam melahirkan putusan. Putusan hakim tak hanya sekadar menjadi corong undang-undang saja melainkan juga mewujudkan keadilan. Dengan adanya pemikiran mengenai independensi hakim dalam memutus terdapat sebuah bentuk diskresi. Dalam kajian hukum modern hakim ditempatkan sebagai ujung tombak. Hakim mempunyai kebebasan atau diskresi dalam memutus perkara. Akan tetapi, terdapat kekhawatiran akan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penggunaan langkah diskresi ini. Oleh karena itu perlu diberikan batas sebagai berikut :[4]

1. Diskresi diperbolehkan jika terjadi kekosongan hukum (rechts vakum);

2. Diskresi diperbolehkan jika terdapat ruang kebebasan interpretasi;

3. Diskresi diperboleh jika ada delegasi perundang-undangan; dan

4. Diskresi diperbolehkan demi pemenuhan kepentingan umum, sebagai bagian pelaksanaan fungsi pelayanan kepada masyarakat.

Diskresi yang diberikan pada hakim tidak berarti menganakemaskan hakim sebagai bagian dari lingkup kekuasaan kehakiman. Prinsip saling kontrol antar lembaga tetap dilakukan agar tercipta pemerintahan yang baik. Konsep negara hukum mengedepankan hukum sebagai panglima. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan atas hukum. Dalam sebuah negara hukum, upaya penegakan hukum haruslah berdasarkan tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Kita dapat melihat pada prinsip-prinsip pokok negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie berikut ini :[5]

1. Supremasi Hukum (supremacy of law)

2. Persamaan dalam Hukum (equality before the law)

3. Asas legalitas

4. Pembatasan kekuasaan

5. Organ-organ pendukung yang independen

6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

7. Peradilan Tata Usaha Negara

8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia

10. Bersifat Demokratis

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechstaat )

12. Transparansi dan Kontrol Sosial

Jika putusan ultra petita dikaitkan dengan prinsip negara hukum tersebut di atas maka penulis akan lebih memfokuskan pada aspek perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui dan pahami terbentuknya ide konstitusionalisme tak lepas dari ada kesewenang-wenangan terhadap rakyat oleh penguasa. Dalam hal ultra petita putusan hakim yang membatalkan sebuah ketentuan undang-undang bisa jadi merupakan bentuk perlindungan. Sebuah kekuasaan tanpa kotrol akan menimbulkan sikap arogan. Sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 membentuk undang-undang bentuk arogansi DPR selaku legislatif adalah membuat undang-undang tanpa memperhatikan kaidah yang ada sebagaimana diatur dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sebuah undang-undang harus mencerminkan nilai yang hidup dalam konstitusi. Lain dari pada hal tersebut sebuah undang-undang juga harus sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan sekelompok orang tertentu. Putusan hakim yang membatalkan UU Ketenagalistrikan misalnya, dianggap tepat lantaran undang-undang tersebut tidak memliki keberpihakan terhadap masayarakat dan cenderung menguntungkan para pemodal.

Kecaman terhadap putusan ultra petita sesungguhnya bukan pada substansi pokok persoalan putusan. Selama ini para ahli hukum hanya meributkan apa landasan dan dasar para hakim konstutusi untuk memutus diluar permohonan. Pada dasarnya putusan MK bersifat final dan mengikat dalam arti tiada upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut. Berbeda dengan putusan pada lingkungan peradilan umum yang mengakomodir adanya upaya hukum terhadap putusan hakim. Upaya hukum tersebut antara lain verzet, banding, perlawanan pihak ketiga, kasasi, dan peninjauan kembali. Lain dengan MK yang sama sekali tak memberi peluang adanya upaya hukum. Secara filosofis ketentuan bahwa putusan MK bersifat final sebagai bentuk pencerminan MK sebagai penafsir tunggal konstitusi.

Proses penegakan hukum selalu dihadapkan antara tiga sisi tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, serta kemanfaatan. Seringkali terjadi perbenturan yang cukup pelik antara fungsi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ultra petita para ahli yang menolak adanya putusan ultra petita lantaran menggunakan perspektif positivistik. Apa yang ada harus diputuskan berdasarkan peraturan hukum yang berlaku. Semua hal dilihat dalam kaca mata perundang-undangan. Larangan Ultra petita itu sendiri ternyata hanya diatur dalam ranah hukum acara perdata yang sifatnya privat dan berbeda dengan hukum acara di MK yang merupakan bagian dari hukum publik sebagaimana penulis telah jelaskan sebelumnya.

