Putusan hakim dalam sebuah proses peradilan adalah sebagai solusi antar benturan yang ada. Para pihak yang telah bersengketa bersepakat untuk menyelesaikan di muka persidangan konstitusi. Ketika sudah dipasrahkan pada sang hakim untuk memutus maka para pihak semestinya siap menerima apapun yang diputuskan oleh hakim dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya. Putusan hakim konstitusi sendiri sebagai jawaban final dari permohonan para pemohon terhadap undang-undang yang dilakukan pengujian.
Putusan MK yang dinilai ultra petita menghadirkan banyak perbedaan pendapat dikalangan masyarakat luas. Putusan MK dinilai tidak tepat dan melangkahi asas hukum acara. Namun putusan telah dikeluarkan oleh MK dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa pengujian undang-undang. Sesuai dengan asas hukum acara yang menyajikan perdilan cepat dan biaya ringan. MK harus segera memutus perkara yang diajukan ke muka pengadilan.
Menurut Fajar Soeroso tujuan dari suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga mengikat secara hukum (binding) pihak-pihak yang terkait dengan perkara. Putusan hakim selain mempunyai kekuatan pembuktian mengikat (antara pihak yang terkait dengan perkara), tetapi juga kekuatan ke luar. Ini sebagai bukti bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu mengenai perkara sebagaimana diuraikan dan dijatuhkannya putusan sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan tersebut.[1]
Putusan MK dalam perkara PUU merupakan putusan yang sifatnya constitutief artinya putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan PUU dapat merubah tatanan hukum yang berlaku. Meniadakan suat keadaan hukum dengan jalan menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara keseluruhan atau pada Pasal tertentu. Sedangkan menciptakan keadaaan hukum baru tak lepas dari putusan MK sebagai negative legislator.
Sebagai sebuah lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi MK juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Putusan MK bersifat final artinya putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan (eksekusi) serta tidak terdapat ruang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Jika hakim konstitusi telah memutuskan perkara pengujian maka para pihak harus menjalankan putusan tersebut baik dari pihak pemohon (masyarakat yang merasa hak konstutusionalnya dirugikan) maupun termohon (pemerintah bersama DPR selaku pembuat undang-undang). Pintu untuk melakukan upaya hukum tertutup sama sekali bagi para pihak.
Sifat final putusan MK tak lain merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional. Sebab jika peradilan konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum maka tak ubahnya peradilan umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang diajukan upaya hukum terhadap putusannya maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut selesai. Konsekwensinya maka para pihak akan tersandera baik waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas peradilan yang diselenggarakan secara cepat, dan biaya ringan. Sifat final putusan juga mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Penjelasan Pasal 10 UU MK menegaskan bahwa Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Selain bersifat final putusan MK juga bersifat mengikat (binding). Sifat mengikat tersebut berarti putusan MK sejak diputuskan oleh hakim telah mempunyai kekuatan hukum. UU MK menentukan bahwa sifat binding putusan MK melekat sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya sejak putusan tersebut keluar maka sudah berlaku dan segera dieksekusi.
Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menjelaskan perbedaan putusan MK dengan Mahkamah Agung (MA). Dikatakan Arsyad, putusan MK bersifat erga omnes yang berarti mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Selain itu putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya. Sedangkan putusan MA bersifat inter partes yang hanya mengikat para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum, diperkenankan melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya.[2]
MK berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan MK mau tidak mau harus dilaksanakan. Tidak diperkenankan adanya upaya hukum lanjutan atas putusan MK.[3] Yang demikian dikarenakan MK adalah pengadilan terakhir bagi masyarakat untuk mengadukan hak konstitusionalnya.
Secara khusus MK merupakan pengadilan tunggal yang bertugas menjaga dan mengawal konstutusi. Berbeda dengan lingkup peradilan umum yang terdiri dari berbagai tingkatan mulai peradilan umum sampai dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari satu lingkup peradilan.
Miftakhul Huda menyatakan putusan MK yang menyatakan suatu ayat, Pasal, ataupun keseluruhan undang-undang memiliki akibat sebagai berikut :[4] Pertama, akibat hukum pengujian bersifat erga omnes, oleh karena dasar hukum acara pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum. Kedua, putusan MK memiliki kekuatan berlaku ke depan sejak diucapkan (prospective) dan tidak berlaku surut ke belakang (retroactive). Ketiga, terikatnya semua orang terhadap putusan MK sebagaimana ketentuan hukum acara perdata mengandung arti positif dan negatif. Mengandung arti positif berarti semua orang harus menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate habetur). Dalam arti negatif dari pada kekuatan mengikat ialah hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya mengenai perkara yang sama. Keempat, dengan diucapkan putusan maka berkekuatan hukum yang pasti atau tetap (inkracht van gewijsde) tidak ada upaya hukum apapun untuk keberatan (Pasal 10 ayat (1) UU MK). Putusan final dan satu-satunya membedakan dengan putusan peradilan lainnya. Kelimat, akibat hukum putusan MK terhadap ayat, Pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan lain terkait dengan UU yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat dan terhadap perkara yang berlangsung baik dalam proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan persidangan dan proses lainnya tidak ditentukan baik dalam UU MK ataupun PMK.
