Pages

Konsep Pemisahan Kekuasaan dan Pembagian Kekuasaan

Oleh Wongbanyumas

Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip konstitusionalisme yang melindungi hak-hak rakyat.

Konsep pemisahan kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan para raja yang bersifat absolut di Eropa. Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini dihembuskan oleh John Locke dan Montesquieu. Montesquieu menggambarkan konsep pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang berlaku di Inggris meliputi kekuasaan Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan Majelis (judikatif).
Montesquieu menilai kekuasaan raja sangat tumpang tindih dan dapat melakukan kewenangan apapun. Sehingga konsep pemisahan kekuasaan menurut hematnya harus dilaksanakan secara tegas, kaku, dan mutlak. Pandangan ini sesungguhnya bukan untuk membatasi kekuasaan secara mutlak melainkan mencegah adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan.

Pemikir Inggris John Locke mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk mengamankan negara). 

Sedangkan Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan negara menjadi empat bagian yang dikenal dengan “catur praja”, yakni:
  1. Regeling (fungsi legislatif);
  2. Bestuur (fungsi eksekutif);
  3. Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
  4. Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara)
Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.

Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun judikatif. 

Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court, dan senat.

4 komentar:

Ayo ungkapkan pendapat kamu...