Pages

Tampilkan postingan dengan label Kampusiana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kampusiana. Tampilkan semua postingan

Menakar demokrasi di kampus merah (review PEMIRA 09)



Oleh wongbanyumas

Demokratisasi, mimpi setiap pegiat kampus. Mimpi akan kondisi yang kondusif dan demokratis bagi seluruh elemen civitas akademika. Semuanya menginginkan kondisi ideal dimana akuntabilitas, transparansi, juga keterwakilan serta keberpihakan terhadap semua unsur. Kondisi demikian akan tercipta bila ada pranata demokrasi di kampus. Perwujudan pranata demokrasi merupakan hal yang wajib dilakukan. Hal tersebut sebagai sarana saling kontrol. Empat elemen dasar dalam demokrasi adalah kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers sebagai watch dog. Kesemuanya harus ada untuk mewujudkan keadaan ideal.

Demokratis sendiri diartikan sebagai sebuah keadaan yang di dalamnya menggunakan prinsip demokrasi. Demokrasi sebagaimana yang dikatakan salah seorang founding father Amerika, dari rakyat untuk rakyat. Artinya peran serta masyarakat sebagai landasan gerak utama dalam berdemokrasi sangat diperhitungkan. Sebuah pemerintahan akan mendapatkan legitimasi bila mendapatkan mandat dari rakyat secara utuh dan penuh. Begitu pula dalam dunia kampus nilai demokrasi harus hidup.

Lalu bagaimana kehidupan demokrasi di kampus merah (kampus FH UNSOED)? Pertanyaan yang mungkin baru terjawab bila kita menyelami lebih dalam peristiwa yang terkini. Kampus yang setiap harinya mengajarkan negara kita sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan ternyata mencederai prinsip demokrasi. Setiap hari dosen berteriak sambil mengacungkan telunjuknya ke muka mahasiswa sambil memberikan doktrin tentang demokrasi. Tapi justru mereka tak ubahnya seorang badut yang melacurkan diri pada kekuasaan. Melanggar sendiri prinsip demokrasi. Tak ubahnya tiran yang memaksakan kehendaknya pada rakyat kampus.

Tulisan ini merupakan sebuah catatan kecil mengenai perjalanan kampus merah. Pada pertengahan tahun ini diselenggarakan PEMIRA (pemilihan umum raya) untuk memilih presiden BEM dan sekjend nya. Pelaksanaan PEMIRA tahun ini telah dicederai kekuasaan tiran birokrasi. Kehendak dekanat untuk memaksakan calonnya sebagai pemegang kekuasaan sedikit banyak mengecewakan. Bagaimana kita melihat PEMIRA sebagai hajatan mahasiswa direcoki dengan kepentingan mereka yang menginginkan tidk mendapat rintangan dari mahasiswa.

Penguasaan terhadap BEM dilakukan untuk meredam gejolak perlawanan yang muncul akibat kesewenang-wenangan kampus dalam setiap kebijakan. Mahasiswa yang menuntut haknya secara sistematis akan dibungkam, entah dengan uang ataupun kekerasan. BEM sebagai pos strategis penentuan kebijakan kampus. Sebagai wadah aspirasi dan perwakilan mahasiswa seharusnya BEM memberikan pengabdian pada mahasiswa, bukan malah melakukan onani kepada dekanat.

Pelaksanaan PEMIRA tahun ini rupaya tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Aroma amis tangan dekanat sangat terasa ketika BEM demisioner akan lengser. Seharusnya BEM sudah mempersiapkan lengser sejak januari, namun mereka melengserkan diri pada bulan Mei. Pembentukan tim PEMIRA yang sarat akan kepentingan pihak dekanat menjadi lonceng penanda kematian demokrasi fase pertama. Pernahkan anda membayangkan pendaftaran kandidat hanya diberi waktu dua puluh empat jam? Gila itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah tidak waras. Proses pendaftaran sampai penetapan hanya satu minggu. Dan hasilnya luar binasa!! Presiden BEM terpilih dilantik oleh dekan.

