Larangan terhadap putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.[1]
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires.[2][3] Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsip ultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.
UU MK menyebutkan bahwa sumber hukum acara MK berasal dari seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sesungguhnya larangan ultra petita terdapat dalam hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIR dan RBG. Hukum acara perdata sendiri merupakan cara mempertahankan hukum perdata materil. Hukum perdata masuk ke dalam ranah hukum privat yakni hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban antara antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan individu. Sedangkan jika kita menengok kembali letak keberadaan upaya pengujian (review) merupakan upaya yang dilakukan pada ranah hukum publik yang mengikat orang banyak.
Dapat dimungkinkan hakim melakukan ultra petita, namun justru hal tersebut menjadi sebuah ketetapan yang sejatinya merupakan penyimpangan prosedural. Hal ini timbul apabila hakim bertindak dengan inisiatif dan alasan serta keadaan hukum yang tepat. Bahkan jika kita cermat maka akan menemukan fakta bahwa sejarah awal mula pengujian undang-undang oleh Marshall adalah putusan ultra petita.
Berdasarkan doktrin ada tiga bentuk situasi ultra petita:[4]
Sebuah putusan dianggap ultra vires jika melebihi yurisdiksi, bertentangan dengan persyaratan prosedural, atau mengabaikan peraturan keadilan alam.
- Ultra petita : Hakim memutus sengketa lebih dari yang diminta oleh penggugat. Hal ini bilamana dalam hal pengujian undang-undang para pemohon mengajukan permohonan agar MK memutus membatalkan sebagian atau pasal tertentu dalam sebuah undang-undang namun diputuskan untuk membatalkan keseluruhan undang-undang tersebut. dan UU KKR. Contoh putusan ini adalah putusan terhadap UU Ketenagalistrikan
- Citra petita: Hakim memutus perkara berbeda dari yang apa yang diminta oleh pemohon. Jika digambarkan maka hakim tidak mengabulkan gugatan sama sekali perkara pengujian undang-undang karena apa yang diputus sama sekali tidak dimintakan atau dikehendaki dalam batin pemohon.
- Infra petita: Hakim memutus kurang atau lebih rendah dari apa yang dimohonkan oleh para pihak. Menjadi kewenangan hakim untuk memutus sebuah perkara. Namun hakim terkadang memutuskan permohonan lebih rendah dari apa yang diminta. Jika dimisalkan dalam pengujian undang-undang para pihak menghendaki pasal dalam jumlah tertentu direview dan dinyatakan tidak konstitusional dan dianggap tidak ada. Namun hakim hanya memutus dengan angka di bawah permohonan para pihak.
[1] Lihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No 5 Tahun 2004.
[2] Dalam Oxford Dictionary of Law disebutkan ultra vires merupakan suatu tindakan oleh otoritas publik, perusahaan, atau badan lain yang melampaui batas-batas kekuasaan diberikan di atasnya. Ultra vires merupakan tindakan yang tidak sah. Doktrin ultra vires berlaku untuk semua kekuatan, baik yang dibuat oleh undang-undang atau dokumen pribadi atau perjanjian (seperti akta kepercayaan atau kontrak agen). Ultra virestidak hanya berisi ketentuan tidak berwenang melakukan sesuatu tetapi juga jika tidak memenuhi persyaratan prosedural yang mengatur pelaksanaan kekuasaan.
[3] Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata. Jakarta; Sinar Grafika, hlm. 801.
[4] “Ultra Petita” http://es.wikipedia.org/wiki/Ultra_petita
bagaimana menyakut hak org banyak tetapi pada pembuktian sangat sulit dibuktikan.....
BalasHapus