Dari lima putusan MK yang dianggap ultra petita kesemuanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU MK bahwa putusan MK bersifat final and binding. Berikut ini ulasan mengenai pelaksanaan putusan ultra petita MK:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
MK memutus bahwa keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah) untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Putusan yang memerintahkan dibentuknya UU Pengadilan Tipikor sampai dengan deadline 19 Desember 2009 telah dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR dengan mengesahkan Undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 29 Oktober 2009. UU tersebut memberi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kewenangan mengadili perkara korupsi dan menjadi bagian dari sistim peradilan Indonesia.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Undang-Undang Ketenagalistrikan dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan undang-undang tersebut tidak berlaku. Putusan ini berjalan efektif dan undang-undang tersebut sudah tidak berlaku. Sebagai penggantinya DPR dan pemerintah hingga tulisan ini disusun tengah menggodok RUU Ketenagalistrikan .
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-V/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Mahkamah Konstitusi meniadakan Pasal “secara melawan hukum” karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal melawan hukum secara otomatis sejak putusan tersebut dibacakan dipersidangan maka secara otomatis sudah tidak berlaku. Dalam praktiknya hakim pengadilan pidana mematuhi putusan MK. Pasal tersebut tidak lagi dijadikan dasar hukum untuk menjerat para koruptor.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman
Putusan MK ini awalnya diajukan untuk menegasikan hakim agung dan hakim MK dari pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Ternyata MK memutuskan bahwa hanya hakim konstitusi saja tidak termasuk dalam objek pengawasan KY. Selain itu yang paling kontroversial adalah membatalkan Pasal Pasal 34 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman yang berarti mengamputasi kewenangan KY untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Meskipun putusan ini mendapat sorotan banyak pihak namun sampai dengan saat ini putusan tersebut tetap dijalankan KY tidak menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasannya.[5]
5. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Permohonan yang diajukan oleh pemohon pada awalnya tidak memintakan UU ini dibatalkan. Pemohon hanya mempermasalahkan bahwa hak korban akan diberikan bila para pelaku pelanggar HAM mendapat amnesti. Namun MK berfikir lain bahwa dengan dinyatakannya Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 maka secara otomatis meniadakan ketantuan UU KKR. Pelaksanaan putusan MK ini berjalan dengan baik meskipun banyak protes yang dilayangkan.[6] Setelah UU KKR dibatalkan maka secara otomatis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibubarkan.
Lima putusan tersebut semuanya memiliki kekuatan hukum dan telah dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut. Putusan MK meskipun tanpa memiliki perangkat pemaksa sekalipun tetap dipatuhi sebagai sebuah keputusan hukum. Penulis melihat lantaran putusan hakim konstitusi memiliki wibawa yang besar lantaran kewenangannya sebagai pengawal konstitusi. Hal ini juga menjadi cerminan bahwa masyarakat Indonesia menghargai dan patuh terhadap hukum dasar negaranya.
Kekuatan hukum putusan MK juga pernah dipertanyakan melalui sebuah perkara. Ketika pelaksanaan pemilu tahun 2009 diajukan gugatan sengketa hasil Pemilu di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah antara Partai Demokrat dengan Partai Amanat Nasional. Berdasarkan putusan MK No.039/PHPU.C1-II/2004, dengan putusan itu Partai Amanat Nasional mendapatkan satu kursi. Partai Demokrat melanjutkan perkara ini di pengadilan umum dengan dugaan manipulasi penggelembungan suara. Sampai pada akhirnya pengadilan negeri kabupaten donggala memutuskan bahwa bukti-bukti yang diajukan pada dalam sidang mahkamah konstitusi adalah hasil manipulasi dari oknum yang yang melibatkan anggota KPUD Kabupaten Donggala.
MK lebih dahulu memutuskan perkara baru kemudian ditemukan bukti baru oleh pengadilan umum. Namun ternyata putusan pengadilan yang terkait dengan manipulasi data dan penggelembungan suara hasil pemilihan umum tersebut, baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, maupun yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum, tidak bisa dijadikan dasar oleh semua pihak untuk menganulir dan menggugurkan putusan mahkamah konstitusi. Hal ini dikarenakan putusan mahkamah konstitusi adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Putusan MK tetap dilaksanakan meskipun telah terjadi kesalahan dalam putusan tersebut.