Di lain sisi kepastian hukum memang diperlukan agar masyarakat terjamin. Namun kadang kepastian tersebut tak jarang justru menimbulkan ketidakadilan di sisi lain. Ketika kita melihat permasalahan ultra petita ternyata tak ada satu pun peraturan baik UU MK, UU Kekuasaan Kehakiman, dan PMK yang mengatur larangan ataupun kebolehan hakim untuk memutus ultra petita. Kita dapat melihat kembali apa yang dibutuhkan masyarakat melalui putusan tersebut. Esensi utama dari hukum itu sendiri pada dasarnya adalah rasa ingin diperlakukan dengan adil. Apa yang membuat seseorang pergi ke pengadilan adalah ingin mendapatkan keadilan, bukan hanya sekedar kepastian hukum saja. Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat 1 dan 3 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jelas bahwa keberadaan MK adalah untuk menegakkan keadilan.

Selama ini doktrin larangan hakim dilarang memutus ultra petita begitu melekat di kepala sebagian besar ahli dan praktisi hukum. Tentunya ini tak lepas dari hukum pidana dan perdata yang mereka geluti. MK hadir sebagai sebuah lembaga negara baru yang sama sekali asing. Saat pembentukannya tak ada orang yang berani berkata bahwa dirinya memahami bagaimana seharusnya menjadi hakim konstitusi. Saat MK pertama kali terbentuk banyak mengandalkan literatur dan praktik (yurisprudensi) dari mahkamah konstitusi di negara lain.

Dari keseluruhan putusan MK yang mengandung ultra petita terdapat beberapa pertimbangan hukum yang jika dikumpulkan dan diinventarisasi sebagai berikut :

1. UU yang diminta diuji merupakan “jantung” UU sehingga seluruh Pasal tidak dapat dilaksanakan;

2. praktik ultra petita oleh MK lazim di negara-negara lain;

3. perkembangan yurisprudensi pengadilan perdata ultra petita diijinkan;

4. pengujian UU menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat erga omnes, berbeda dengan hukum perdata (privat);

5. kebutuhan kemasyarakatan menuntut ultra petita tidak berlaku mutlak;

6. jika kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan (petitum); dan

7. permohonan keadilan (ex aequo et bono) dianggap secara hukum diajukan pula dan mengabulkan hal yang tidak diminta.

Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa ada beberapa pertimbangan majelis hakim konstitusi. Menurut Hamdan, ada tiga pertimbangan, yakni Pasal yang diminta dan diuji oleh Pemohon adalah Pasal ‘jantung’ dalam undang-undang tersebut, Pasal yang diuji terkait dengan Pasal lain dan tidak berdiri sendiri dalam undang-undang yang diujikan serta problem implementasi putusan MK. Menurutnya putusan ultra petita hanya dilakukan dalam pengujian undang-undang yang menyangkut kepentingan umum dan putusannya bersifat erga omnes. Jika untuk kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan. Selain itu, MK menganut prinsip hakim pasif dan yurisprudensi putusan ultra petita telah diterima sebagai hukum.[6]

Ultra petita bukan hanya sekedar keinginan hakim belaka namun lebih kepada sebuah kebutuhan hukum. Ultra petita sebagai jawaban hakim untuk mencari kekosongan hukum yg timbul akibat tidak adanya peraturan yang mengatur. Kepentingan masyarakat banyak yang membuat ultra petita ada. Hak dasar warga negara akan lebih terlindungi dengan adanya putusan tersebut lantaran menjamin rasa keadilan. Pengujian peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting karena pada dasarnya memang tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sempurna, sehingga ketidaksempurnaan tersebut menjadikan substansi peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau konstitusi.



[1] Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2003 – 31 Januari 2011. Dapat dilihat dalam laman internet http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.RekapitulasiPUU

[2] Miftahul Huda, “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”. 28 Juni 2009, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian-undang.html

[3] FX. Sumarjo, Materi Perkliahan Peradilan Tata Usaha Negara di Fakultas Hukum Unila, Bandar Lampung.

[4] Lihat dalam laman http://www.herdiansyah.web.id/2010/11/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html

[5] Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Demokratis, hlm. 253.

[6] Hamdan Zoelva: MK, Polisi Konstitusi” Senin 22 November 2010. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4779

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...