Pages

Zipper sistem dan eksistensi peran perempuan dalam kancah politik


Oleh wongbanyumas

Wanita dalam kancah politik sering kali dipandang sebelah mata. Pada masa sebelum reformai sangatlah sulit bagi seorang wanita untuk menjadi seorang anggota legislatif. Diskriminasi terhadap kaum wanita ini memang sering terjadi. Di negara patriarkhi ini peran wanita dalam kancah politik memang terbilang kurang. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh budaya politik Indonesia. Pasca reformasi angin segar berhembus mendorong pada pembaharuan positif. Amandemen yang dilakukan sampai empat kali membawa perubahan signifikan pada sistim politik dan ketatanegaraan di negeri ini. Pengaruh paling besar adalah dengan diaturnya hak-hak dasar warga negara untuk berpolitik pada pasal 28.

Selanjutnya perubahan mendasar mulai semakin kuat ketika Undang-undang Partai politik dan Undang-undang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Melalui kedua undang-undang tersebut eksistensi peranan kaum wanita mulai diangkat. Dalam pasal 213 Undang-undang No. 19 tahun 2008 memungkinkan wanita untuk memperoleh posisi perwakilan. Dalam UU tersebut diatur kuota keterwakilan perempuan adalah 30 persen.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga pelaksana pemilihan umum mendengarkan aspirasi masyarakat tentang keterwakilan perempuan dalam politik. Untuk itulah KPU mengeluarkan wacana sistem zipper guna mewujudkan partisipasi politik kaum perempuan sebesar 30 persen. Namun banyak sekali pro-dan kontra yang muncul terkait wacana zipper sistem ini. Hal yang sangat sulit adalah ketika lahir putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor putusan Put No 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 214 huruf a-e UU No. 10 tahun 2008. Hal ini berarti menghapuskan sistem nomor urut (sistem terbuka sangat terbatas) dalam penentuan anggota legislatif. Sistem nomor urut digantikan dengan sistem suara terbanyak.

Zipper sistem adalah sistem penentuan legislatif secara selang-seling. Penentuan seperti retsleting secara selang-seling dianggap dapat mewujudkan keterwakilan perempuan dalam lembaga politik. Indonesia tidak menganut sistem zipper murni. Menurut ferry mursyidan baldan sistem zipper yang akan diterapkan di Indonesia adalah sistem zipper yang telah dimodifikasi. Sistem zippper murni mengatur bahwa antara pria dan wanita ditempatkan secara berselingan. Wacana yang diusung oleh KPU menegaskan bahwa dari tiga caleg harus ada satu caleg perempuan.

Sebelum keluarnya MK yang mementahkan sistem nomor urut dalam penentuan anggota legislatif penerapan sistem zipper sangatlah mudah. Dalam implementasinya partai dapat menentukan nomor urut satu dan dua diisi oleh caleg pria. Kemudian urutan tiga diisi oleh caleg wanita. Penempatan tersebut dilakukan sampai nomor urut seterusnya. Sampai saat ini partai yang menyatakan komitmen untuk menerapkan zipper sistem adalah PDIP dan Golkar. Dua partai ini secara tegas menyatakan bahwa dalam penetapan calegnya akan memberlakukan sistem ini.

Namun masalah muncul ketika putusan MK tentang nomor urut lahir. Sistem ini tidak dapat diberlakukan seperti pada awalnya. Hal ini menjadi kontrofersi ketika sebuah partai mendapat banyak suara, namun suara tersebut diperoleh dari suara kaum pria. Banyak caleg pria yang menolak untuk memberikan posisinya setelah mendapatkan suara dan digantikan oleh caleg wanita. Sebenarnya tidak mutlak aturan mengenai zipper sistem ini. Sebab sampai sekarang belum ada payung hukum yang jelas tentang ini. KPU sendiri menyatakan akan mengatur ini dalam peraturan KPU. Adapula yang menghendaki bahwa diperlukan perpu untuk mengaturnya.

Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem ini tidak mengaturnya dalam undang—undang atau peraturan sejenis. Melainkan diatur dalam ad/art masing-masing partai. Hal ini lahir dari tingkat kesadaran politik yang tinggi. Pemberlakuan sistem ini seharusnya tidak mengganggu para caleg wanita. Dikhawatirkan bahwa nantinya para caleg perempuan akan merasa dimanjakan dan tidak mau bekerja keras. Pandangan ini banyak ditampik oleh para aktivis perempuan. Mereka menyatakan bahwa kaum wanita tidak perlu bergantung pada sistem zipper. Selama caleg perempuan tersebut memiliki kualitas dan memang bagus pasti rakyat akan memilih mereka.

Menurut Women’s Environment and Development Organization ada 13 negara yang mengguanakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper. Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita yang melampaui criticall mass sebesar 30 %

Negara yang memberlakukan zipper sistem antara lain :
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan
2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan
3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan
4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan
5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan
7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan
9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan
11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan
12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan
13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan

Terkait dengan partisipasi politik kaum perempuan, Ronald Inglehart dan Pippa Norris menyatakan setidaknya ada tiga hambatan bagi wanita dalam dunia politik untuk mencapai kedudukan yang sama dengan pria yakni:

1. Hambatan struktural seperti pendidikan, pekerjaan, dan status sosial.
2. Hambatan institusional seperti sistem politik, tingkat demokrasi, sistem pemilu
3. Hambatan kultural yakni budaya politik patriarkhi, dan pandangan masyarakat terhadap isu gender dalam politik.

Angka keterwakilan wanita pada parlemen di Indonesia hanya mencapai angka 11,3 persen atau sekitar 64 legislator dari 550 anggota legislatif. Angka presentasi sangatlah kecil jika dibandingkan dengan negara lain macam Singapura ataupun Australia. Memang kita tidak menafikkan bahwa di negeri ini isu yang terkait dengan kesetaraan gender masih sulit diterima masyarakat. Hal seperti itu masih dianggap tabu.

Pasal 1 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Melihat pada pasal tersebut tentunya kita akan menangkap pesan bahwa rakyatlah yang menentukan. Begitupula dengan kehadiran dan partisipasi politik kaum perempuan. Jika memang rakyat tidak menghendaki partisipasi maka tidak perlu dipaksa. Isu kesetaraan gender yang didengungkan justru malah tidak lagi setara. Kaum perempuan lebih banyak mendapatkan bantuan kemudahan sedangkan kaum pria diperlakukan secara biasa. Tentunya ini sangat bertentangan dengan semangat kesetaraan dan persamaan gender. Maka dari itu kita harus berusaha mewujudkan pemilu 2009 berdasarkan kedaulatan rakyat.

1 komentar:

Ayo ungkapkan pendapat kamu...