Fatwa MUI antara Agama dan Kompromi
Oleh Wongbanyumas
Di bulan januari ummat islam Indonesia dikagetkan dengan dua fatwa dari majelis ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan ijtima’ para ulama di Padang menghasilkan dua fatwa yang menggegerkan yakni tentang haram golput dan haram terhadap rokok, meskipun lahir pula fatwa haram terhadap yoga. Perlu dicermati bahwa keluarnya fatwa ini sangat tidak disangka dan diduga. Penulis sendiri merasakan bahwa fatwa MUI ini sangat bermuatan politik dan penuh dengan kepentingan ekonomi. Bagaimana mungkin sekumpulan ulama tersebut membuat fatwa yang menurut saya cukup janggal dan terkesan setengah hati. Para ulama hendaknya memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana seharusnya bertindak.
Melalui tulisan ini saya mencoba untuk mengkritisi lahirnya fatwa tersebut. Namun penulis sangat tertarik dengan fatwa yang menyatakan bahwa golput alias tidak ikut mencoblos hukumnya haram. Pikiran yang melintas pertama kali adalah apakah ada hadits yang mendalilkan demikian? Sepengetahuan saya selama saya hidup dan berguru dengan banyak orang belum pernah saya sekalipun mendengar dalil yang mengharamkan golput. Sebuah lembaga yang merupakan kumpulan dari para alim ulama ini saya pikir kurang tepat jika mengatur tentang golput. Bukan bermaksud untuk sekuler namun saya melihat domain para ulama tersebut bukan di ranah politik yang basah ini.
Sebenarnya agak disesalkan ketika MUI mengeluarkan fatwa haram untuk golput sekarang ini. Sehingga muncul kesan bahwa fatwa yang dikeluarkan dalam musyawarah besar MUI tersebut hanyalah fatwa temporer. Fatwa ini muncul ketika mendekati pelaksanaan Pemilu 2009 april nanti. Akan berbeda mungkin jika MUI mengeluarkan fatwa in jauh-jauh hari. Bau fatwa “order” juga menyengat kuat dan menyeruak diantara banyak permasalahan.
Saya berprasangka bahwa fatwa ini dikeluarkan untuk mensukseskan pelaksanaan Pemilu 09. tak lain dan tak bukan kesuksesan ini akan memberikan dampak yang baik bagi penyelenggaranya. KPU, Panwaslu, dan tentu saja SBY sangat sengang dengan lahirnya fatwa ini. Bagi mereka kehadiran titah sakti MUI mampu meringankan beban mereka dalam melaksanakan hajatan akbar lima tahunan tersebut.
Saya sangat sedih ketika melihat para ulama sibuk dengan fatwa politik. Padahal sesungguhnya masih banyak masalah yang menanti untuk dipecahkan oleh para alim ulama. Alasan pengeluaran fatwa karena jika masih ada kriteria yang dipenuhi seorang calon pemimpin yang cakap dan mampu maka haram hukunya bagi ummat islam untuk tidak memilih. Otoritas MUI seolah melangkahi tuhan, padahal kita mengetahui bahwa salah satu hak dasar yang tidak dapat diganggu gugat adalah hak untuk menyatakan pendapat.
Argumentasi yang dikeluarkan oleh MUI ketika menerbitkan fatwa haram ini melandaskan pada sebuah alasan. MUI menginginkan seluruh ummat islam untuk berperan serta dalam pembangunan nasional. Dalam pernyataaannya MUI menandaskan bahwa untuk bertperan serta dalam pembangunan salah satu caranya adalah dengan mengikuti pemilu dan memilih para wakil rakyat. Dari argumentasi tersebut MUI menekankan pada sebuah hadits yang menyatakan bahwa seluruh ummat harus bersatu untuk mewujudkan negara yang baik (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur) alias wellfaarstaat. MUI juga menginginkan nantinya pemimpin atau wakil rakyat yang terpilih benar-benar mendapatkan legitimasi. Legitimasi ini diperoleh karena rakyatlah yang memilih.
Kekhawatiran MUI mengenai legitimasi ini ada benarnya. Sebab jika kita amati belakangan ini ternyata banyak sekali para golputers (orang yang golput) dalam berbagai Pilkada. Mereka mungkin sudah muak dengan janji yang diberikan oleh para calon. Tapi terlepas dari permasalahan itu hendaknya MUI tidak mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Karena golput merupakan hak dan terserah masyarakat. Sekali lagi ditegaskan bahwa golput merupakan sebuah pilihan sebagai konsekuensi logis dari negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi.
Fatwa ini justru membuat MUI kehilangan muka dan kehormatan di mata ummat. MUI dinilai sarat muatan politis dan kepentingan sesaaat belaka. Pada akhirnya ummat akan berpaling dari MUI karena apa yang difatwakan MUI bukan hal yang substansial. Bahkan sebagian pemikir islam menyatakan fatwa ini sangat kontra produktif.
Penulis menilai ada inkonsistensi dan ketidaksesuaian fatwa dengan keadaan riil. Melihat pada pendapat Ustad Ba’asyir bahwa demokrasi adalah produk sesat barat hendaknya MUI jangan menjadi alat legitimasi demokrasi. Ibaratnya ulama kok mendukung sistem jahiliyah? Bukankah hal itu sangat bertentangan? Sejak awal seharusnya jika mengeluarkan fatwa itu hendaknya bentuklah sistem pemerintahan yang islami. Rasulullah mengajarkan bahwa pilihlah pemimpin yang tidak mengajukan dirinya menjadi pemimpin. Pimpinan yang baik adalah pimpinan yang dekat dengan Allah dan shaleh. Selai itu memilih pimpinan adalah dengan jalan musyawarah dan bukan dengan voting seperti yang dianut negara kita.
Para ulama kita mungkin terlalu asyik belajar agama saja tanpa belajar mengenai konsepsi hak dan kewajiban. Ada kesalahan fatal ketika sebuah hak disamakan menjadi sebuah kewajiban. Secara simpel penulis mengartikan hak sebagai sesuatu yang oleh seseorang dimiliki dan dapat ditutut pelaksanaannya. Terhadap hak tersebut seseoang boleh memanfaatkannya ataupun melepaskan hak tersebut. Berbeda dengan kewajiban diamana posisi seorang terikat dengan kewajiban tersebut dan tidak bisa ditawar lagi selain itu kita tidak dapat melepaskan kewajiban yang kita miliki.
Golput terkait dengan hak seseorang dalam menyatakan pendapatnya untuk tidak memilih dalam pemilu. Secara konstitusional hak pilih diatur dalam UUD 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk turut serta dalam pemilu dan menyatakan pendapatnya. Dari konsepsi tersebut muncul sebuah konsekwensi logis bahwa yang namanya hak tidak dapat dipaksakan. Apalagi kita dikatakan berdosa jika tidak memilih atawa golput. Memangnya dosa yang menentukan MUI? Rasulullah sendiri pun tidak berani memberikan label haram kecuali atas perintah Allah.
Pernah suatu ketika Rasulullah mengharamkan madu namun diperingatkan oleh Allah melalui al-qur’an. “janganlah kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan untuk kamu”. Dari hal itu penulis mencoba mengangkat bahwa fatwa haram dari MUI terhadap golput adalah kurang bijak dan mengada-ada. Hendaknya nanti masyarakat lebih cerdas dalam bersikap dan memilih pemimpin. Abaikan saja fatwa MUI dan tetap pada pendirian anda.
Selamat berjuang…!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapusWhat is the capital of Kazakhstan? Astana may be the capital of the
BalasHapusRepublic of Kazakhstan (Kazakh Qazaqstan Respublikasï).