Pages

PARTAI POLITIK LOKAL DALAM PERCATURAN POLITIK DI NANGROE ACEH DARUSSALAM

Oleh wongbanyumas

Perundingan damai yang menghasilkan nota kesepahaman yang dilangsungkan di Helsinki, finlandia pada 15 Agustus 2006 merupakan awal titik terang dalam penyelesaian konflik berkepanjangan antara pemerintah dengan GAM. Dicapai beberapa butir kesepakatan yang merupakan bentuk aspirasi masyarakat Aceh. Aceh diberikan kesempatan yang sangat besar dalam mengurus daerah dengan pemberian otonomi khusus yang diamanatkan dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

Pemberian wewenang kepada daerah melalui otonomi daerah adalah amanat dari Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pada masa orde baru menganut sistem sentralisasi namun dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 maka hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menganut sistem desentralisasi.

Pasca pelaksanaan pemilihan umum secara langsung (pemilu) presiden pada tahun 2004. Kini muncul euforia baru dalam kehidupan berdemokrasi bagi masyarakat indonesia. Digulirkannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota. Membangkitkan semangat baru bagi masyarakat Aceh dalam membentuk kehidupan baru pasca konflik untuk membangun Aceh menjadi lebih baik. Walaupun UU pemerintahan Aceh memberikan kesempatan bagi partai politik lokal dalam pilkada. Hal ini akan baru terwujud pada pilkada tahun 2009.

Dalam pilkada aceh terdapat suatu permasalahan yang menjadi kontroversi. Yaitu adanya wacana partai politik lokal dalam pilkada Aceh. Apakah ada landasan hukum yang kuat sebagai dasar adanya partai politik lokal dalam pilkada Aceh? Muncul banyak anggapan bahwa pemerintah memberikan kewenangan politik terlalu besar terhadap Aceh. Sebenarnya keberadaan partai politik lokal tersebut apakah menyalahi peraturan yang telah ada? Dengan diberikannya peluang partai lokal ditakutkan akan muncul masalah. Banyak daerah yang akan menuntut hal yang sama terhadap pemerintah.

Proses pilkada Aceh merupakan contoh yang baik dalam penyelesaian konflik internal bangsa. Bagaimanakah sikap yang harus diambil dalam kasus ini oleh pemerintah maupun masyarakat? Namun apakah keberadaan partai politik lokal menjamin akan tersalurkannya aspirasi masyarakat? Apakah keberadaan partai politik lokal dalam pelaksanaan otonomi daerah, menjadi sebuah keharusan untuk mencapai masyarakat yang demokratis? Oleh karena itu kita harus mencermati dinamika dalam masyarakat secara utuh.

Sebelum kita membahas dan menganalisa mengenai partai politik lokal, kita terlebih dahulu harus mengetahui apa itu otonomi daerah, pilkada serta hubungannya dengan partai politik lokal.

a.Otonomi daerah
Dalam pelaksaan pemerintahan daerah dikenal asas desentralisasi. Desentralisasi menurut UU No .32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana daerah diberikan wewenang untuk mengurus diri secara mandiri. Menurut pasal 1 ayat 5 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah adalah perwujudan pasal 18B UUD 1945.

Wewenang yang diberikan pemerintah pusat kepada daereah sangat besar. Namum ada beberapa wewenang yang masih dipegang oleh pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Dimana keseluruhan diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Otonomi daerah dalam UU No.32 tahun 2004 mengandung prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.

b.Pilkada
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pilkada Aceh. Kita harus mengetahui apakah definisi dari pilkada terlebih dahulu. Dalam pasal 1 ayat 1 peraturan pemerintah tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Definisi dari Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pilkada adalah sebuah sarana bagi daerah untuk menjalankan otonomi daerah. Melalui pilkada diharapkan rakyat dapat memilh para pemimpin yang baik. Dalam kehidupan berdemokrasi nilai pilkada sangat penting. Melalui Pilkada itulah aspirasi masyarakat Aceh yang selama ini kurang mendapat tanggapan akan tersalurkan. Pilkada di Aceh dilaksanakan oleh Komisi Independent Pilkada (KIP) dengan pengawasan tim pemantau asing.

c.Partai politik lokal
Pasca penandatanganan MOU Helsinki muncul masalah. Pendirian partai politik lokal merupakan kontroversi yang paling mengemuka. Banyak pihak yang mengkhawatirkan kalau ide partai politik lokal akan menimbulkan kecemburuan bagi daerah lain. Menurut pasal 1 UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik definisi partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

Dasar dalam pembentukan partai politik adalah UUD 45 pasal 28 ayat 3 Yang menyatakan bahwa tiap warga negara bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pasal diatas terlihat ada sebuah celah kebebasan bagi setiap warga masyarakat untuk membentuk suatu organisasi yang dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat. Dalam hal ini adalah partai politik lokal.

Partai politik lokal menurut UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal ayat 14 adalah suatu organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok penduduk aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita. Untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, daerah, bangsa, dan Negara melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah

d.Landasan hukum partai politik lokal di Aceh dan pelaksanaanya dalam masyarakat
Bila kita amati dengan adanya pemberlakuan otonomi daerah secara khusus di Aceh. Dapat dikatakan bahwa keberadaan partai politik lokal di Aceh adalah sah dan tidak melanggar undang-undang. Walaupun UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik secara jelas tidak memberikan keleluasaan dalam pembentukan partai politik lokal. Menurut kami hal tersebut tidak mempengaruhi dasar hukum bagi keberadaan partai politik lokal.

