Oleh Wongbanyumas
Kemarin kita sempat digegerkan
dengan kehadiran seorang feminis (yang megaku) muslimah. Kedatangannya di
Indonesia menuai kontroversi dan kecaman. Kecaman datang mengalir deras dari
beberapa kelompok ormas (organisasi kemasyarakatan), khususnya ormas islam.
Feminis tersebut hendak mengadakan diskusi di beberapa tempat seperti Jakarta,
Jogja, dan Solo. Yang terjadi adalah semua rangkaian diskusi yang telah
diagendakan snag femini nihil karena dibubarkan oleh pihak yang berwenang atau
malah ditolak mentah-mentah sama sekali.
Irshad Manji nama feminis tersebut.
Mengaku sebagai seorang muslimah Manji berusaha menawarkan ide lama kebebasan
dan pluralisme. Dia tidak menolak adanya kawin sejenis. Mafhum sekali karena
Manji ini seorang lesbian. Kedatangan Manji disambut dengan hangat oleh
komunitas Salihara di Pasar Minggu. Selain itu dukungan datang dari kelompok ures-ures yang
sering meneriakkan slogan kebebasan dan kesetaraan serta pluralisme. Kelompok
tersebut adalah Jaringan Iblis Liberal (maksud penulis JIL nya Ulil Absar dkk).
JIL kerap kali tampil di hadapan
publik berlagak sebagai pembaharu agama islam. Mereka mengatakan islam sebagai
agama tekstual yang sudah usang dimakan usia zaman. Naskh islam
dalam al-qur’an dan hadits ditabrak secara brutal. Dikatakan dua sumber hukum
islam tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan zaman modern seperti sekarang
ini. Qur’an butuh sentuhan tangan manusia agar relevan dengan zaman. Oleh
karena itu JIL membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya dan perubahan
(penyelewengan) makna terhadap qur’an terjadi.
Kelompok liberal ini sesungguhnya
tidak tepat memandang al-qur’an. Mengapa? Apa yang mereka yakini bahwa qur’an
itu sudah old school tak
lain karena mereka menggunakan metode yang salah dalam memandangnya. Qur’an
tidak seperti injil yang sudah dikotori oleh campur tangan manusia. Qur’an
tetap terjaga dan Allah lah yang tetap menjaganya hingga yaumil akhir nanti.
Umat kristiani memiliki metode khusus dalam membedah injil yakni dengan hermeunetika.
Dengan metode ini injil dianggap hanya sebagai teks belaka dan perlu diupdate
agar sesuai dengan kebutuhan masa kini. Naudzubillah.
Kita kembali kepada JIL yang
mengasongkan slogan pluralisme. Apa sih pluralisme itu? Plural berasal dari
bahasa inggris yang artinya jamak/banyak. Sedangkan isme berarti sebuah aliran,
paham, atau jalan hidup. Dapat diartikan pluralisme adalah sebuah pandangan
hidup yang memandang perbedaan menjadi satu ruang lingkup yang sama. Jika
digambarkan secara sederhana pluralisme itu menjadikan satu dari sekian banyak
hal. Contohnya kita bisa meganalogikan dengan sebuah roda di mana setiap
jari-jari roda tersebut adalah sebuah komunitas atau kelompok. Setiap kelompok
berujung kepada satu poros yang sama. Semua bertemu pada satu titik yang sama.
Pluralisme menganggap semua agama di
dunia ini tidak berbeda. Semua agama dianggap sama antara satu dengan yang
lainnya. Mengapa semua dianggap sama? Hal tersebut karena semua agama itu
memiliki suatu entitas teragung, yakin illah (tuhan). Hanya saja setiap agama
mendefinisikan berbeda illah nya masing-masing menurut pandangan para pluralis.
Jika Islam memiliki Allah sebagai entitas tuhan, agama Kristen memiliki Yesus
dan oknum tuhan lainnya dalam trinitas. Lain lagi dengan agama Budha,
Zoroaster, Hindu, Yahudi, ataupun Konfusianis. Semuanya memiliki kecenderungan
yang sama yakni meyakini adanya entitas supranatural yakni tuhan.
Kita bisa melihat di halaman
terdepan website JIL “Dengan nama Allah Tuhan Pengasih Tuhan
Penyayang Tuhan segala agama”. JIL menganggap bahwa semua agama itu sama. Oleh
karena itu JIL menghalalkan perikahan berbeda agama. Bahkan celakaya JIL
membuat cabang fiqh tersendiri yakni fiqih lintas agama yang mengatur hubungan
antar agama. Sering kita lihat pentolan gerakan liberal ataupun LSM yang
bergerak di bidang demokrasi dan kebebasan beragama melakukan doa bersama.
Dalam doa bersama tersebut tak jarang dipimpin oleh orang kristen dengan doa
kepada Yesus, sedangkan yang mengamininya adalah orang yang mengaku beragama
islam.
