Pages

Tampilkan postingan dengan label pemda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemda. Tampilkan semua postingan

Mengurus Surat Pindah Serta Buat KK Baru dan KTP Baru.

Oleh Yasir Fatahillah
Administrasi kependudukan (adminduk) itu penting. Siapa sini yang bilang adminduk itu ga penting? Sebagai warganegara kita mempunyai hak untuk tercatat sebagai warga negara. Mulai dari lahir sampai kita meninggal semua harus tercatat bro. Misalnya anak yang baru lahir harus segera dibuatkan akta lahir. Kalau ga dibuat pasti nyesel karena susah juga urusnya kalau anak udah gede.

Ya kali ini saya cerita sedikit pengalaman saya mengenai adminduk. Setelah menikahi kekasih hati saya yang aseli Cirebon dan udah beli rumah di Cirebon ya mau ga mau harus pindah kewarganegaraan. Saya harus pindah dari Jakarta ke Cirebon. Gimana tuh prosesnya?

1. Buat surat pindah
Penting banget nih klo kita mau pindah mesti ada surat pindah. Kita ga bisa serta merta pindah ke kota atau kabupaten lain dan minta didaftarin sama dinas kependudukan dan catatan sipil (disdukcapil) yang lebih enak disebut capil. Kenapa begitu? Semenjak berlakunya KTP elektronik atau orang biasa nyebut eKTP sekarang semua data SIAK (sistem administrasi kependudukan) terintgrasi. Semuanya disimpan dalam satu server kemendagri. Bukan hanya biodata tetapi foto dan sidik jari kita juga disimpan.

Oke back to topic ya. Alurnya pertama kali mesti minta surat pengantar dari RT, RW, dan Kecamatan. Nah kalau sudah kita bisa maju ke Capil buat minta surat pindah. Kalau surat pindah sudah jadi silahkan bawa ke RT, RW, Desa/kelurahan, Kecamatan tempat tujuan pindah kamu. Minta dilegalisir surat pindahnya yang belakang. Jadi mesti ada stempel dan tandatangan RT, RW, Lurah, dan Camat. Kalau sudah langsung kasihkan ke capil tujuan pindah kita. Nantinya akan diterbitkan kartu keluarga (KK) personal yang isinya hanya diri kita sendiri.

2. Menyatukan/pindah KK
Terus anak dan istri saya gimana? Nah itu lain lagi. Anak dan isteri saya belum masuk ke dalam KK saya. Yang saya lakukan adalah datang ke kelurahan/desa untuk minta KK sementara. KK sementara ini diisi dengan data terupdate keluarga saya. Nah anak dan isteri sudah saya masukin di sini. Kalau udah jadi kelurahan akan print KK definitif kita berdasarkan KK sementara. Tapi tetap saja kita harus ke capil untuk minta tandatangan kepala dinasnya.

3. Buat KTP baru
Nah dengan pindahnya saya ke tempat baru artinya segala dokumen saya harus buat baru. Sebenarnya ada pasport, KTP, dan SIM yang harus saya ganti. Karena SIM baru perpanjang Agustus lalu rasanya sayang kalau keluar duit lagi buat bikin SIM. Akhirnya KTP saja yang saya harus buat baru lagi. Nah ini gimana caranya ya? Setelah KK ditandatangani kepala Disdukcapil barulah kita minta surat rekom (pengantar) dari kecamatan supaya capil menerbitkan KTP baru saya. Kalau sudah dapat rekom langsung bawa ke capil bagian eKTP. Langsung foto dan voila selesai sudah. Prosesnya ga ribet Cuma makan waktu aja.

Dan Kabupaten Cirebon termasuk keren. Semuanya gratis ga ada biaya apapun kecuali recehan buat mamang tukang parkir.

Pengelolaan sampah perkotaan


Oleh wongbanyumas

Perkembangan zaman semakin pesat dan semakin maju. Semua aktivitas dan kegiatan manusia juga turut berderap cepat seiring perkembangan zaman. Masyarakat yang pada awalnya merupakan sebuah komunitas kecil pada akhirnya di era modern ini membentuk sebuah entitas yang besar dan kompleks. Suatu masyarakat yang kompleks dan heterogen di dalamnya terdapat begitu banyak permasalahan. Masalah yang timbul salah satunya adalah pengelolaan sampah yang buruk. Selama ini penanganan sampah baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota terkesan setengah hati.

