Pages

Asuransi Kesejahteraan sosial (ASKESOS) sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan


Oleh wongbanyumas

Indonesia sebagai sebuah Negara yang melandaskan pada konsep Negara kesejahteraan merupakan sebuah Negara yang besar. Dengan jumlah penduduk sampai dengan 250 juta jiwa Indonesia merupakan yang padat penduduk. Dalam sebuah Negara perekonomian ditentukan oleh banyaknya lapangan pekerjaan bagi warga Negara. Dari jumlah 250 juta jiwa, penduduk Indonesia yang berkerja di sektor informal sebanyak 40.702.603 jiwa (19%), seperti pedagang kecil, penjual jasa (tukang ojek, becak, kuli, dan lain-lain), serta buruh yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak lain (majikan-pekerja).

Berbeda dengan pekerja dari sektor formal yang mendapat dan jaminan kepastian melalui asuransi. Pekerja dari sektor informal tidak mendapatkan perlindungan sama sekali dari pemerintah. Padahal UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Selanjutnya amanat tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1974 Pasal 5 Ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Membebankan kepada pemerintah untuk melaksanakan dan membina suatu Sistem Jaminan Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial dan sebagai wahana utama pemeliharaan kesejahteraan sosial termaksud, pelaksanaannya mengutamakan penggunaan asuransi sosial dan/atau bantuan sosial.”

Oleh karena itulah pemerintah menyelenggarakan program Asuransi Kesejahteraan sosial (ASKESOS). Nantinya ASKESOS akan menaungi para pekerja sektor informal dan memberikan jaminan bila terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sebelum melangkah lebih lanjut membahas Askesos kita harus mengetahui apakah Askesos itu sendiri. Askesos merupakan bagian dari program pemerintah dalam rangka memberikan jaminan atas resiko yang mungkin muncul dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Berdasarkan peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 30/PB/2006 Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) adalah “sistem perlindungan sosial untuk memberikan jaminan pertanggungan dalam bentuk pengganti pendapatan keluarga bagi warga masyarakat sebagai. pekerja mandiri di sektor informal terhadap resiko menurunnya tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama dalam keluarga yang menderita sakit, mengalami kecelakaan dan/atau meninggal dunia yang belum terjangkau oleh asuransi lain”.

Askesos adalah suatu sistem perlindungan untuk memberikan pertanggungan dan perlindungan sosial bagi warga masyarakat terhadap risiko menurunnya tingkat kesejahteraan sosial akibat pencari nafkah utama dalam keluarga meninggal dunia, sakit, atau mengalami kecelakaan. Selama ini pekerja informal tidak dilindungi dengan payung hukum (Undang-undang). Sehingga status pekerja informal juga menjadi kurang jelas. Dalam hal pemberian jaminan atas resiko yang mungkin timbul, belum ada pihak yang mengasuransikan para pekerja sector informal tersebut.

Definisi pekerja mandiri di sektor informal adalah pekerja atau kelompok usaha ekonomi yang tidak mempunyai majikan dan/atau mempunyai hubungan kerja dan tidak berbadan hukum. Dari definisi tersebut tersirat bahwa pekerja informal tidak memiliki struktur kelembagaan karena tidak mempunyai atasan serta tidak berbadan hukum. Karena tidak berada dalam suatu struktur alias pekerja mandiri ini menyebabkan pekerja informal tidak mendapatkan perlindungan melalui asuransi. Pada pekerja informal banyak asuransi yang diprogramkan oleh pemerintah antara lain ASKES (asuransi kesehatan masyarakat miskin), TASPEN, Jamsostek, dll.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia selama ini menggunakan pengertian/definisi mengenai sektor informal berdasarkan kategori dari status pekerjaan dari pekerja. Status pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Seperti diketahui, sejak tahun 2001 BPS membagi status pekerjaan menjadi 7 kategori, yaitu:
a. Berusaha sendiri
b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar
c. Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar
d. Buruh/Karyawan/Pegawai
e. Pekerja bebas di pertanian
f. Pekerja bebas di non pertanian
g. Pekerja tak dibayar

Kita juga harus melihat definisi asuransi berdasarkan KUHD. Pada pasal 246 dinyatakan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian dimana seorang penanggung mengikatkan kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Berdasarkan definisi asuransi tadi terdapat unsur-unsur yang dapat kita kaji lebih lanjut, antara lain:

