Pages

CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA DI INDONESIA PASCA UU No. 12 TAHUN 2008

Oleh wong banyumas
Pemerintahan daerah di Indonesia
Pemerintahan daerah di negara kita diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Yang diturunkan melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) maka berlaku sistem pemerintahan daerah secara otonom dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Berdasarkan UU Pemda Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari definisi yang diberikan oleh undang-undang dapat kita lihat bahwa sistem penmerintahan daerah di Indonesia menganut otonomi luas. Dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengurus diri sendiri secara mandiri (menyelenggarakan pemerintahan). Dimana kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat luas. Dalam pemerintahan daerah Indonesia menganut sistem rumah tangga formal (formale huishoundingsbe-grip). Dalam sistem rumah tangga formal urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditentukan secara limitatif. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat 5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam pasal 10 ayat 2 UU Pemda yang meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Berdasarkan pasal 1 ayat 3 UU Pemda disebutkan bahwa Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai organ atau alat yang menjalankan pemerintahan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dapat diartikan sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan fungsi eksekutif dengan dibantu oleh DPRD sebagai lembaga yudikatif dalam suatu daerah serta mengatur daerahnya dengan peraturan daerah (perda). Sesuai dengan fungsinya pemerintah daerah harus manjalankan amanat UUD 1945 yaitu menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya
Tugas dan wewenang kepala daerah menurut Pasal 25 UU Pemda adalah :
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b. mengajukan rancangan Perda;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati dan untuk kota adalah walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota. Kepala daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Semasa orde baru hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD tidak seimbang. DPRD sangat kuat karena dapat mengusulkan pengangkatan kepada Presiden serta dapat memberhentikan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dulu dilaksanakan oleh DPRD yang dianggap sebagai representasi rakyat di daerah. DPRD dapat menunjuk kepala daerah yang dianggap layak dan mampu memimpin daerah. Pada dataran konsep prinsip perwakilan seperti ini sangat bagus dan efektif. Namun melihat kenyataan di Indonesai bahwa sebagian besar orang yang duduk dalam pemerintahan adalah orang yang cenderung menyalahgunakan jabatannya.
Seperti halnya dengan pengangkatan kepala daerah. Pada masa itu pemilihan kepala daerah oleh DPRD sarat dengan kepentingan. Bukan sebuah rahasia lagi Kepala daerah yang akan ditunjuk oleh DPRD harus melakukan apa yang “diinginkan” oleh anggota DPRD. Praktek seperti ini akan menimbulkan sebuah budaya korupsi yang melembaga. Pemilihan kepala daerah tidak didasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk memimpin daerah. Melainkan kemampuan untuk memberikan uang kepada anggota DPRD.
Sejalan dengan pngangkatan kepala daerah. DPRD saat itu dapat memberhentikan kepala daerah, melalui mekanisme laporan tanggung jawab secara berkala kepada DPRD. Jika DPRD menolak laporan pertanggungjawaban dari kepala daerah maka DPRD dapat memberhentikan kepala daerah tersebut. Praktek seperti ini juga menimbulkan masalah yaitu praktek korupsi. Seringkali anggota DPRD meminta imbalan kepada kepala daerah agar LPJ yang diberikan tidak ditolak oleh anggota DPRD.
Seiring dengan semangat reformasi masyarakat menuntut diadakannya perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan ke dua pada 18 Agustus 2000 dilakukan amandemen dengan merubah ketentuan mengenai pemerintahan daerah pada pasal 18. Amandemen ini merubah sistem pemerintahan daerah secara menyeluruh.
Pilkada langsung
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pilkada. Kita harus mengetahui apakah definisi dari pilkada terlebih dahulu. Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan pemerintah tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Definisi dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pilkada adalah sebuah sarana bagi daerah untuk menjalankan otonomi daerah. Melalui pilkada rakyat dapat memilh pemimpin yang aspiratif dan dapat memberikan kemajuan serta kemakmuran bagi masyarakat. Sebagaimana kosep wellfarestate yang dianut oleh Indonesia. Dalam kehidupan berdemokrasi proses pilkada sangat penting. Melalui Pilkada itulah aspirasi masyarakat dapat terwakili dan diakomodasi secara langsung.
Dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dinyatakan “gubernur, bupati, walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Demokratis tersebut diartikan sebagai pemilihan langsung sebagaimana prinsip one man one vote dalam praktek demokrasi.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) diatur dalam UU Pemda pada pasal 56. Sebelumnya Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun ada keinginan dari masyarakat untuk memilih kepala daerah tanpa harus melalui partai politik. Masyarakat menilai kinerja partai politik seelama ini sangat mengecewakan. Keinginan masyarakat tersebut ahirnya melalui Lalu Ranggalawe diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materil terhadap UU No. 32 tahun 2004 tenteng Pemerintahan Daerah. Ranggalawe mengangap bahwa undang-undang tersebut membatasi hak warganegara untuk duduk dala pemerintahan. Akhirnya pada tahun 2007 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa calon perseorangan (calon independen) dapat ikut dalam pilkada.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam huku dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”
Atas dasar dua pasal tersebut MK menyatakan bahwa calon idependen dapat berpartisipasi dalam pilkada, karena hal tersebut adalah hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negara. Kini masyarakat menyambut positif putusan MK tersebut. Dan saat ini telah keluar Undang-undang No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. dalam undang-undang tersebut diatur mengenai mekanisme Pilkada yang diikuti oleh calon independen.
Dalam pasal 56 yang menggantikan pasal yang sama pada UU No. 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa:
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang ini."
Calon independen dapat turut meramaikan Pilkada kedepan nantinya. Pilkada dengan calon independen pertama kali dilaksanakan di Aceh yang diselenggarakan oleh KIP. Dan calon independen dalam pilkada Aceh mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Bahkan Gubernur Aceh sekarang, Irwandi Yusuf merupakan calon independen. Terbukti bahwa tak selamanya partai politik mampu menyerap aspirasi masyarkat, sudah waktunya bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pemerintahan. Kedepannya kepala daerah tidak selamanya harus memiliki kendaraan politik. Tokoh masyarakat yang disegani masyarakat kini dapat memimpin warganya tanpa harus menyerahkan uang kepada partai politik.
Pencalonan diri
Peserta pilkada adalah pasangan calon yang terdiri dari calon Gubernur atau Bupati atau Walikota dan wakilnya. Calon kepala daerah dan wakilnya dapat diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik maupun perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2008.
Pencalonan melalui partai politik sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Jika diajukan oleh gabungan partai politik suara partai politik tersebut juga harus memenuhi 15%. Partai politik yang tidak memenuhi 15% dapat melakukan koalisi dengan partai lain untuk mencalonkan pasangan kepala daerah.
Dalam UU No. 12 tahun 2008, calon perorangan dibagi dua kategori yaitu calon Gubernur-wakil gubernur dan Bupati/wakil bupati atau Walikota/wakil walikota.
Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud.

Pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen);
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan l.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud di atas tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Nantinya calon independen yang akan menjadi calon kepala daerah harus mengumpulkan dukungan dari konstituennya. Dukungan ini dapat dilakukan dengan surat pernyataan dukungan yang dilampirkan dengan kartu identitas. Jika telah memenuhi persyaratan maka syarat yang telah terkumpul diserahkan kepada KPUD untuk dilakukan verifikasi. Nantinya akan dilakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat yang telah dilampirkan oleh pasangan bakal calon kepala daerah dan wakilnya. Jika telah lolos verifikasi maka KPUD akan menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon. Selanjutnya dilakukan undian secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan calon.
Melihat mekanisme pencalonan calon independen di atas terlihat cukup sulit dan merepotkan. Dukungan terhadap calon independen dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penentuan syarat ini cukup pelik dalam perumusannya di DPR. Sebagaimana kita ketahui bahwa administrasi kependudukan di Indonesia memang dinilai kurang baik. Masih banyaknya pemilik KTP ganda dan KTP palsu di masyarakat cukup menghawatirkan. Dikhawatirkan adanya pendukung bayangan yang turut mendukung pasangan calon. Tentunya ini menjadi masalah baru bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai pelaksana Pilkada.
Selain mekanisme pencalonan kepala daerah UU No 12 tahun 2008 memberikan persyaratan yang cukup banyak untuk menjadi calon kapala daerah antara lain :
1.bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
3.berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
4.berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;
5.sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
6.tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
7.tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
8.mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
9.menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
10.tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
11.tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
12.memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
13.menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
14.belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
15.tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan
16.mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya.