Mahfud MD mempunyai pendapat tersendiri mengenai putusan hakim MK yang bersifat final dan mengikat.[7] Menurut Mahfud putusan MK bersifat final dan mengikat karena perkara yang diajukan ke MK oleh masyarakat masalahnya harus segera dilaksanakan, tak bisa ditunda. Mahfud menginginkan MK memberikan pelayanan prima kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa harus menunda perkara atau berlama-lama menuntaskan sebuah perkara. Mengenai resiko putusan yang mungkin saja mengandung salah dan cacat menurutnya putusan tersebut tetap dimungkinkan ada. Hal tersebut tak lepas dari fakta bahwa hakim konstitusi adalah manusia biasa namun putusan MK tetap final dan mengikat. alasan yang disebutkan oleh Mahfud adalah:
1. Pilihan vonis itu tergantung pada perspektif dan teori yang dipakai hakim.
2. Hukmul haakim yarfa’ul khilaaf. (putusan hakim menyelesaikan perbedaan)
3. Tidak ada alternatif yang lebih baik untuk menghilangkan sifat final.
Sesungguhnya putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap karena MK merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tidak diadakan upaya hukum lanjutan atas putusan hakim baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. Putusan MK juga bersifat mengikat, tak hanya para pihak (inter partes) namun seluruh warga negara Indonesia. Para tokoh yang menjadi arsitek kelahiran MK menginginkan MK sebagai sebuah lembaga yang berwibawa. Hal ini tercermin dalam salah satu syarat hakim konstitusi yakni seorang negarawan.
MK adalah pelaku kekuasaan kehakiman tunggal yang tidak membawahi peradilan manapun atau berada di bawah peradilan manapun. MK hanya tunduk pada ketentuan konstitusi sebagai rule of the game dalam kehidupan ketatanegaraan. Perkara ketatanegaraan menuntut putusan yang cepat demi menjamin kepastian hukum. Meskipun demikian hakim konstitusi tidak boleh melupakan keadilan sebagai roh sebuah putusan pengadilan. Sekali hakim membaca putusan dan mengetok palu maka tertutuplah segala upaya hukum dan para pihak harus menjalankan putusan tersebut secara sukarela.
[1] Fajar Laksono “Mustahil, PK atas Putusan Mahkamah Konstitusi”, 2 Februari 2010. http://fajarlaksonosoeroso.blogspot.com/2010/02/mustahil-pk-atas-putusan-mk.html
[2] “Putusan MK Bersifat Erga Omnes” 19 Mei 2010. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4044
[3] Mengenai upaya hukum terhadap putusan MK terdapat wacana yang dilontarakan oleh Suko Wiyono, Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang. Menurutnya putusan MK dapat diajukan peninjauan kembali (PK). Putusan yang dapat diajukan PK menurut Suko adalah mengenai kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Argumentasi tersebut dinilai kurang tepat lantaran Suko hanya melihat Pasal dalam UU MK secara parsial.
[4] Miftahul Huda “Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”. 30 Juni 2009. http://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/06/30/%E2%80%9Cultra-petita%E2%80%9D-dalam-pengujian-undang-undang/
[5] Menurut Busyro Muqoddas putusan MK yang menganulir fungsi pengawasan KY akan berdampak pada pelemahan semangat untuk memberantas korupsi. Semangat pembentukan UU KY adalah sebagai lembaga yang mengawasi kinerja hakim. Sebab pintu korupsi pada lembaga peradilan adalah pada hakim itu sendiri. Sehingga ketika hakim MK tidak dapat diawasi oleh MK muncul kesan hakim MK tidak dapat disentuh oleh pengawasan. Lihat dalam tulisan “Komisi Yudisial Nasibmu Kini” Majalah Figur edisi X/TH. 2007
[6] Protes terhadap putusan ini banyak dilayangkan oleh aktivis LSM. Salah satunya adalah Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M. Zen. Menurut Patra, UU KKR tidak melanggar konstitusi. Menurut Patra, gagasan KKR itu diadopsi oleh UUD, jadi tidak beralasan jika dikatakan tidak mengikat secara keseluruhan. Lihat dalam position paper ELSAM “Ketika Prinsip Kepastian Hukum Menghakimi Konstitusionalitas Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu (Pandangan kritis atas putusan MK dan implikasinya bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu)” yang dapat diunduh dalam laman www.elsam.or.id
[7] Bahan Kuliah Hukum dan Konsitusi via Video Conference untuk Mahasiswa S3 FH UNS, 1 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...