1. Perjanjian
Pada askesos ada perjanjian antara penanggung dengan tertanggung. Perjanjian penanggungan dalam Askeseos sifatnya sebagai sebuah perjanjian timbal balik dimana tertanggung mempunyai kewajiban membayar premi dan berhak atas ganti rugi bila terjadi evenement. Sedangkan penanggung berhak untuk menerima premi serta wajib memberikan ganti rugi jika terjadi kerugian. Secara keseluruhan hak tertanggung adalah :
1. Mendapatkan Polis ASKESOS dan Kartu Tanda Peserta.
2. Mendapakan klaim dana pertanggungan sebagai berikut:
1) Tertanggung sakit (sakit minimal 10 hari berturut-turut atau 3 hari rawat inap yang mengakibatkan tidak dapat mencari nafkah): Rp 100.000,-, hanya 1 (satu) kali per tahun.
2) Tertanggung mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tidak dapat mencari nafkah (dengan memberikan atau melampirkan surat keterangan dokter atau RT): Rp 100.000,- per tahun, hanya 1 (satu) kali.
3) Pembayaran klaim pada poin 1 dan 2 hanya dibayarkan 1 (satu) kali per tahun.
4) Tertanggung meninggal dunia akan diberikan dana pertanggungan sebesar:

· Tertanggung meninggal dunia saat masa kepesertaan di tahun I: Rp 200.000,-.
· Tertanggung meninggal dunia saat masa kepesertaan di tahun II: Rp. 400.000,-
· Tertanggung meninggal dunia saat masa kepesertaan di tahun III: Rp. 600.000,-
· Bila terjadi ataupun tidak terjadi risiko setelah masa pertanggungan berakhir, maka dana premi yang merupakan tabungan akan dibayarkan penuh, sesuai jumlah premi yang telah disetor.
· Bila peserta mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan berakhir, maka premi dibayarkan sebesar jumlah premi yang telah disetorkan.

2. Para pihak
Para pihak dalam pertanggungan asuransi Askesos adalah masyarakat (pekerja sector informal) sebagai tertanggung. Sebagai pihak penanggung dalam Askesos adalah yayasan atau lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan fungsi tersebut.

3. Premi
Premi dalam asuransi sebagai pembayaran terhadap penjaminan resiko yang akan ditanggung oleh penanggung. Pada dasarnya premi dalam askesos bukan sebagai kewajiban melainkan juga sebagai sebuh investasi bagi tertanggung. Premi dalam askesos besaranya sangat membantu masyarakat kecil yakni Rp 5.000 per bulan yang paling lambat dibayarkan kepada petugas pada tanggal 10 setiap bulan.

4. Kerugian/resiko
Karena pada umumnya pekerja informal tidak mendapat asuransi maka resiko yang sering timbul adalah karena sakit atau kematian. Ketika pekerja tersebut sakit maka tidak dapat mencari penghasilan untuk keluarga. Sehingga secara otomatis pendapatan dalam keluarga tersebut akan berkurang. Resiko tersebutlah yang dipertanggungkan dalam asuransi Askesos.

5. Peristiwa tak tentu
Peristiwa tak tentu sebagai sayarat adanya suatu ganti kerugian dalam asuransi mutlak harus ada. Pada Askesos peristiwa tak tentu yang diperjanjikan adalah sakit dan kematian. Dimana jika terjadi hal demikian maka masyarakat mendapatkan uang ganti rugi yang besarnya telah ditentukan sesuai dengan premi asuransi tersebut.

Ketika berbicara para pihak kita akan membicarakan penanggung. Berdasarkan peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 30/PB/2006 pihak yang merangkap sebagai penanggung dikenal sebagai Pelaksana Askesos yakni Organisasi sosial/Yayasan/Lembaga pelaksana dengan kriteria: memiliki struktur organisasi yang jelas, manajemen yang baik dan pelayanan profesional, memiliki kepengurusan dan bersedia membentuk tim pengelola Askesos dan BKSP, mempunyai kegiatan pelayanan dan bantuan sosial, serta mempunyai Usaha Ekonomi Produktif yang sudah berkembang, lembaga pelaksana Askesos tersebut telah ditunjuk dan disahkan oleh pemerintah provinsi.

Sasaran dan kriteria kepesertaan ASKESOS dapat terdiri atas:
a. Single insurance: pencari nafkah utama dalam keluarga pekerja mandiri dan pekerja sektor informal secara individu.
b. Family insurance: keluarga pekerja mandiri dan pekerja sektor informal yang menjadi peserta untuk memberikan perlindungan sosial dalam bentuk jaminan pendapatan keluarga.
c. Group insurance: kelompok keluarga pekerja mandiri dan pekerja sektor informal (misalnya Kelompok Usaha Bersama) yang menjadi peserta untuk memberikan Jaminan Kesejahteraan Sosial pada pendapatan keluarga.
d. Society insurance: Lembaga Swadaya Masyarakat / Organisasi Sosial / Yayasan / Organisasi Non-Pemerintah menjadi peserta untuk membeikan perlindungan sosial dalam bentuk Jaminan Kesejahteraan Sosial pendapatan keluarga bagi warga binaan / klien / dampingan sosialnya.