Kebijakan pemerintah mengenai sampah dinilai kurang memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan (sustainable). Pengelolaan sampah di berbagai daerah di Indonesia hanya mengacu pada paradigma pengelolaan yang instan dengan pendekatan akhir (end of-pipe). Pengelolaan sampah hanya dilakukan hanya dilakukan dengan pembuangan ke tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa melalui proses reduce, reuse, dan recycle (3R). Sampah yang ada dan berasal dari masyakat tidak pernah diproses dan dilakukan kegiatan pemanfaatan secara ekonomis terhadap sampah yang muncul. Akibatnya dapat kita saksikan bahwa sampah yang menggunung pada akhirnya tidak dapat ditangani.

Ketika tumpukan sampah sudah sangat banyak dan tidak dapat tertangani maka langkah yang sering diambil oleh sebagian besar daerah di Indonesia adalah dengan memindahkan TPA ke tempat lain. Sepintas hal ini terlihat mudah dan sepele bagi sebagian orang. Namun sesungguhnya tumpukan sampah yang muncul tersebut pada akhirnya berpotensi untuk menimbulkan penyakit.

Masyarakat yang semakin berkembang pesat juga menghasilkan banyak sampah. Terutama daerah perkotaan yang menjadi penghasil sampah terbesar. Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar sebesar 37,6 % , yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 %.1 Semakin bertambahnya penduduk dan perumahan membuat produksi sampah dan limbah semakin membengkak.

Pertambahan penduduk dan arus perpindahan masyrakat dari desa ke kota yang sangat pesat menyebabkan timbunan sampah di TPA semakin tinggi. Purwokerto sebagai salah satu kota yang memiliki potensi pengembangan ekonomi cukup tinggi ternyata menarik banyak warga dari desa. Terlebih Purwokerto memiliki sebuah uiversitas negeri yakni Universitas Jenderal Soedirman. Tentunya hal tersebut menjadi magnet yang sangat kuat. Sehingga arus perpindahan penduduk menuju kota Purwokerto tidak dapat dielakkan lagi.,

Berdasarkan pengamatan penulis banyak berdiri komplek pemukiman baru. Pembangunan perumahan tersebut tentu saja mengandung konsekuensi bahwa jumlah penduduk semakin bertambah. Dari banyaknya jumlah penduduk berbanding lurus dengan banyaknya sampah yang dihasilkan. Tingkat kemakmuran dan peningkatan taraf ekonomi merubah pola hidup masyarakat menjadi konsumtif, sehingga jumlah sampah yang dihasilkan semakin membengkak. Dampak yang timbul adalah jangka waktu penampungan di tempat pembuangan akhir berkurang, serta sulitnya mendapatkan lahan tempat pembuangan akhir yang baru. TPA yang diproyeksikan dapat beropersi selama 25 tahun menurut standard SNI ternyata hanya mampu beroperasi kurang dari itu. Hal ini semakin sulit karena adanya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah baru.

Ketika berbicara mengenai pengelolaan sampah seringkali terjadi tumpang tindih. Pengelolaan sampah seringkali menjadi wewenang banyak dinas di daerah. Dinas kebersihan, dinas tata kota, dinas lingkungan kadang mengelola sampah secara bersamaan. Hal ini menimbulkan kekacauan dalam koordinasi dengan pejabat terkait. Pembiayaan kegiatan pengelolaan sampah berupa penarikan retribusi kadang juga tidak jelas. Hal ini juga terkait dengan kewenangan dinas terkait yang tumpang tindih.

Pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang) atau jasa. Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja sebagai upaya pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat dan atau Satuan Kerja/Pegawai pada Satuan Kerja lainnya sebagai penerima pelayanan maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.
Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang ini terdiri atas:
a. sampah rumah tangga;
b. sampah sejenis sampah rumah tangga; dan
c. sampah spesifik

Sedangkan menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, jenis sampah meliputi sampah organik dan non organik. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.

Setelah era reformasi berlalu sistem pemerintahan daerah di Indonesia menganut asas desentralisasi. Daerah memiliki wewenang secara otonom untuk mengatur dan mengurus daerah. Namun wewenang yang dimiliki daerah tidak boleh melampaui wewenang pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah pusat meliputi:
1.politik luar negeri;
2.pertahanan;
3.keamanan;
4.yustisi;
5.moneter dan fiskal nasional; dan
6.agama.

Di luar enam urusan pemerintahan tersebut daerah berhak untuk melakukan pengelolaan secara mandiri. Daerah dapat melakukan regulasi dan menjalankan wewenang selain enam poin wewenang pemerintah pusat.

