Pages
▼
Mengindonesiakan indonesia
Oleh wongbanyumas
Tulisan ini merupakan sebuah perenungan seorang manusia indonesia yang lahir di indonesia, beribu-bapakkan orang indonesia, sekolah di indonesia, besar dan berkembang di indonesia, mempunyai kawan orang indonesia, memakan makanan yang berasal dari tanah indonesia. Sebuah tulisan yang merupakan cermin jeritan hati putera bangsa yang melihat negerinya tak kunjung selesai menghadapi masalah. Ibu pertiwi yang sedang bersusah hati sampai air matanya berlinang masih terus menangis. Entah sampai kapan derita ibu pertiwi akan berakhir.
Setiap hari kita disajikan dengan tontonan yang memperlihatkan potret anak bangsa yang kelaparan. Lapar akan harta, lapar akan kasih sayang, lapar akan kemajuan, lapar akan kepercayaan seolah sudah menjadi tontonan sehari-hari. Sudah tak terhitung betapa banyaknya pemberitaan tentang kekerasan yang dilakukan oleh anak bangsa terhadap anak bangsa yang lain. Entah setan apa yang merasuk dalam kepala mereka sampi berbuat melampaui batas kewajaran akal sehat ini.
Begitu banyak aksi kejahatan dan amoral yang telah dipertontonkan melalui televisi maupun internet. Tanpa malu mereka memamerkan kemaluan di depan layar kaca, hanya ada senyum kecil seolah menikmati adegan yang khusus untuk pasangan suami istri itu. Menarik nafas sejenak membayangkan betapa rusak dan bobroknya akhlak anak bangsa. Sesak dada ini ketika dikabarkan tentang kebejatan anak negeri.
Sudah bosan kita melihat pejabat yang hilir mudik ke ruang pemeriksaan polisi. Korupsi, musuh besar bangsa ini kini hanya menjadi gincu politik. Semua mengatakan ayo berantas korupsi. Ironisnya beberapa bulan setelah itu mereka digiring ke bui lantaran mengembat uang rakyat. Nikmatnya uang panas kini telah mengalahkan dinginnya lantai penjara. Penjara yng penuh tikus dan tetesan darah serta nanah para penghuninya. Uniknya ternyata para penghuni penjara mendapatkan makanan yang enak. Sebagian besar napi akan menjadi gendut setelah masuk penjara.
Sekali lagi ironi tersaji ketika para politisi berteriak lantang bak dandang/panci yang dipukul dengan segenap emosi. Berteriak menyatakan membela rakyat, demi rakyat, untuk rakyat, tetapi mereka semua tak lebih dari seekor bangsat. Bangsat yang menggigit orang yang terlelap di atas kasur penuh penghisap darah itu. Bangsat yang menghisap darah segar anak negeri. Teriakan mereka tidak dari hati malainkan dari ini (sambil menunjuk perut). Ya, perut yang kosong. Perut yang mendapatkan label “RAKYAT”.
Angin segar berhembus ketika menyaksikan sedikit anak negeri yang berhasil mencapai ketinggian dalam berbagai kompetisi ilmiah. Kimia, fisika, elektronika, robotika, cybernetika. Kurang apa lagi?? Sumberdaya itu sudah ada, sumberdaya itu telah menyeruak dari tandusnya tanah indonesia. Bibit hijau yang siap disemai dan di tanam pada lahan yang penuh humus dan zat hara. Atau dibiarkan layu, mengering dan membusuk diantara perakaran kayu kering.
Indonesiaku, sudah lama aku tak mendengar pekik garuda dan teriakan lantang senandung indonesia raya di langitmu. Hanya ada senandung pop cengeng yang jadi gandrungan anak muda. Tak ada lagi kibar bendera sang dwi warna yang memberikan semburat warnanya kelangit. Hanya ada bendera parpol dan bendera klub sepakbola lokal yang tak punya prestasi mencorong.
Bukan rahasia lagi jika negeri ini diberikan anugerah berupa kekayaan alam yang melimpah ruang tanpa habis. Dibekali jutaan manusia yang siap membangun negeri ini. Serasa ada yang kurang. Memang bangsa ini sangatlah kurang, kurang bersyukur, kurang bersabar, kurang menyadari kekurangannya. Perbaiki kekurangan tersebut sejak sekarang, oleh kita dan untuk anak cucu kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...