Berdasarkan konvensi ILO no. 102 tahun 1952 yaitu konvensi tentang jaminan sosial, jaminan sosial didefinisikan sebagai jaminan yang dilakukan oleh masyarakat untuk:
1. Mengganti hilangnya pendapatan dari bekerja sebagai akibat beberapa kejadian seperti sakit, melahirkan, kecelakaan kerja, pengangguran, ketidakberdayaan, usia tua dan meninggalnya pencari nafkah.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
3. Memberikan tunjangan bagi keluarga yang memiliki anak kecil’.

Manfaat dari Askesos bagi pekerja mandiri dan pekerja informal adalah :
a. Mendapatkan pengganti pendapatan (income) bila peserta mengalami musibah, menderita sakit, mengalami kecelakaan atau meninggal dunia.
b. Memiliki tabungan yang sesuai dengan premi yang dibayarkan setiap bulan, karena premi/iuran akan dikembalikan ada atau tidak ada klaim.
c. Mempertahankan pendapatan apabila pencari nafkah utama mengalami musibah.
d. Mendorong pola hidup hemat dan membiasakan menabung.

Perlindungan yang diberikan oleh Askesos pada dasarnya merupakan hal yang unik. Karena dalam program ini berbagai bentuk perlindungan diberikan. Pada Askesos antara asuransi dan tabungan dijadikan satu. Ketika nantinya jangka waktu pertanggungan habis dan tidak terjadi evenement maka uang akan dikembalikan. Karena premi yang dibayarkan selama ini dianggap sebagai uang tabungan masyarakat. Kemudian yang menjadi pertanyaan bagi banyak pekerja sector informal adalah persyaratan untuk mengikuti program asuransi ini. Persyaratan yang harus dipenuhi antara lain :

1. Pekerja mandiri dan pekerja di sektor informal.
2. Pencari nafkah utama dalam keluarga dengan penghasilan minimal Rp 300.000,- per bulan.
3. Umur 21 s/d 60 tahun dan atau sudah menikah.
4. Memiliki identitas diri yang sah atau surat keterangan domisili dari pemerintah setempat.
5. Mengisi formulir peserta yang telah disediakan.
6. Membayar premi sebesar Rp 5.000,- per bulan selama masa pertanggungan dan khusus untuk rintisan uji coba 3 (tiga) tahun.

Sebagai sebuah perjanjian pertanggungan tentunya Askesos juga mempunyai resiko terjadinya evenement. Jika terjadi evenement masyarakat yang terdaftar sebagai anggota dapat mengajukan klaim untuk mendapatkan dana ganti rugi kepada petugas lapangan. Dalam pengajuan kliam tertanggung harus memenuhi syarat antara lain :
1. Mengisi formulir klaim yang telah disediakan.
2. Melampirkan bukti diri ahli waris (klaim meninggal dunia).
3. Melampirkan polis asli.
4. Melampirkan surat kematian (klaim meninggal).
5. Melampirkan surat dokter.
6. Melampirkan surat keterangan dari yang berwenang (klaim kecelakaan).

Askesos baru diterapkan menyeluruh sejak tahun 2007, sedangkan ujicoba sudah ada sejak 1997. Hingga September 2008, program Askesos baru berhasil mencakup 144.600 kepala keluarga dengan 671 lembaga pelaksana Askesos. Tahun 2008 pelaksanaan Askesos di 33 provinsi ditargetkan bisa bertambah 42.600 kepala keluarga dengan 195 lembaga pelaksana. Tahun 2009 ditargetkan peserta Askesos bertambah 60.000 kepala keluarga dengan 300 lembaga pelaksana.

Zipper sistem dan eksistensi peran perempuan dalam kancah politik


Oleh wongbanyumas

Wanita dalam kancah politik sering kali dipandang sebelah mata. Pada masa sebelum reformai sangatlah sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang anggota legislatif. Diskriminasi terhadap kaum wanita ini memang sering terjadi. Di negara patriarkhi ini peran wanita dalam kancah politik memang terbilang kurang. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya politik Indonesia. Pasca reformasi angin segar berhembus mendorong pada pembaharuan positif. Amandemen yang dilakukan sampai empat kali membawa perubahan signifikan pada sistim politik dan ketatanegaraan di negeri ini. Pengaruh paling besar adalah dengan diaturnya hak-hak dasar warga negara untuk berpolitik pada pasal 28.