Jika melihat asas perundang-undangan lex speciale derogat legi generale dapat dikatakan bahwa UU pemerintahan Aceh dapat mengesampingkan UU partai politik. Apalagi dengan dikeluarkannya PP No. 20 tahun 2007 tentang partai politik lokal di Aceh. Dalam pasal 2 ayat 3b UU No.31 tahun 2002 menyatakan bahwa sebuah partai politik harus mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.

Jika melihat pasal diatas jelas tidak memberikan peluang pembentukan partai politik lokal. Karena partai politik lokal hanya mencakup daerah Aceh saja. Keberadaan PP No. 20 tahun 2007 secara jelas menjadi dasar hukum pembentukan partai lokal. Perlu diperhatikan bahwa pembentukan UU pemerintahan Aceh secara sosiologis dapat dibenarkan. Yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga keutuhan dan kesatuan NKRI. Dengan adanya UU ini minimal dapat meredam potensi konflik yang akan timbul akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah. Apabila pemerintah tidak memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh untuk mengatur diri secara mandiri. Dikhawatirkan kalau akan muncul aksi separatisme baru pasca penandatanganan MOU Helsinki.

Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia sebenarnya telah ada partai politik lokal pada saat pelaksanaan pemilu pada tahun 1955. Muncul Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain ada Gerinda di Yogyakarta dan Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat. Jika melihat sejarahnya seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir terhadap keberadaan partai politik lokal.

Pasca dikeluarkannya PP No. 20 tahun 2007 dan ditandatangani pada 16 Maret 2007 PP ini berlaku surut sampai 15 Februari 2007. PP No. 20 tahun 2007 secara jelas mengatur mengenai partai politik lokal dan segala aspek yang melingkupinya. Saat ini di Aceh telah berdiri beberapa partai politik lokal antara lain Partai Rakyat Aceh yang berada di bawah pimpinan Aguswandi; Partai Gabthat (Geunerasi beusaboh tha’at dan taqwa) yang diketuai abu meuredeu; dan partai yans sedand dibangun oleh GAM.

Jika melihat asas dalam hukum tata negara yaitu negara kesatuan. Kita harus memandang keberadaan partai politik lokal sebagai sebuah bentuk dari penyaluran aspirasi masyarakat. Sudah seharusnya kita memandang partai politik lokal sebagai konsekuensi logis yang tidak bisa dihindarkan kehadirannya dalam pelaksanaan desentralisasi. Melalui partai politik lokal diharapkan warga Aceh mampu menyampaikan aspirasinya dengan cara yang cantik dan tidak dengan membentuk gerakan separatis yang melakukan perlawanan bersenjata.

Dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik. Wilayah negara yang berupa kepulauan menyulitkan dalam melakukan pengaturan. Untuk itulah melalui otonomi daerah pemerintah pusat sebagai pemegang kedaulatan berupaya memberikan peluang bagi daerah yang selama ini merasa kurang mendapatkan respon dari pusat. Dengan terjaganya hubungan yang baik antara pusat dengan daerah maka kesatuan dan rasa persatuan negara kita akan tetap terjaga.

Ketakutan yang dilontarkan oleh para pengamat mengenai dampak keberadaan parpol lokal bagi daerah lain yang menginginkan hal yang sama adalah wajar. Kesemuanya adalah bagian dari pembelajaran demokrasi namun tetap memegang teguh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai saat ini pemerintah masih belum bisa memastikan apakah keberadaan parpol lokal akan menjamin terlaksananya pemerintahan Aceh yang lebih baik. Keberadaan partai politik lokal dalam dinamika kehidupan bernegara seharusnya disikapi dengan arif dan tidak menganggap hal itu sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.

Sikap yang harus diambil pemerintah terhadap keberadaan partai politik lokal adalah dengan memandangnya secara bijaksana. Selama ini yang menjadi penyebab keinginan Aceh untuk merdeka adalah mereka ingin diperlakukan sama dengan daerah lain. Kini dengan dibentuknya parpol lokal masyarakat Aceh merasa diperhatikan aspirasinya. Sehingga ancaman terhadap disintegrasi bangsa akan berkurang.

Keberadaan parpol lokal dalam kancah politik di daerah bisa menjadi sarana masyarakat Aceh dalam menyalurkan aspirasimya. Selama ini partai nasional selalu bersifat sentralistis dimana suara masyarakat jarang mendapat perhatian dari partai-partai tersebut. Parpol lokal sebagai wadah aspirasi masyarakat daerah secara logika adalah memahami watak dan keinginan masyarakat. Terciptanya kondisi yang lebih baik sangat dimungkinkan. Karena yang menuntut dan melaksanakan aspirasi adalah masyarakat daerah itu sendiri melalui perantara parpol lokal.

Dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia keberadaan parpol lokal adalah bukan barang baru. Kini Aceh dan Papua telah memiliki parpol lokal sebagai amanat otonomi khusus melalui undang-undang. Melihat dari kebijakan desentralisasi dapat dikatakan bahwa keberadaan partai politik lokal tidak dapat dielakkan. Kesemuanya harus dipandang dari sisi positif, dan jangan selalu memandang dengan pandangan yang buruk. Parpol lokal memang menjadi keharusan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Memang eksistensi parpol nasional masih diakui namun terkadang kebijakannya tidak memihak masyarakat. Parpol nasional cenderung memperjuangkan aspirasi perut masing-masing. Dengan keberadaan parpol lokal sebagai altrnatif masyarakat dalam pembelajaran politik dan demokrasi. Namun yang paling utama adalah menjaga kesatuan dan keutuhan NKRI.