Indonesia merupakan penganut konsep negara kesejahteraan yang memiliki ciri utama yaitu adanya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Hal itu menimbulkan konsekuensi bahwa negara harus ambil bagian dalam setiap aspek kehidupan agar tercipta kesejahteraan bagi warga negaranya. Tidak terkecuali dalam hal penglolaan sampah. Pasal 28 f UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.

Dalam pasal 5 Undang-Undang No 18 Tahun 2008 pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan. Tugas sebagaimana pasal 5 tersebut terdiri atas :
> menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah;
> melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah;
> memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah;
> melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah;
> mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
> memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
> melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.

Pemerintahan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah :
1. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
2. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
3. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain;
4. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
5. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
6. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.

Tempat pembuangan akhir sampah yang selanjutnya disebut TPA adalah lokasi beserta prasarana fisiknya yang telah ditetapkan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pengolahan dan pembuangan akhir sampah. Metode penanganan sampah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah adalah sebagai berikut:
• Untuk kota sedang dan kota kecil TPA harus menggunakan metode Controlled Landfill (PP No. 16 Tahun 2005)
• Untuk kota metro dan kota besar TPA harus menggunakan metode Sanitary Landfill (PP No. 16 Tahun 2005)

Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amanat Undang-Undang Dasar tersebut memberikan konsekuensi bahwa pemerintah wajib memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan sampah.

Secara umum, daerah perkotaan atau perdesaan yang mendapatkan pelayanan persampahan yang baik akan dapat ditunjukkan memiliki kondisi sebagai berikut :
a. Seluruh masyarakat, baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan memiliki akses untuk penanganan sampah yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari, baik di lingkungan perumahan, perdagangan, perkantoran, maupun tempat-tempat umum lainnya

b. Masyarakat memiliki lingkungan permukiman yang bersih karena sampah yang dihasilkan dapat ditangani secara benar.

c. Masyarakat mampu memelihara kesehatannya karena tidak terdapat sampah yang berpotensi menjadi bahan penularan penyakit seperti diarhea, thypus, disentri, dan lain-lain; serta gangguan lingkungan baik berupa pencemaran udara, air, atau tanah.

d. Masyarakat dan dunia usaha/swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan persampahan sehingga memperoleh manfaat bagai kesejahteraannya.

Pada dasarnya pelayanan sampah merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh Negara. Kebutuhan pelayanan sampah sudah menjadi kebutuhan primer khususnya bagi warga perkotaan. Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, setiap orang di Jakarta menghasilkan sampah rata-rata 2,9 liter per hari. Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari mereka menimbun 26.945 meter kubik atau sekitar 6.000 tong sampah. Sehingga pelayanan sampah yang baik sudah menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah kota Purwokerto. Menilik dari berbagai kasus pengelolaan sampah seperti kasus TPA bojong dan TPA leuwi gajah hendaknya pemerintah memiliki strategi dan kebijakan persampahan yang komperhensif dan tepat sasaran.

CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA DI INDONESIA PASCA UU No. 12 TAHUN 2008