Selanjutnya perubahan mendasar mulai semakin kuat ketika Undang-undang Partai politik dan Undang-undang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Melalui kedua undang-undang tersebut eksistensi peranan kaum wanita mulai diangkat. Dalam pasal 213 Undang-undang No. 19 tahun 2008 memungkinkan wanita untuk memperoleh posisi perwakilan. Dalam UU tersebut diatur kuota keterwakilan perempuan adalah 30 persen.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga pelaksana pemilihan umum mendengarkan aspirasi masyarakat tentang keterwakilan perempuan dalam politik. Untuk itulah KPU mengeluarkan wacana sistem zipper guna mewujudkan partisipasi politik kaum perempuan sebesar 30 persen. Namun banyak sekali pro-dan kontra yang muncul terkait wacana zipper sistem ini. Hal yang sangat sulit adalah ketika lahir putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor putusan Put No 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 214 huruf a-e UU No. 10 tahun 2008. Hal ini berarti menghapuskan sistem nomor urut (sistem terbuka sangat terbatas) dalam penentuan anggota legislatif. Sistem nomor urut digantikan dengan sistem suara terbanyak.

Zipper sistem adalah sistem penentuan legislatif secara selang-seling. Penentuan seperti retsleting secara selang-seling dianggap dapat mewujudkan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Indonesia tidak menganut sistem zipper murni. Menurut ferry mursyidan baldan sistem zipper yang akan diterapkan di Indonesia adalah sistem zipper yang telah dimodifikasi. Sistem zippper murni mengatur bahwa antara pria dan wanita ditempatkan secara berselingan. Wacana yang diusung oleh KPU menegaskan bahwa dari tiga caleg harus ada satu caleg perempuan.

Sebelum keluarnya MK yang mementahkan sistem nomor urut dalam penentuan anggota legislatif penerapan sistem zipper sangatlah mudah. Dalam implementasinya partai dapat menentukan nomor urut satu dan dua diisi oleh caleg pria. Kemudian urutan tiga diisi oleh caleg wanita. Penempatan tersebut dilakukan sampai nomor urut seterusnya. Sampai saat ini partai yang menyatakan komitmen untuk menerapkan zipper sistem adalah PDIP dan Golkar. Dua partai ini secara tegas menyatakan bahwa dalam penetapan calegnya akan memberlakukan sistem ini.

Namun masalah muncul ketika putusan MK tentang nomor urut lahir. Sistem ini tidak dapat diberlakukan seperti pada awalnya. Hal ini menjadi kontrofersi ketika sebuah partai mendapat banyak suara, namun suara tersebut diperoleh dari suara kaum pria. Banyak caleg pria yang menolak untuk memberikan posisinya setelah mendapatkan suara dan digantikan oleh caleg wanita. Sebenarnya tidak mutlak aturan mengenai zipper sistem ini. Sebab sampai sekarang belum ada payung hukum yang jelas tentang ini. KPU sendiri menyatakan akan mengatur ini dalam peraturan KPU. Adapula yang menghendaki bahwa diperlukan perpu untuk mengaturnya.

Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem ini tidak mengaturnya dalam undang—undang atau peraturan sejenis. Melainkan diatur dalam ad/art masing-masing partai. Hal ini lahir dari tingkat kesadaran politik yang tinggi. Pemberlakuan sistem ini seharusnya tidak mengganggu para caleg wanita. Dikhawatirkan bahwa nantinya para caleg perempuan akan merasa dimanjakan dan tidak mau bekerja keras. Pandangan ini banyak ditampik oleh para aktivis perempuan. Mereka menyatakan bahwa kaum wanita tidak perlu bergantung pada sistem zipper. Selama caleg perempuan tersebut memiliki kualitas dan memang bagus pasti rakyat akan memilih mereka.

Menurut Women’s Environment and Development Organization ada 13 negara yang mengguanakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper. Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita yang melampaui criticall mass sebesar 30 %

Negara yang memberlakukan zipper sistem antara lain :
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan
2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan
3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan
4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan
5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan
7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan
9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan
11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan
12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan
13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan

Terkait dengan partisipasi politik kaum perempuan, Ronald Inglehart dan Pippa Norris menyatakan setidaknya ada tiga hambatan bagi wanita dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pria yakni:

1. Hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial.
2. Hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, sistem pemilu
3. Hambatan kultural yakni budaya politik patriarkhi, dan pandangan masyarakat terhadap isu gender dalam politik.