Presiden dan sekjen yang dipilih tersebut bukan oleh mahasiswa melalui eleksi melainkan dipilih langsung oleh jajaran dekanat. Proses tersebut tak ubahnya pengangkatan putera mahkota oleh permaisuri. Dengan dalih tidak ada pasangan lain yang mendaftar mereka langsung diputuskan sebagai pemenang. Padahal tidak aturan sebelumnya mengenai calon tunggal langsung terpilih. Peraturan tersebut dibuat secara mendadak oleh panitia. Yang lebih mengherankan lagi ketika seorang dosen dengan gelar S1 yang terkenal sangat angkuh dan congkak mengatakan bahwa calon tunggal jika dihadapkan dengan kotak kosong sudah ketinggalan jaman. Mungkin otak dosen itu harus dibawa ke bengkel terdekat.

Tulisan ini mungkin dinilai sangat subjektif, namun saya mencoba memberikan gambaran pada dunia tentang betapa KAMPUS MERAH FH UNSOED TIDAK DEMOKRATIS!!

Paket hemat

Oleh wongbanyumas

Semester baru tahun ini cukup membuat hati panas dan jengkel. Pasalnya pemaketan mata kuliah yang dilakukan sangat kurang baik. Sebenarnya pemaketan tersebut menimbulkan sedikit pertanyaan apakah yang membuatnya sudah menimbang akibat yang akan muncul. Pernahkah mereka memikirkan ekses negatif yang muncul akibat pemaketan mata kuliah.

Petaka ini diawali sejak semester 3 lalu ketika ternyata ada perubahan paket mata kuliah. Mata kuliah yang disajikan di semester ganjil ternyata disajikan kembali di semester genap. Hal ini menimbulkan kekacauan. Banyak diantara kawan-kawan saya mengeluhkan bahwa pemaketan kuliah akan merusak plan kuliah mereka. Berdasarkan pemaketan tersebut mahasiswa diarahkan agar cepat dalam menyelesaikan studi.

Dengan beralasan bahwa pemeketan tersebut akan memudahkan mahasiswa baru, pihak dekanat masih berusaha untuk meyakinkan mahasiswa. Sekarang lihatlah masalah yang muncul ketika ternyata banyak mahasiswa yang dirugikan akibat jumlah SKS yang seharusnya mereka ambil ternyata tidak dapat dimaksimalkan. Hal tersebut dikarenakan mata kuliah yang disajikan di semester ini telah ditempuh sebelumnya. Penulis sendiri mengalami hal ini.

Saat semester lima ini penulis seharusnya menempuh 24 SKS. Ternyata saya hanya dapat menempuh 20 SKS saja. Penyebabnya adalah paketan di semester ganjil untuk semester lima telah saya tempuh dua mata kuliah atau 4 kredit SKS. Mau tidak mau saya hanya mengambil 20 SKS. Selain itu saya tidak bisa mengambil mata kuliah di paket semester ganjil lain karena semua telah ditempuh. Sedangkan pilihan lainnya yang masih ada adalah mata kuliah praktek (PLKH), skripsi, KKN, dan mata kuliah pilihan. Mata kuliah tersebut hanya dapat ditempuh bila memenuhi syarat jumlah SKS yang telah ditentukan. Sedangkan kami belum mencukupi syarat untuk menempuh mata kuliah tersebut.

Jelas ini merupakan pukulan yang cukup menyakitkan, terutama bagi kawan-kawan yang mengalami kejadian serupa. Hak kami sebagai mahasiswa untuk menempuh kuliah secara maksimal ternyata dibatasi. Bahkan kesan yang muncul dekanat cenderung untuk tidak mempedulikan jeritan mahasiswa. Kapankah ini berakhir??

SP (semester payah)

Jadwal SP (semester payah) banget
Oleh : wongbanyumas
Kesal, marah , dan kecewa. Mungkin hal itu yang terpintas dalam benak saya ketika melihat jadwal SP (semester pendek) di semester ini. Banyaknya jadwal yang saling bentrok menjadi pemicunya. Banyak mahasiswa yang protes dan mempertanyakan jadwal yang terkesan semrawut ini. Bagaimana kami tidak kesal, karena mata kuliah yang kami ambil ternyata hanya ada satu kelas dan itupun bentrok dengan mata kuliah lain yang juga hanya disediakan satu kelas saja. Ketika ditanya mengenai solusinya, bagian pendidikan hanya menyatakan bahwa hal tersebut adalah resiko yang harus ditanggung oleh mahasiswa.