Oleh wong banyumas
Pemerintahan daerah di Indonesia
Pemerintahan daerah di negara kita diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Yang diturunkan melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) maka berlaku sistem pemerintahan daerah secara otonom dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan UU Pemda Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari definisi yang diberikan oleh undang-undang dapat kita lihat bahwa sistem penmerintahan daerah di Indonesia menganut otonomi luas. Dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengurus diri sendiri secara mandiri (menyelenggarakan pemerintahan). Dimana kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat luas. Dalam pemerintahan daerah Indonesia menganut sistem rumah tangga formal (formale huishoundingsbe-grip). Dalam sistem rumah tangga formal urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditentukan secara limitatif. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat 5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam pasal 10 ayat 2 UU Pemda yang meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU Pemda disebutkan bahwa Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai organ atau alat yang menjalankan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi eksekutif dengan dibantu oleh DPRD sebagai lembaga yudikatif dalam suatu daerah serta mengatur daerahnya dengan peraturan daerah (perda). Sesuai dengan fungsinya pemerintah daerah harus manjalankan amanat UUD 1945 yaitu menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya
Tugas dan wewenang kepala daerah menurut Pasal 25 UU Pemda adalah :
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dulu dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada dataran konsep prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesai bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.
Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pada masa itu pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD.
Sejalan dengan pngangkatan kepala daerah. DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan tanggung jawab secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut. Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar LPJ yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.
Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.
Pilkada langsung
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pilkada. Kita harus mengetahui apakah definisi dari pilkada terlebih dahulu. Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan pemerintah tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Definisi dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pilkada adalah sebuah sarana bagi daerah untuk menjalankan otonomi daerah. Melalui pilkada rakyat dapat memilh pemimpin yang aspiratif dan dapat memberikan kemajuan serta kemakmuran bagi masyarakat. Sebagaimana kosep wellfarestate yang dianut oleh Indonesia. Dalam kehidupan berdemokrasi proses pilkada sangat penting. Melalui Pilkada itulah aspirasi masyarakat dapat terwakili dan diakomodasi secara langsung.
Dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dinyatakan “gubernur, bupati, walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Demokratis tersebut diartikan sebagai pemilihan langsung sebagaimana prinsip one man one vote dalam praktek demokrasi.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemda pada pasal 56. Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik. Masyarakat menilai kinerja partai politik seelama ini sangat mengecewakan. Keinginan masyarakat tersebut ahirnya melalui Lalu Ranggalawe diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil terhadap UU No. 32 tahun 2004 tenteng Pemerintahan Daerah. Ranggalawe mengangap bahwa undang-undang tersebut membatasi hak warganegara untuk duduk dala pemerintahan. Akhirnya pada tahun 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa calon perseorangan (calon independen) dapat ikut dalam pilkada.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam huku dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
Atas dasar dua pasal tersebut MK menyatakan bahwa calon idependen dapat berpartisipasi dalam pilkada, karena hal tersebut adalah hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Kini masyarakat menyambut positif putusan MK tersebut. Dan saat ini telah keluar Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. dalam undang-undang tersebut diatur mengenai mekanisme Pilkada yang diikuti oleh calon independen.
Dalam pasal 56 yang menggantikan pasal yang sama pada UU No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa:
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Calon independen dapat turut meramaikan Pilkada kedepan nantinya. Pilkada dengan calon independen pertama kali dilaksanakan di Aceh yang diselenggarakan oleh KIP. Dan calon independen dalam pilkada Aceh mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Bahkan Gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf merupakan calon independen. Terbukti bahwa tak selamanya partai politik mampu menyerap aspirasi masyarkat, sudah waktunya bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pemerintahan. Kedepannya kepala daerah tidak selamanya harus memiliki kendaraan politik. Tokoh masyarakat yang disegani masyarakat kini dapat memimpin warganya tanpa harus menyerahkan uang kepada partai politik.
Pencalonan diri
Peserta pilkada adalah pasangan calon yang terdiri dari calon Gubernur atau Bupati atau Walikota dan wakilnya. Calon kepala daerah dan wakilnya dapat diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik maupun perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2008.
Pencalonan melalui partai politik sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Jika diajukan oleh gabungan partai politik suara partai politik tersebut juga harus memenuhi 15%. Partai politik yang tidak memenuhi 15% dapat melakukan koalisi dengan partai lain untuk mencalonkan pasangan kepala daerah.
Dalam UU No. 12 tahun 2008, calon perorangan dibagi dua kategori yaitu calon Gubernur-wakil gubernur dan Bupati/wakil bupati atau Walikota/wakil walikota.
Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.

Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan l.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Nantinya calon independen yang akan menjadi calon kepala daerah harus mengumpulkan dukungan dari konstituennya. Dukungan ini dapat dilakukan dengan surat pernyataan dukungan yang dilampirkan dengan kartu identitas. Jika telah memenuhi persyaratan maka syarat yang telah terkumpul diserahkan kepada KPUD untuk dilakukan verifikasi. Nantinya akan dilakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat yang telah dilampirkan oleh pasangan bakal calon kepala daerah dan wakilnya. Jika telah lolos verifikasi maka KPUD akan menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon. Selanjutnya dilakukan undian secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan calon.
Melihat mekanisme pencalonan calon independen di atas terlihat cukup sulit dan merepotkan. Dukungan terhadap calon independen dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penentuan syarat ini cukup pelik dalam perumusannya di DPR. Sebagaimana kita ketahui bahwa administrasi kependudukan di Indonesia memang dinilai kurang baik. Masih banyaknya pemilik KTP ganda dan KTP palsu di masyarakat cukup menghawatirkan. Dikhawatirkan adanya pendukung bayangan yang turut mendukung pasangan calon. Tentunya ini menjadi masalah baru bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai pelaksana Pilkada.
Selain mekanisme pencalonan kepala daerah UU No 12 tahun 2008 memberikan persyaratan yang cukup banyak untuk menjadi calon kapala daerah antara lain :
1.bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
3.berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
4.berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
5.sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
6.tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
7.tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
8.mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
9.menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
10.tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
11.tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
12.memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
13.menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
14.belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
15.tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
16.mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya.
Potensi dan hambatan
Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa calon independen merupakan keinginan masyarakat dan sebagai sebuah bentuk pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia. Selama ini kepala daerah yang terpilih merupakan calon yang diusung oleh partai politik. Tentu saja mereka merupa terpilih berdasarkan bargaining politik yang mereka lakukan. Penulis tidak berupaya menyudutkan kinerja partai politik yang dianggap kuarng optimal. Salah memang jika kita menggeneralisir partai politik di negeri ini. Namun pada kenyataannya memang partai politik di Indonesia masih belum menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Untuk itulah calon independen seperti pelepas dahaga di tengah kekeringan figur pemimpin. Potensi yang dimiliki calon independen sangat besar dalam konstelasi politik ke depan. Krisis kepercayaan terhadap partai politik dapat memicu kinerja dari calon independen. Calon independen dapat menjawab kegelisahan masyarakat ketika partai politik hanya dihuni oleh para pengusaha dan konglomerat.
Calon independen adalah calon yang diusung oleh masyarakat di daerah tersebut. Logika yang berlaku adalah figur yang diusung adalah orang yang dipecayai dan dicintai oleh masyarakat. Sesuai dengan budaya politik masyarakat Indonesia yaitu budaya politik kawula, dimana sang pemimpin akan dituruti perintahnya meskipun kadang mengandung kealpaan. Kebijakan kepala daerah kedepan akan lebih diterima masyarakat sehingga program mereka akan berhasil diimplementasikan dalam pemerintahan.
Sesuai dengan teori kontrak sosial oleh J.J. Rousseau bahwa kesepakatan masyarakat akan kuat dan tidak mudak dipatahkan jika mencapai satu kehendak tunggal. Hal ini juga berlaku terhadap calon independen yang akan diusung masyarakat. Jika terpilih maka dukungan masyarakat akan menopangnya dari belakangan meskipun tanpa dukunga fraksi di DPRD.
Karena diusung oleh masyarakat biasanya figur yang diusung adalah putera daerah. Putera daerah selama ini diyakini mampu mewakili aspirasi masyarakat. Sosok putera daerah dianggap paham masalah yang ada dan mengetahui solusi yang dihadapi daerah tersebut. Kebijakan yang tepat sasaran diharapkan oleh masyarakat dari calon independen.
Keberadaan calon independen juga sebagai proses pendewasaan terhadap partai politik. Partai politik harus menata diri dan harus membangun imej yang aspiratif. Jika tidak melakukan perubahan pastinya partai politik akan ditinggalkan masyarakat dan beralih kepada calon independen. Hal ini akan mempengaruhi pola kaderisasi partai sehingga tidak asal dalam mengusung bakal calon kepala daerah.
Selain itu calon independen juga dianggap punya ekses negatif. Kemungkinan kebijakan yang diambil tidak didukung oleh DPRD akan menyulitkan kepala daerah. Terutama dalam hal pembuatan Perda yang mengusik kepentingan para anggota DPRD. Padahal seharusnya ada mekanisme check and balance antara kedua lembaga ini.
Kemungkinan praktek kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan money politics dimungkinkan terjadi. Bisa saja seorang figur yang melaju ke kancah pertarungan Pilkada di back up oleh segelintir orang yang menginginkan harta dan jabatan. Pastinya dengan segala upaya mereka akan berusaha memenangkan bakal calon ini. Praktek suap dan gratifikasi sudah bukan menjadi rahasia umum jika menjelang hajatan rakyat ini. Yang menghawatirkan adalah praktek politik uang yang menggadaikan suara masyarakat dengan sejumlah uang yang tidak seberapa besar.
Tentunya pencalonan kepala daerah melalui jalur partai maupun melalui calon perorangan memiliki dampak, baik positif maupun negatif. Yang terpenting disini adalah kontrol masyarakat dalam menjaga demokrasi. Kita harus mengawasi kinerja partai politik, DPRD, dan kepala daerah. Semua ini demi kemajuan daerah dan kemakmuran bersama. Alangkah baiknya ketika siapapun yang terpilih baik lewat partai maupun calon perorangan harus didukung oleh masyarakat, tanpa melihat asal-usulnya. Pendidikan politik seperti inilah yang harus ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia.