Pages

Pemain Marawis dan Pemadam Kebakaran

Oleh Wongbanyumas

Ghifar, berbaju merah.
Pemain marawis dan pemadam kebakaran? Kedua profesi di atas tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Satunya merupakan profesi yang berkutat di bidang seni dan lainnya berkutat di pelayanan publik. Dibilang bertolak belakang pun tidak juga sih, tapi memang dua profesi di atas berlainan satu sama lain. Pembaca sekalian tau mengapa saya mengambil judul tulisan ini pemain marawis dan pemadam kebakaran?

Dalam tulisan ini saya hendak bercerita sedikit mengenai adik sepupu saya yang masih kelas satu SD. Muhammad Azzam Ghifary namanya, biasa saya panggil Gipong. Seperti anak-anak kecil lainnya di ibukota si Gipong termasuk yang doyan main keluar rumah. Setiap hari sepulang sekolah dia selalu bermain di luar. Sepak bola selalu menjadi permainan favoritnya bersama teman. Tak jarang dia juga mampir ke rumah ku hanya untuk sekedar menyapa atau ‘laporan’.

Ya laporan. Gipong selalu cerita apa yang dia alami di sekolah atau apa yang menurut dia suatu kejadian yang menarik. Hari ini dia bercerita soal temannya yang menjual video game playstationnya dengan harga murah. Gipong memang anak yang sangat pandai bercerita. Ketika bercerita dia selalu menampakkan antusiasme dan semangat. Kadang saya menilai kebiasaannya ini menyebalkan, terutama ketika saya dalam keadaan lelah dan sedang banyak pikiran.

Ah namanya juga anak kecil. Kadang saya menanggapinya serius, kadang saya juga hanya mengangguk kecil dan mengiyakan perkataannyaa.

Pernah sahabat perempuan saya menelpon. Kebetulan Ghifar ada di samping saya sedang asyik bermain game di laptop. Obrolan kami di telpon memang cukup mesra. Maklum sahabatku ini memang sudah kuanggap sebagai teman curhat dan berbagi cerita. Sebenarnya tidak kali ini saja Ghifar melihat saya asyik bertelepon dengan dia. Suatu hari Gipong menanyakan sesuatu yang membuatku terhenyak.

“Abang kapan nikahnya bang? Kok tiap hari telponan sama pacarnya” pertanyaan anak itu begitu menohok. "Duh itu bukan pacar gw tauu.." Saya bergumam dalam hati.  Lalu saya menanyakan kepadanya sambil tertawa simpul “Emang kenapa pong nanyain bang yasir nikah kapan?”. Dasar anak kecil lugu kali yah. Dia jawab dengan enteng “Kalo abang nikah entar aku main marawis ya di nikahan bang Yasir”. Hehehe jujur saya jadi cukup salut dengan pertanyaan dan jawaban anak ini.

Dia punya passion tersendiri. Tidak kutemui pada sosok anak kecil lainnya. Dia begitu antusias dengan dunia seni islami khususnya marawis.

Saya pernah bertanya padanya “Pong kalo kamu udah gede mau jadi apa”. Jawabannya cukup simpel “mau jadi pemain marawis sama pemadam kebakaran bang”. Saya bengong sejenak. Sedikit berfikir soal pilihan cita-cita yang menurut saya gak lumrah dan ga umum. Kalau kebanyakan anak kecil ditanya apa cita-citanya maka kebanyakan kita akan mendengar jawaban standar. Jadi pilot, dokter, guru, atau polisi selalu jadi jawaban standar anak-anak tentang cita-citanya.

Agak sedikit penasaran saya kembali mengorek informasi dari Gipong. Saya bertanya kenapa sampai dia memilih cita-citanya sebagai seorang pemain marawis dan pemadam kebakaran. Saya pun bercerita bahwa menjadi pemain marawis penghasilannya tak seberapa dan tidak menentu. Sedangkan mejadi pemadam kebakaran meski berstatus PNS tetap saja gajinya kecil dan memiliki resiko kerja yang tinggi.

Sekali lagi jawaban yang meluncur dari mulutnya membuat ku bangga. Dia jawab “ya karena aku suka main marawis soalnya seru”. Saya pun bertanya kembali mengapa ia memilih petugas pemadam kebakaran sebagai pilihan cita-cita lainnya. “Trus kan jadi pemadam kebakaran enak bisa bantu orang madamin api” celotehnya tentang pemadam kebakaran.

Saya sama sekali tidak membayangkan sebelumnya kalau bocah ini punya jawaban yang menurut saya lugas. Kebanyakan anak-anak dijejali dengan segudang cita-cita demi mengejar materi atau pun prestise belaka. Tidak dengan Ghifar, ada passion dalam dirinya. Bukan soal uang tapi soal kepuasaan dan perasaan senang.

Aku Ingin Didengar

Oleh Wongbanyumas

Jum’at sore saya kedatangan dua orang teman. Mereka berdua bisa dibilang salah dua dari teman-teman terbaik yang saya punya. Teman pertama adalah calon pengacara besar (amin). Beliau sedang menempuh pendidikan profesi advokat di Universitas Indonesia (UI). Sedangkan teman saya yang lainnya adalah mahasiswa pascasarjana hukum kenegaraan di kampus yang sama, UI. Sore itu mereka hampir saja dihujani air dari langit. Untungnya mereka segera menemukan rumah mungil saya yang terletak di tengah belantara beton kota Jakarta.

Mereka masing-masing bercerita tentang kesibukan mereka setelah lulus dari kampus merah. Kami juga bertukar kabar tentang teman seperjuangan kami dulu di bangku kuliah. Suasananya begitu menyenangkan. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, menimati obrolan bersama teman. Ya kadang suasana kota mendoan begitu menggoda saya untuk kembali ke sana. Dan salah satu teman saya berceloteh “wah ni anak ga mau dengerin apa omongan gw sir”. Keduanya pun terlibat dalam sebuah proses adu argumen.

Saling sikut, saling jotos, dan saling tangkis. Semuanya terjadi begitu cepat di ruang tamu saya yang sempit. Namun bukan kontak fisik melainkan saling sikut, jotos, dan tangkis pendapat. Satunya merasa tidak didengar sedang yang lainnya merasa tidak melulu harus mendengarkan yang lain. Saling menyalahkan dan bahkan buruknya mengungkit masa lalu. Saya tak habis fikir kok hal sepele pun diperdebatkan. Masih banyak hal lain yang bisa diperdebatkan selain misalnya perkara angkutan umum apa yang harus digunakan. Masya Allah.

Di tengah ‘ketegangan’ itu suasanya tetap terasa cair dan hangat. Kami terus melanjutkan obrolan sampai dekat waktu magrib. Waktu cepat berlalu sampai akhirnya kami harus berpisah.

Sejak awal kedatangan mereka ke rumah saya sudah memprediksi mereka akan asyik ribut sendiri. Apa yang saya tangkap dari rivalitas mereka sesungguhnya sangat sepele. Masing-masing pihak ingin didengarkan oleh pihak yang lain. Meski terlihat sepele ternyata yang namanya proses hearing itu sangat menakjubkan. Kita tidak pernah tahu apakah seseorang itu sedang punya masalah atau tidak. Setidaknya ketika kita mendengar apa yang dia ungkapkan dia merasa dihargai.

Banyak orang yang melatih kemampuan berbicaranya, namun tak banyak orang yang melatih dan meningkatkan kemampuan mendengarnya. Orang bijak bilang kemampuan menjadi pendengar yang baik adalah lebih baik dari pada kemampuan berbicara dengan baik. Dengan kita mendengarkan orang lain maka akan membuat kita mendapatkan kepercayaan dari mereka. Ketika kita mampu menjadi pedengar yang baik untuk seseorang maka dia akan menuruti apa yang kita katakan ketika dia meminta saran.

Marilah kita mulai mencoba untuk menjadi pendengar yang baik. Selalu menyimak dengan teliti apa yang orang lain ungkapkan kepada kita. Tidak menyela dan tidak pula memotong, namun biarkan dia tuntas bicara dan barulah kita memberikan pandangan. Mendengar itu indah, tidak semua manusia mau menjadi pendengar yang baik.