Dalam hati agak dongkol memang. Mereka pikir mungkin kita tidak pintar, tapi kami tidak bisa dibodohi. Masalahnya adalah ternyata ketika tenggat waktu pengisian KRS jadwal belum terpampang dan mahasiswa harus segera mengumpulkan KRS tersebut tepat waktu. Buat saya biaya Rp 20.000 per SKS memang tidak memberatkan tapi hal yang mengesalkan adalah waktu yang saya habiskan di kota Purwokerto tercinta ini ternyata sia-sia. Padahal saya sudah mendahulukan SP dari pada berkumpul dengan keluarga.

Masih terbayang bagaimana buruknya manajemen perkuliahan di kampus ini. “Lha wong copy-paste tok mas” salah satu dosen berujar mengenai jadwal perkuliahan reguler. “Wah yang reguler aja copy-paste gimana jadwal eSPe ya??” terbersit pertanyaan yang cukup menggelitik hati saya. Hal yang sangat unik adalah sang pembuat jadwal sangat tidak teliti dalam penempatan waktu kuliah. Akibatnya banyak kawan saya yang mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas kuliah.

Sekali lagi saya berprasangka baik bahwa jadwal SP ini disusun secara mendadak. Sebab saya paham bahwa SP sekarang masih baru dan pihak fakultas masih belum bisa menyesuaikan diri. Mungkin khilaf, pikir saya tanpa harus bersuuzon ria terhadap Bapendik. Saya hanya bisa berharap nantinya di tahun yang akan datang pelaksanaan SP harus lebih baik lagi.

Lucu memang ketika melihat kampus yang katanya terakreditasi A ini ternyata secara praksis jauh panggang dari api. Awalnya saya sangat berharap dengan pelaksanaan SP yang akan mengangkat nilai saya ini. Tapi begitu tahu pelaksanaan SP seperti ini saya agak kecewa juga. Saya hanya berharap kepada Ibu Rochani yang ternyata terpilih kembali menjadi dekan mampu membawa fakultas hukum tercinta ini menjadi lebih baik. Amin.....

Mahasiswa baru, harapan baru atau kekecewaan baru

Oleh wongbanyumas

Semester ganjil ahirnya datang. Pertengahan tahun ini adalah waktu yang dinanti banyak orang di kampusku. Penghujung tahun akademik merupakan moment yang sering ditunggu oleh para mahasiswa. Pembagian KHS (kartu hasil studi) semester ini sangat mendebarkan. Karena semester ini adalah tahun keduaku di kampus. Tak terasa empat semester kulalui bersama kawan-kawan yang tetap setia berjuang bersama. Meskipun ada beberapa kawan yang ahirnya menyerah pada kenyataan.

Tahun baru, harapan baru. Begitu kata orang jika menghadapi penghujung tahun. Begitupun kami para mahasiswa yang juga mempunyai pengharapan di tahun akademik yang baru. Awal tahun akademik berarti akan hadir kawan baru bagi kami. Ya kedatangan mahasiswa baru adalah hal yang dinantikan oleh kami para mahasiswa (lama). Sebagian teman berceletuk ringan “wah ntar mahasiswa baru di kampus kita cantik-cantik gak ya? Jadi gak sabar nih.”. lucu juga mendengar pernyataan spontan seperti itu. Seakan ada pengharapan yang sangat besar dengan kedatangan mahasiswa baru.

“Tahun ajaran baru tampilan juga harus baru biar dapet pacar baru!!”tukas salah satu kawan. Tidak salah jika mereka mengharapkan hal demikian. Hal itu adalah hal yang wajar buat manusia yang memang ditakdirkan oleh Allah SWT untuk saling berpasangan. Keanehan terjadi di kampus merahku, setiap tahunnya ada “progresifitas” tampilan para mahasiswa baru. Semakin kesini penampilan mereka makin berani. Berani mengeksplorasi tubuh dan wajahnya untuk memuaskan pandangan syahwat kaum adam. Berani pula menerima siksa api neraka karena tidak menutup auratnya. Tiap tahun mahasiswa semakin trendy, modis, dan gaul gitu loh.