"Orang2 Yahudi dan Nasrani tdk akan senang kpd kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu." (Al Baqoroh 120)
Meski terkesan sederhana dan sepele
sesungguhnya doa lintas agama tersebut sangat bertentangan dengan kaidah
keimanan dan ketauhidan seorang muslim. Bagaimana mungkin seorang muslim yang
dalam syahadatnya menyatakan bahwa Allah SWT adalah tuhannya malah meminta
kepada Sang Hyang Widi atau meminta kepada Yesus Kristus. Tentunya ini sangat
mencederai syahadat yang kita lafalkan sendiri. Dengan alasan demi kebhinekaan
para tokoh agama tersebut saling berkumpul bersama dan bahkan merayakan hari
raya keagamaan miliki agama lain. Acara halal bil halal yang dihadiri para
biksu ataupun pendeta, natalan bersama yang dihadiri kyai dan para ustad
dianggap bukan hal yang tabu.
Lalu bagimana ummat Islam menyikapi
fenomena seperti ini? Sikap seperti apakah yang harus diambil oleh kita?
Dalam sebuah risalah sejarah nabi
disebutkan sebuah cerita yang cukup menarik. Diceritakan ketika itu Rasulullah
sedang pada fase mengembangkan dakwahnya secara terbuka dikalangan kaum
Quraisy. Yang terjadi saat itu adalah sangat banyak sekali orang yang tertarik
dengan dakwah nabi. Para pemimpin suku Quraisy dan kabilah arab di sekitar
Makkah sangat khawatir. Namun mereka meyakini bahwa akan sangat sulit
menghentikan Rasulullah berdakwah.
Kaum Quraisy paham bahwa semakin
dilarang maka dakwah nabi malah akan jadi semakin hebat. Hal ini dikarenakan
sebagian besar pendukung dakwah nabi adalah kaum terpinggirkan seperti para
wanita dan budak yang pada masa itu menempati stratifikasi sosial terendah
dalam masyarakat. Penentangan terhadap dakwah nabi justru malah akan membuat
orang tertarik ingin tahu tentang apa yang Rasulullah bawa.
Pada saat itu kaum Quraisy mengutus
pamannya meminta nabi agar mau beribadah kpd Tuhan mereka selama sepekan
kemudian merekapun akan beribadah kpd Tuhan kita selama sepekan pula. Tentunya
hal tsb ditolak oleh Rosulullah SAW. Namun dengan tegas Rasulullah menjawab :
"Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku'." (QS. Al Kaafiruun 6)
Jawaban tegas Rasulullah cukup
menjadi panduan bagi kita bagaimana bersikap terhadap isu dan ajakan
pluralisme. Terkadang atas nama toleransi dan kebhinekaan para pengasong
leiberalisme menawarkan dagangan pluralisme dengan sangat manis dan membuai.
Bahkan tak jarang banyak ummat islam khususnya dari kalangan terpelajar ikut
menjadi barisan pengasong pluralisme.
Majelis Ulama Indonesia sebagai
otoritas ulama tertinggi di negeri ini telah melakukan langkah tepat terhadah
isu dan wabah pluralisme. MUI menyatakan pemikiran sekularis, pluralisme, dan
liberalisme (sepilis) adalah haram bagi ummat islam. MUI menggunakan sebutan pluralisme
agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam itu,
maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran agama
Islam
Pemikiran-pemikiran barat kini
mulai makin tidak terbendung akibat adanya invasi budaya melalui demokrasi dan
internet. Pokok utama dari setiap pemikiran barat berpuncak kepada liberalisme
di segala bidang yang menihilkan nilai sama sekali. Pada akhirnya akan
membentuk tata dunia baru di bawah kekuasaan para ‘perancang’.
Ketika kita menolak gagasan
pluralisme apakah kita salah? Tentu saja tidak. Sebagai seorang muslim
hendaknya kita memegang teguh agama kita di atas apapun. Jangan sampai kita
hanya ikut-ikutan dengan trend saja. Kita semua harus mengambil sikap yang sama
untuk menolak ide dan gagasan sepilis. Allah SWT mengingatkan di dalam wahyunya
:
“Mereka ingin agar kamu
menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi
sama (dengan mereka). Janganlah kamu jadikan diantara mereka sebagai
teman-teman (mu), sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. ….” (QS
An-Nisa:89)
Pluralisme itu melemahkan akidah
kita. Membuat kita tidak percaya dengan agama kita sendiri. Indonesia memang
merupakan negara yang heterogen. Beragam suku bangsa, budaya, adat istiadat,
ras, bahkan beragam agama ada di negeri ini. Kita ingin negara ini kuat dan
bersatu sebagai suatu bangsa. Namun demikian bukan berarti alasan keberagaman
(kebhinekaan) dijadikan alasan untuk mensatukan persepsi tentang tuhan dan
agama. Perbedaan itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah rahmat. Kita harus
mensikapinya dengan arif dan saling menghormati. Masyarakat yang plural bukan
berarti harus menafikkan perbedaan. Sikang saling toleransi dan menghargai
dalam sebuah pluralitas, bukan pluralisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...