Oleh Wongbanyumas
Konsep dan Ciri Negara Hukum
Dalam sejarah ketatanegaraan modern di barat pemikiran mengenai negara hukum sangat mengemuka. Namun gagasan ini berawal dari pemikiran Plato sejak jaman yunani. Plato sebagai ahli fikir dan seorang negarawan hendak memikirkan bentuk terbaik sebuah negara. Awalnya menurut Plato penyelenggaraan negara yang baik adalah apabila negara berada di tangan para ahli filsafat (cendikiawan). Namun Plato merubah pandangannya dan berfikir bahwa negara akan dapat diselenggarakan dengan baik apabila berdasarkan sebuah perangkat aturan hukum yang dikenal dengan nomoi.
Negara hukum pada dasarnya bukan semata pemikiran dalam era negara modern. Melainkan sebuah pemikiran panjang sejak zaman yunani kuno dahulu yang dikemukakan pemikir seperti Plato dalam bukunya yang tersohor nomoi dan Aristoteles dalam la politica. Dewasa ini negara hukum identik dengan dua istilah yakni rechstaat dan rule of law. Kedua istilah ini pada dasarnya merupakan bentuk perwujudan negara hukum.
Konsep rechtstaat berasal dari sistem hukum Eropa Kontinental. Gagasan tentang rechstaat lahir sebagai bentuk perlawanan absolutisme raja pada abad ke-tujuh belas. Pemikiran tentang rechtstaats dikembangkan oleh Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law dipopulerkan oleh Albert Venn Dicey pada tahun 1885 melalui bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Jika rechstaat dianut oleh negara dengan sistem hukum Continental maka the rule of law dianut oleh sistem hukum Common Law.
F.J. Stahl mengemukakan empat ciri negara hukum (rechtstaat) sebagai berikut :
- Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
- Pemisahan kekuasaan Negara;
- Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
- Adanya Peradilan Administrasi (PTUN).
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2. Equality before the law.
Persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara.
3. Due Process of Law.
Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi raja dan pejabat-pejabatnya.
Negara hukum dalam pandangan Ahmad Syahrizal adalah ketika negara melaksanakan kekuasaannya maka negara tunduk terhadap peraturan hukum. Ketika hukum eksis terhadap negara maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya negara akan dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku.
Prinsip pokok negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut :
1. Supremasi Hukum (supremacy of law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (equality before the law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas legalitas
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-organ pendukung yang independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, ada pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata dapat dipakai untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi, bank sentral dapat dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (constitutional court)
Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional courts) ini adalah dalam upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Dengan demikian, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.
Para jurist Asia Tenggara dan Pasifik seperti tercantum dalam buku “The Dymanics Aspects of the rule of law in the Modern Age”, dikemukakan syarat rule of law sebagai berikut:
- Perlindungan konstitusional dalam arti bahwa konstitusi selain daripada menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
- Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
- Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
- Pemilihan umum yang bebas;
- Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi;
- Pendidikan civic (kewarganegaraan).
Prinsip negara hukum dan prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan dan berjalan beriringan. Hukum dibangun dan ditegakkan dengan nilai demokrasi. Dan demokrasi juga harus diatur dengan hukum. Montesqiue menyatakan bahwa prinsip demokrasi juga harus patuh pada tata aturan yang berlaku.
“…di dalam asosiasi tersebut orang dapat menyatukan dirinya dengan anggota lain, tetapi tetap patuh pada dirinya sendiri, dan tetap menjadi seorang pribadi yang bebas seperti sebelum bergabung dalam asosiasi tersebut.”
Menurut Montesqieu orang yang yang dipercaya menjalankan kekuasaan harus menggunakan hukum sebagai aturan main dalam menjalankan kekuasaannya. Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Sebagaimana dikatakan oleh Ralf Dahrendorf, bahwa Negara Hukum yang Demokratis (NHD) mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial, yaitu, pertama, perwujudan yang nyata atas persamaan status kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik; kedua, kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu memonopoli jalan menuju ke kekuasaan ; ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik; keempat, menerima perbedaan pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial.
Selain itu berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya konsep supremasi konstitusi dan negara hukum. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh yang dihasilkan oleh DPR bersama Presiden.
Indonesia Sebagai Negara Hukum
Negara hukum merupakan cita-cita dan tujuan kehidupan bernegara modern. Sejak awal pembentukan dan perumusan dasar negara ide negara hukum mengemuka. Dalam UUD 1945 sebelum amandemen secara eksplisit tidak dirumuskan. Melainkan termaktub dalam penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Setelah perubahan UUD 1945 ide negara hukum dicantumkan secara jelas pada Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Menurut Sudargo Gautama 3 ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
a. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan
Maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak terhadap penguasa.
b. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu tangan.
Secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum bukan hanya sebagai negara yang mempunyai seperangkat hukum formal. Melainkan negara yang mendasarkan setiap tindakan baik pemerintah dan rakyatnya berdasarkah hukum. Hukum ada karena tida alasan sebagai mana dinyatakan oleh radbruch yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Dalam kehidupan negara hukum cita-cita atau tujuan utamanya adalah mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini tergambar dalam pembukaan UUD 1945 yang mencantumkan empat tujuan nasional yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara hukum sama sekali tidak dapat dilepaskan dari konsep negara demokratis. Ralf Dahrendorf, mengajukan empat syarat bahwa sebuah negara dikatakan sebagai negara hukum yang demokratis, yaitu, pertama, perwujudan yang nyata atas persamaan status kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik; kedua, kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu memonopoli jalan menuju ke kekuasaan ; ketiga, berlakunya nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik; keempat, menerima perbedaan pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan elemen kreatif dalam kehidupan sosial.
Pernyataan negara hukum dalam konstitusi terdapat pada konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950:
a. UUD RIS 1949 pasal 1 (1): RIS yang merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.
b. UUDS 1950 pasal 1 (1): Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
Utrech membedakan negara hukum menjadi dua yakni negara hukum formal dan negara hukum materil. Sebagai negara hukum Indonesia merupakan negara hukum materil dan negara hukum formal.
Konsep negara hukum sangat terkait dengan kedaulatan rakyat. Dimana rakyat memegang kedaulatannya melalui sebuah dokumen bernama konstitusi. Hukum bukan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa melainkan menjamin kepentingan bagi semua orang. Sehingga negara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah negera hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan bukan absolute rechtsstaat.
Miriam Budiardjo mengemukakan sebuah bentuk negara hukum yang demokratis yakni dengan bentuk demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional merupakan gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, oleh karena itu sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government).