Angka keterwakilan wanita pada parlemen di Indonesia hanya mencapai angka 11,3 persen atau sekitar 64 legislator dari 550 anggota legislatif. Angka presentasi sangatlah kecil jika dibandingkan dengan negara lain macam Singapura ataupun Australia. Memang kita tidak menafikkan bahwa di negeri ini isu yang terkait dengan kesetaraan gender masih sulit diterima masyarakat. Hal seperti itu masih dianggap tabu.

Pasal 1 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Melihat pada pasal tersebut tentunya kita akan menangkap pesan bahwa rakyatlah yang menentukan. Begitupula dengan kehadiran dan partisipasi politik kaum perempuan. Jika memang rakyat tidak menghendaki partisipasi maka tidak perlu dipaksa. Isu kesetaraan gender yang didengungkan justru malah tidak lagi setara. Kaum perempuan lebih banyak mendapatkan bantuan kemudahan sedangkan kaum pria diperlakukan secara biasa. Tentunya ini sangat bertentangan dengan semangat kesetaraan dan persamaan gender. Maka dari itu kita harus berusaha mewujudkan pemilu 2009 berdasarkan kedaulatan rakyat.

Teori kera lombroso dalam kajian kriminologi


Oleh wongbanyumas

Dalam hukum pidana sering kita membicarakan tentang kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu bagian integral ranah hukum pidana. Kejahatan di era modern ini telah menjadi cabng ilmu yang mapan dan mandiri. Ilmu yang mempelajari tentang kejahatan itu lebih dikenal dengan kriminologi. Kriminologi berasal dari kata “crimen” yakni kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Menurut sutherland kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial.

Kriminologi lahir pada abad 19 yang ditandai dengan lahirnya statistik kriminal dan buku l’uomo delinquente karya cesare lombroso. Dalam bukunya ini lombroso menyatakan sebuah teori yang mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologi kriminal). Teori yang diajukan oleh lombroso melandaskan pada teori evolusi darwin dan hipotesa atavisme.

Menurut lombroso seorang penjahat adalah orang yang memiliki bakat untuk menjadi jahat. Bakat jahat tersebut berasal dari keturunan secara genetik. Bakat jahat tersebut juga tidak dapat ditolak serta tidak dapat dirubah. Melihat pada teori tersebut patut dicermati bahwa teori ini memberikan stigma buruk pada seseorang. Seorang anak penjahat akan dianggap sebagai penjahat pula. Tentu saja teori ini bertentangan dengan kodrat dan hakikat manusia sebagai makhluk Allah SWT. Karena setiap bayi yang baru lahir adalah bagaikan selembar kain putih yang suci dan bersih.

Hipotesa lombroso tentang sifat jahat seseorang terlihat sebagai sebuah argumentasi yang penuh dengan kebencian dan arogansi. Menganggap seseorang sebagai penjahat sebelum membuktikan tuduhan tersebut sangat bertentangan dengan asas hukum pidana yakni asas praduga tak bersalah. Pada akhirnya teori dari lombroso ini melahirkan sebuah tindakan yang menjadi trigger terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Orang yang dianggap jahat tersebut pada akhirnya akan mendapatkan perlakuan buruk dari para penegak hukum.

David hume sebagai tokoh humanisme dalam pokok ajarannya menegaskan suatu upaya untuk memanusiakan manusia. Bagaimana mungkin kita akan memanusiakan manusia bila stigma “binatang” melekat pada diri seseorang. Pada hal setiap orang mendapatkan jaminan untuk terbebas dari rasa takut (freedom of fear) sebagaimana diatur dalam UDHR.

Dalam karyanga tersebut lombroso mendasarkan pada hasil penelitiannya terhadap narapidana di sebuah penjara. Sebagai seorang ahli forensik (kedokteran kehakiman) lombroso meneliti tengkorak kepala para narapidana. Ia mencoba untuk menemukan korelasi antara bentuk fisik dengan sebab kejahatan. Pada akhirnya ia mencetuskan sebuah teori aneh. Menurut lombroso seseorang yang mamiliki bakat jahat memiliki ciri fisik tertentu seperti wajah asimetris; bibir yang tebal; rambut keriting; hidung pesek; dagu lancip; tulang pipi yang keras.

Penulis menilai ada begitu banyak kesalahn dalam teori ini. Teori ini sangat tidak objektif karena secara tidak langsung menyudutkan orang berkulit hitam (negroid dan afroamerika). Ciri fisik yang dilampirkan lombroso sangat identik dengan ciri fisik ras kulit hitam. Penelitian lombroso dilakukan pada abad pertengahan dimana pada saat itu praktik perbudakan tumbuh subur. Fakta yang terjadi adalaha sebagian besar penghuni penjara adalah para budak kulit hitam. Di negara eropa seperti Prancis maupun Italia pada masa itu warga kulit putih amat jarang menjadi penghuni penjara. Orang kulit putih memiliki status sosial yang tinggi. Dari kelemahan tersebut penulis melihat bahwa teori amat bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Teori ini telah runtuh digantikan oleh teori lain yang masuk akal.

