Pages

Jangan Salahkan Partai Politik, Salahkan Oknumnya

Oleh Wongbanyumas

Kasus korupsi wisma atlet, kasus video porno, kasus narkoba, serta berbagai kasus yang menimpa anggota Dewa Perwakilan Rakyat (DPR) seolah membuka mata masyarakat. Mereka yang duduk di sana pada dasarnya merupakan representasi dari rakyat yag telah memilih mereka melalui sebuah mekanisme politik rutin, pemilu. Kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPR semakin menghilang. Di tengah kebingungan mencari figur pemimpin masyarakat justru dibuat antipati oleh sekelompok orang yang duduk di DPR sana.

DPR pada dasarnya merupakan sebuah lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif. Artinya lembaga DPR memiliki kewenangan untuk membuat produk hukum, undang-undang bentuknya. Sebagai lembaga negara yang menjalankan salah satu fungsi vital dalam struktur negara semestinya DPR diisi oleh mereka yang cakap lagi mumpuni. Namun kita bisa lihat di berbagai media berita yang mempertontonkan kebobrokan mental dan prilaku politik para anggota dewan.

Agar seseorang bisa menduduki jabatan sebagai anggota DPR harus melewati tahapan tertentu. Siapa saja yang berhak menjadi anggota legislatif ditentukan melalui pemilu legislatif. Jadi yang duduk di senayan sana bukanlah orang biasa. Mereka muncul dari sebuah mekanisme kompetesi yang ketat. Lalu bagaimanakah mereka bisa muncul sebagai nama yang patut dan layak menjadi anggota DPR? Jawabannya adalah partai politik.

Partai politik merupakan sebuah kumpulan atau organisasi yang memiliki tujuan tertentu demi kepentingan bangsa dengan menempatkan figurnya sebagai pimpinan negara melalui alur pemilihan umum. Partai politik pada hakikatnya memang bertujuan untuk mencapai kekuasaan. Politik bukan sekedar melakukan kegiatan pemerintahan saja, melainkan guna menguasai pemerintahan itu sendiri dan menjalankan platform yang telah ditetapkan partai ke dalam pemerintahan tersebut.

Parpol dapat menentukan siapa saja kadernya yang berhak mengikuti kontestasi politik menuju senayan. Entah dengan metode objektif atau bahkan (mungkin) melibatkan money politics di dalamnya. Dari partai tersebut ditunjuklah figur-figur yang dianggap kompeten dan mampu membawa partai kepada kemenangan di kursi parlemen. Nantinya orang perorang tersebut akan ditempatkan dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada saat pelaksanaan pemilu itulah masyarakat dapat memilih siapa saja yang dianggap mewakili aspirasinya.

Sistim pemilihan tersebut dibagi kepada berbagai wilayah. Nantinya satu orang aleg akan dianggap mewakili satu daerah dimana dia dicalonkan oleh partainya. Hal ini sesuai dengan konsep demokrasi perwakilan secara riil. Satu orang dianggap mewakili banyak suara rakyat. Figur dengan suara terbanyak saat pemilu itu akan diangkat sebagai anggota dewan.

Melihat pada mekanisme pemilihan anggota dewan tersebut banyak yang beranggapan malapetaka politik yang terjadi pada negara ini disebabkan oleh partai. Memang partai politik di indonesia masuk sebagai salah satu lembaga paling korup bersama lembaga penegak hukum. Angka indeks korupsi di partai politik sangat tinggi. Ha ini menjadi sedikit momok bagi masyarakat secara tersendiri. Masyarakat khawatir kesejahteraan negeri ini tidak akan tercapai bila ploting politik di DPR diisi oleh para demagog.

Partai politik dianggap sebagai lembaga yang paling bersalah oleh masyarakat. Masyarakat berkaca pada kasus Nazaruddin yang sengkarutnya melibatkan begitu banyak anggota partai politik tertentu. Begitu pun dengan kasus lama Miranda Gultom yang membelit berbagai parpol di DPR. Mengapa masyarakat membusukkan partai politik? Hal ini tak lepas dari apa yang penulis sampaikan bahwa para demagog di DPR sana berasal dari partai politik.

Namun demikian menurut hemat penulis kita harus lebih objektif kembali menilai sejauh mana peran partai politik bagi kehidupan bernegara. Partai politik sendiri memiliki beberapa fungsi antara lain:
1. Sebagai media pembelajaran politik;
2. Sebagai media pembelajaran atas hak-hak dasar warga negara;
3. Sebagai saluran aspirasi politik masyarakat; dan
4. Sebagai saluran menuju pemerintahan.
Namun sayangnya justru partai politik mengalami pembusukan dari dalam. Oknum dari partai politik banyak mengangap partai politik hanya sebagai kuda tunggangan saja. Sehingga sang oknum dapat berlenggang kangkung bila tujuan politiknay tercapai dan partainyalah yang dikorbankan. Salah satunya adalah dengan menambahkan fungsi partai politik sebagai mesin uang.

Seandainya kita bisa melihat kembali gejala sosial yang muncul ketika pemilu adalah banyaknya bakal caleg merapat kepada pimpinan partai. Mereka memilih jalur instant, bukan melalui proses pengkaderan yang panjang dan melelahkan. Kini kita bisa melihatnya sekarang. Politisi karbitan muncul di banyak partai. Lain halnya dengan politisi kutu loncat yang selalu berpindah-pindah partai demi kepentingan politiknya.

Kita tidak tepat mungkin jika menyalahkan kekacauan ini kepada partai. Partai pada dasarnya dibentuk sebagai sebuah sarana komunikasi politik masyarakat. Namun sayang partai justru dijadikan alat untuk mencari kekuasaan dan kekayaan yang tak terbatas oleh sekelompok elit di negerei ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...