Justru yang mengherankan di balik progresifitas tersebut terjadi degradasi dalam hal kemampuan akademik dan sensitifitas sosial. Hal yang wajar ketika ternyata sebagian besar mahasiswa yang berpenampilan modis itu berasal dari jalur penerimaan SPMB lokal, atau yang di universitas lain dikenal dengan ujian mandiri (UM). Bukan maksud untuk merendahkan kawan-kawan dan menggeneralisir mahasiswa yang masuk lewat jalur lokal. Tapi mendasarkan pada pengamatan saya selama dua tahun saya menangkap fenomena bahwa etos kerja dan mental mereka rapuh. Terlalu dimanjakan oleh fasilitas, seperti mereka yang dimanjakan dengan kemudahan mengakses pendidikan tinggi karena kemampuan finansial.

Bagi aktivis kampus tahun akademik baru juga menghadirkan secercah harapan. Harapan akan kader yang militan dan solid juga memiliki kemampuan manajemen organisasi yang baik. Harapan akan adanya penerus gerakan mereka baik di UKM, ORMAS, LSM, maupun organisasi lainnya. Organisasi membutuhkan regenerasi dan pembaharuan yang dilakukan oleh golongan muda. Sesuai dengan hukum ketidakabadian, bahwa yang muda akan menjadi tua. Begitupula dengan para mahasiswa yang secara perlahan mulai sibuk dengan skripsinya. Sehingga dibutuhkan orang-orang baru yang fresh. Menjadi batubara yang menyalakan kobaran api sehingga roda organisasi terus berjalan.

Harapan itu kandas ketika ternyata kenyatan yang dihadapi tidak sesuai dengan ide dan mimpi. Rupanya memang pengaruh kapitalisasi disegala bidang, termasuk bidang pendidikan. Ternyata mempengaruhi pola pikir generasi muda sekarang. Lihatlat kini gairah kehidupan dan nuansa akademis di kampus mulai meredup. Sekre yang jadi markas kaum intelektual mulai sepi dan di tinggalkan. Kini intelektual muda lebih memilih cafe, warnet, atau bahkan diskotik sebagai tempat nongkrong. Ketidakpedulian kini menjadi hal yang lumrah di kampusku. Lihatlah bagaimana sikap wakil mahasiswa yang menolak ajakan untuk menyerukan penolakan terhadap kenaikan BBM. Mengaku wakil mahasiswa tetapi tidak punya sensitifitas terhadap keadaan kekinian. Justru mereka asyik dengan kegiatan yang lebih banyak mudhorot. Malu rasanya jika mengaku mahasiswa tapi sikap kita tidak menggambarkan identitas diri kita sebagai seorang mahasiswa.

Harapan lahir ketika kita mengharapkan sesuatu yang lebih baik ke depannya nanti. Harapan adalah doa seseorang terhadap masa depan. Harapan adalah impian untuk menemukan kebahagiaan.

Harapan akan prestasi yang lebih baik pasti ada dalam benak semua mahasiswa. Pencanangan target yang IP mencapai Cum laude, atau paling tidak mendapatkan IP di atas 3,00. Target agar selalu mendapatkan yang terbaik dalam setiap mata kuliah. Berusaha untuk tidak mengulang kesalahan yang telah diperbuat di semestr sebelumnya terus menggelayuti pikiran kami.

Namun harapan itu akan berubah pahit ketika ternyata hasil yang kami peroleh jauh dari prediksi. Kesedihan dan kepedihan serasa menusuk kencang dalam dada. Semangat yang membuncah kini hanya tinggal puing belaka. Tetapi jangan pernah sekalipun menyerah pada kenyataan hidup. Hidup harus dilalui dengan semangat. Sebab Allah Swt tidak akan merubah nasib kita jika bukan kita sendiri yang berusaha untuk merubahnya. Maka semangatlah dalam menghadapi hidup!!!