Fatwa MUI antara Agama dan Kompromi


Oleh Wongbanyumas

Di bulan januari ummat islam Indonesia dikagetkan dengan dua fatwa dari majelis ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan ijtima’ para ulama di Padang menghasilkan dua fatwa yang menggegerkan yakni tentang haram golput dan haram terhadap rokok, meskipun lahir pula fatwa haram terhadap yoga. Perlu dicermati bahwa keluarnya fatwa ini sangat tidak disangka dan diduga. Penulis sendiri merasakan bahwa fatwa MUI ini sangat bermuatan politik dan penuh dengan kepentingan ekonomi. Bagaimana mungkin sekumpulan ulama tersebut membuat fatwa yang menurut saya cukup janggal dan terkesan setengah hati. Para ulama hendaknya memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana seharusnya bertindak.

Melalui tulisan ini saya mencoba untuk mengkritisi lahirnya fatwa tersebut. Namun penulis sangat tertarik dengan fatwa yang menyatakan bahwa golput alias tidak ikut mencoblos hukumnya haram. Pikiran yang melintas pertama kali adalah apakah ada hadits yang mendalilkan demikian? Sepengetahuan saya selama saya hidup dan berguru dengan banyak orang belum pernah saya sekalipun mendengar dalil yang mengharamkan golput. Sebuah lembaga yang merupakan kumpulan dari para alim ulama ini saya pikir kurang tepat jika mengatur tentang golput. Bukan bermaksud untuk sekuler namun saya melihat domain para ulama tersebut bukan di ranah politik yang basah ini.

Sebenarnya agak disesalkan ketika MUI mengeluarkan fatwa haram untuk golput sekarang ini. Sehingga muncul kesan bahwa fatwa yang dikeluarkan dalam musyawarah besar MUI tersebut hanyalah fatwa temporer. Fatwa ini muncul ketika mendekati pelaksanaan Pemilu 2009 april nanti. Akan berbeda mungkin jika MUI mengeluarkan fatwa in jauh-jauh hari. Bau fatwa “order” juga menyengat kuat dan menyeruak diantara banyak permasalahan.

Saya berprasangka bahwa fatwa ini dikeluarkan untuk mensukseskan pelaksanaan Pemilu 09. tak lain dan tak bukan kesuksesan ini akan memberikan dampak yang baik bagi penyelenggaranya. KPU, Panwaslu, dan tentu saja SBY sangat sengang dengan lahirnya fatwa ini. Bagi mereka kehadiran titah sakti MUI mampu meringankan beban mereka dalam melaksanakan hajatan akbar lima tahunan tersebut.

Saya sangat sedih ketika melihat para ulama sibuk dengan fatwa politik. Padahal sesungguhnya masih banyak masalah yang menanti untuk dipecahkan oleh para alim ulama. Alasan pengeluaran fatwa karena jika masih ada kriteria yang dipenuhi seorang calon pemimpin yang cakap dan mampu maka haram hukunya bagi ummat islam untuk tidak memilih. Otoritas MUI seolah melangkahi tuhan, padahal kita mengetahui bahwa salah satu hak dasar yang tidak dapat diganggu gugat adalah hak untuk menyatakan pendapat.

Argumentasi yang dikeluarkan oleh MUI ketika menerbitkan fatwa haram ini melandaskan pada sebuah alasan. MUI menginginkan seluruh ummat islam untuk berperan serta dalam pembangunan nasional. Dalam pernyataaannya MUI menandaskan bahwa untuk bertperan serta dalam pembangunan salah satu caranya adalah dengan mengikuti pemilu dan memilih para wakil rakyat. Dari argumentasi tersebut MUI menekankan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa seluruh ummat harus bersatu untuk mewujudkan negara yang baik (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur) alias wellfaarstaat. MUI juga menginginkan nantinya pemimpin atau wakil rakyat yang terpilih benar-benar mendapatkan legitimasi. Legitimasi ini diperoleh karena rakyatlah yang memilih.

Kekhawatiran MUI mengenai legitimasi ini ada benarnya. Sebab jika kita amati belakangan ini ternyata banyak sekali para golputers (orang yang golput) dalam berbagai Pilkada. Mereka mungkin sudah muak dengan janji yang diberikan oleh para calon. Tapi terlepas dari permasalahan itu hendaknya MUI tidak mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Karena golput merupakan hak dan terserah masyarakat. Sekali lagi ditegaskan bahwa golput merupakan sebuah pilihan sebagai konsekuensi logis dari negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi.