Potensi dan hambatan
Sebagaimana telah penulis uraikan sebelumnya bahwa calon independen merupakan keinginan masyarakat dan sebagai sebuah bentuk pembelajaran politik bagi rakyat Indonesia. Selama ini kepala daerah yang terpilih merupakan calon yang diusung oleh partai politik. Tentu saja mereka merupa terpilih berdasarkan bargaining politik yang mereka lakukan. Penulis tidak berupaya menyudutkan kinerja partai politik yang dianggap kuarng optimal. Salah memang jika kita menggeneralisir partai politik di negeri ini. Namun pada kenyataannya memang partai politik di Indonesia masih belum menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik.
Untuk itulah calon independen seperti pelepas dahaga di tengah kekeringan figur pemimpin. Potensi yang dimiliki calon independen sangat besar dalam konstelasi politik ke depan. Krisis kepercayaan terhadap partai politik dapat memicu kinerja dari calon independen. Calon independen dapat menjawab kegelisahan masyarakat ketika partai politik hanya dihuni oleh para pengusaha dan konglomerat.
Calon independen adalah calon yang diusung oleh masyarakat di daerah tersebut. Logika yang berlaku adalah figur yang diusung adalah orang yang dipecayai dan dicintai oleh masyarakat. Sesuai dengan budaya politik masyarakat Indonesia yaitu budaya politik kawula, dimana sang pemimpin akan dituruti perintahnya meskipun kadang mengandung kealpaan. Kebijakan kepala daerah kedepan akan lebih diterima masyarakat sehingga program mereka akan berhasil diimplementasikan dalam pemerintahan.
Sesuai dengan teori kontrak sosial oleh J.J. Rousseau bahwa kesepakatan masyarakat akan kuat dan tidak mudak dipatahkan jika mencapai satu kehendak tunggal. Hal ini juga berlaku terhadap calon independen yang akan diusung masyarakat. Jika terpilih maka dukungan masyarakat akan menopangnya dari belakangan meskipun tanpa dukunga fraksi di DPRD.
Karena diusung oleh masyarakat biasanya figur yang diusung adalah putera daerah. Putera daerah selama ini diyakini mampu mewakili aspirasi masyarakat. Sosok putera daerah dianggap paham masalah yang ada dan mengetahui solusi yang dihadapi daerah tersebut. Kebijakan yang tepat sasaran diharapkan oleh masyarakat dari calon independen.
Keberadaan calon independen juga sebagai proses pendewasaan terhadap partai politik. Partai politik harus menata diri dan harus membangun imej yang aspiratif. Jika tidak melakukan perubahan pastinya partai politik akan ditinggalkan masyarakat dan beralih kepada calon independen. Hal ini akan mempengaruhi pola kaderisasi partai sehingga tidak asal dalam mengusung bakal calon kepala daerah.
Selain itu calon independen juga dianggap punya ekses negatif. Kemungkinan kebijakan yang diambil tidak didukung oleh DPRD akan menyulitkan kepala daerah. Terutama dalam hal pembuatan Perda yang mengusik kepentingan para anggota DPRD. Padahal seharusnya ada mekanisme check and balance antara kedua lembaga ini.
Kemungkinan praktek kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan money politics dimungkinkan terjadi. Bisa saja seorang figur yang melaju ke kancah pertarungan Pilkada di back up oleh segelintir orang yang menginginkan harta dan jabatan. Pastinya dengan segala upaya mereka akan berusaha memenangkan bakal calon ini. Praktek suap dan gratifikasi sudah bukan menjadi rahasia umum jika menjelang hajatan rakyat ini. Yang menghawatirkan adalah praktek politik uang yang menggadaikan suara masyarakat dengan sejumlah uang yang tidak seberapa besar.
Tentunya pencalonan kepala daerah melalui jalur partai maupun melalui calon perorangan memiliki dampak, baik positif maupun negatif. Yang terpenting disini adalah kontrol masyarakat dalam menjaga demokrasi. Kita harus mengawasi kinerja partai politik, DPRD, dan kepala daerah. Semua ini demi kemajuan daerah dan kemakmuran bersama. Alangkah baiknya ketika siapapun yang terpilih baik lewat partai maupun calon perorangan harus didukung oleh masyarakat, tanpa melihat asal-usulnya. Pendidikan politik seperti inilah yang harus ditumbuhkan dalam masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...