Kekerasan dalam ospek

Oleh wongbanyumas

Detik-detik menjelang menghadapi penerimaaan mahasiswa baru di berbagai kampus mulai diadakan pembentukan kepanitiaan OSPEK (orientasi pengenalan kampus). Banyak mahasiswa yang tertarik untuk ikut dalam kepanitiaan ospek ini. Mungkin sebenarnya untuk apakah ospek itu? Mungkin banyak kawan-kawan yang bertanya sebenarnya untuk apa ospek diadakan. Pada awalnya ospek adalah bentuk pelatihan militer kepada para mahasiswa ketika pertama masuk ke sebuah universitas. Disana mahasiswa baru dididik dan digembleng ala militer. Tujuannya adalah untuk bela negara. Hal ini berlaku selama masa awal kemerdekaan dan orde baru.

Praktek kekerasan seringkali dalam ospek menimbulkan korban. Sudah banyak mahasiswa yang terluka akibat kekerasan yang ada dalam ospek. Mungkin kita sering mendengar istilah plonco. Memang dulu praktek perploncoan hidup dalam kampus. Namun perlahan budaya tersebut dihilangkan dari kampus. Karena paradigma pendidikan juga mengalami perubahan dari pendekatan militer ke pendekatan ilmiah.

Perlahan tapi pasti pendekatan militer dan fisik mulai berkurang dari ospek. Kini sering kita saksikan ospek seringkali mengunakan tekanan secara psikis. Menurut saya hal ini justru menimbulkan akibat yang luar biasa bagi kejiwaan korban. Pernah saya mendapati mahasiswa baru yang ikut ospek menangis ketakutan karena sepanjang sesi acara mendapat “semprotan’ dari seniornya. Saya pikir tindakan mereka sangat salah.

Ospek sesungguhnya diadakan untuk lebih memperkenalkan mahasiswa baru dengan dunia barunya yaitu dunia kampus. Melalui ospek para pendahulu (saya tidak akan menggunakan kata senior) menjadi fasilitator bagi mahasiswa baru untuk lebih memahami kampus dan seluk-beluknya. Mahasiswa baru diberikan konseling dan bimbingan oleh para pendahulu. Tujuannya awalnya memang baik, yaitu lebih mendekatkan mahasiswa baru kepada kampusnya. Sehingga masa transisi dari SMA ke bangku kuliah berjalan dengan baik. Terkadang ada mahasiswa yang kaget dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Kekerasan adalah hal yang sangat tidak dianjurkan dalam kegiatan apapun di kampus. Kekerasan hanya akan menimbulkan onflik dan masalah. Akan tetapi masih banyak kawan mahasiswa yang menggunakan kekerasan dalam ospek. Hare.. gene... maen pukul?? Udah ga jaman buat kita main pentung terhadap orang lain. Bukankah kampus merupakan tempat kegiatan ilmiah dan bukan ajang unjuk gigi dan adu otot. Sering ospek dimanfaatkan segelintir orang agar lebih eksis dan dikenal di mata mahasiswa baru. Hal inilah yang mengakibatkan budaya kekerasan dalam ospek terus mendarah daging.

Kalau boleh saya bandingkan bukankah sama seorang mahasiswa yang main pukul terhadap sesama dengan anak balita yang berkelahi akibat berebut mainan. Konyol jika melihat aksi kekerasan di kampus kita. Sedih rasanya membayangkan betapa sakitnya tendangan dan pukulan yang bersarang ditubuh saudara kita. Akankah kekerasan terus ada dalam ospek. Hal ini akan mencemari citra kampus sebagai ladang pengetahuan bukan ladang pembantaian.

Boleh saja jika ingin tampil dan eksis dihadapan para mahasiswa baru. Tapi jika menggunakan kekerasan adalah cara yang kuno (katro). Mengaku mahasiswa tetapi berperilaku layaknya preman pasar yang main pukul. Wahai mahluk yang mengaku mahasiswa ayo tunjukkan eksistensimu dengan akal dan perasaan yang telah Allah SWT berikan. Jangan hanya omong doang tapi buktikan dengan prestasi.