Fatwa ini justru membuat MUI kehilangan muka dan kehormatan di mata ummat. MUI dinilai sarat muatan politis dan kepentingan sesaaat belaka. Pada akhirnya ummat akan berpaling dari MUI karena apa yang difatwakan MUI bukan hal yang substansial. Bahkan sebagian pemikir islam menyatakan fatwa ini sangat kontra produktif.

Penulis menilai ada inkonsistensi dan ketidaksesuaian fatwa dengan keadaan riil. Melihat pada pendapat Ustad Ba’asyir bahwa demokrasi adalah produk sesat barat hendaknya MUI jangan menjadi alat legitimasi demokrasi. Ibaratnya ulama kok mendukung sistem jahiliyah? Bukankah hal itu sangat bertentangan? Sejak awal seharusnya jika mengeluarkan fatwa itu hendaknya bentuklah sistem pemerintahan yang islami. Rasulullah mengajarkan bahwa pilihlah pemimpin yang tidak mengajukan dirinya menjadi pemimpin. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang dekat dengan Allah dan shaleh. Selai itu memilih pimpinan adalah dengan jalan musyawarah dan bukan dengan voting seperti yang dianut negara kita.

Para ulama kita mungkin terlalu asyik belajar agama saja tanpa belajar mengenai konsepsi hak dan kewajiban. Ada kesalahan fatal ketika sebuah hak disamakan menjadi sebuah kewajiban. Secara simpel penulis mengartikan hak sebagai sesuatu yang oleh seseorang dimiliki dan dapat ditutut pelaksanaannya. Terhadap hak tersebut seseoang boleh memanfaatkannya ataupun melepaskan hak tersebut. Berbeda dengan kewajiban diamana posisi seorang terikat dengan kewajiban tersebut dan tidak bisa ditawar lagi selain itu kita tidak dapat melepaskan kewajiban yang kita miliki.

Golput terkait dengan hak seseorang dalam menyatakan pendapatnya untuk tidak memilih dalam pemilu. Secara konstitusional hak pilih diatur dalam UUD 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk turut serta dalam pemilu dan menyatakan pendapatnya. Dari konsepsi tersebut muncul sebuah konsekwensi logis bahwa yang namanya hak tidak dapat dipaksakan. Apalagi kita dikatakan berdosa jika tidak memilih atawa golput. Memangnya dosa yang menentukan MUI? Rasulullah sendiri pun tidak berani memberikan label haram kecuali atas perintah Allah.

Pernah suatu ketika Rasulullah mengharamkan madu namun diperingatkan oleh Allah melalui al-qur’an. “janganlah kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan untuk kamu”. Dari hal itu penulis mencoba mengangkat bahwa fatwa haram dari MUI terhadap golput adalah kurang bijak dan mengada-ada. Hendaknya nanti masyarakat lebih cerdas dalam bersikap dan memilih pemimpin. Abaikan saja fatwa MUI dan tetap pada pendirian anda.

Selamat berjuang…!!!

Pesohor dan situs jejaring sosial (social networking)


Oleh wongbanyumas

Siapa sih yang tidak mengenal friendster, facebook maupun multiply? Saat ini semua orang pasti mengetahui situs jejaring sosial seperti itu. Bahkan jika boleh diperiksa tiap orang sudah memiliki acount atau menjadi member situs jejaring sosial tersebut. Kemajuan teknologi ternyata membawa perubahan yang sangat besar dan sangat pesat. Saat ini orang sangat mudah berkomunikasi dengan yang lainnya meskipun dengan jarak yang sangat jauh. Fenomena situs jejaring sosial sebenarnya sudah dimulai di Amerika pada dekade sembilan puluhan. Namun di Indonesia trend ini baru dimulai pada awal tahun dua ribuan.

Besarnya pengaruh situs jejaring sosial sangat ditentukan olah kemajuan teknologi. Koneksi internet kini bisa didapatkan di mana saja dan dengan harga yang miring jika dibandingkan dengan masa awal perkembangan internet. Banyaknya warnet (warung internet) dan free hotspot area juga mendukung perkembangan situs jejaring sosial. Awalnya banyak orang yang meremehkan kegiatan aktivitas sosial di internet. Sebagian besar menganggap bahwa kegiatan tersebut aneh dan seperti kurang kerjaan. Menghabiskan uang hanya untuk menyapa kawan virtual menjadi alasan yang paling umum.

Tetapi luar biasa, saat ini setiap orang yang pernah mengakses internet pasti pernah mengunjung situ jejaring sosial. Sampai dengan saat ini berdasarkan pengamatan penulis ada dua situs yang paling populer yakni friendster dan facebook. Berkembangnya cyber social networking tak lepas dari trend perkembangan teknologi. Kini mengakses internet dapat dilakukan melalui perangkat wajib masa kini yakni handphone. Mulai dari tipe communicator dan yang paling populer, blackberry sampai handphone dengan banderol ratusan ribu kini sudah dapat mengakses situs-situs jejaring sosial. Selama perangkat tersebut dijejali oleh web browser mulai dari yang mengandalkan wi-fi sampai hanya mengandalkan akses GPRS dan WAP. Bahkan kini vendor operator komunikasi menyediakan tarif murah akses internet.

Friendster sebagai situs jejaring sosial paling wahid di Indonesia memiliki jutaan member hanya di Indonesia. Sampai dengan sekarang Indonesia menjadi member terbesar kedua friendster setelah multiply. Kehebatan friendster dalam mengakrabkan berbagai individu tak hanya berhasil meluluhkan para ABG dan anak sekolah yang senang mengumbar diri (narsis). Orang tua pun kini terkena efeknya, tak lain tak bukan disebabkan karena pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain. Sudah menjadi tuntutan bagi kita untuk melakukan relasi sosial dengan yang lainnya. Manfaat terbesar ketika menjadi penikmat jejaring sosial adalah menemukan teman baru.

Kegiatan mencari teman baru terkadang membuat kita asyik untuk add dan aprove tanpa berfikir panjang bagaimana pertemanan ke depan. Paling menyedihkan menurut saya adalah ketika para user hanya meng add berdasarkan tampilan foto yang ada. Selama foto yang terpampang itu cantik atau tampan langsung di add tanpa pikir panjang. Bagi saya hal tersebut sangat menyebalkan sebab pertemanan tidak hanya dinilai lewat fisik dan penampilan saja. Saya sendiri jarang mengakses situs-situs tersebut lewat PC melainkan lewat mobile phone yang saya miliki. Dengan HP saya merasa lebih objektif dan selektif dalam berteman. Sebab saya tidak menampilkan gambar di HP saya karena memang hal tersebut sia-sia. Buat saya sebagai perantau tentu saja alasan ekonomi menjadi senjata paling ampuh.

Kini para pesohor dan public figure sekalipun memiliki akun di situs-situs jejaring sosial. Paling populer di dunia adalah profil Obama di facebook yang menyedot perhatian dunia. Strategi obama untuk memanfaatkan facebook juga ditiru oleh politisi lokal. Saat ini para politisi mulai merambah dunia teknologi. Mereka mulai memanfaatkan perangkat canggih mereka seperti laptop ataupun hape yang berbanderol jutaan. Padahal kita tahu sebagian besar anggota dewan kita adalah orang yang gatek (gagap teknologi) alias ketinggalan jaman. Bagi mereka kegiatan surfing internet adalah kegiatan yang asing buat mereka. Mereka dahulu lebih asyik ngapusi (membohongi) rakyat lewat mulut secara langsung.

Berkat keberadaan situs jejaring sosial para politi tersebut bisa menunjukkan eksistensinya serta merangkul banyak pihak. Beberapa tokoh politik yang cukup populer di jagat maya antara lain SBY, Yuddie Chrisnandi, Yuddie Latif, Akbar Tanjung, Ganjar Pranowo, dan bejibun lainnya. Namun ada fenomena umum yang terjadi yakni peniruan atau mirorring atau mimicri. Politisi yang ingin eksis segera membuat akun dan memamerkan profil dirinya di dunia maya. Saya sendiri kurang senang dengan aksi mirroring tersebut karena terkesan tidak alamiah dan terlalu dibuat-buat. Sangat aneh ketika laman dari seorang tokoh mempunyai disain yang sangat apik dan dinamis padahal kita tahu untuk membuka halaman web saja bagi mereka membingungkan apalagi untuk mengutak-atik bahasa pemrograman HTML.

Aneh memang. Tapi inilah internet dan dunianya yang tidak terbatas setiap orang boleh mengekspresikan dirinya sebebas mungkin selama tidak melanggar UU ITE (informasi dan transaksi elektronik) serta UUP (undang-undang pornografi). Jaman sekarang slogan yang berlaku adalah “yang penting eksis”. Tidak perlu khawatir dengan tampilan dan konten dari profil mereka karena sudah ada tim khusus di belakang mereka. Saya hanya bisa berharap aksi narsis yang dilakukan tidak kelewat batas. Semoga apa yamg mereka jual dapat direalisasikan ketika mereka terpilih nanti.