Oleh Wongbanyumas
Selama hampir tiga puluh lima tahun Indonesia dipimpin oleh Soeharto dalam rezim orde baru. Kepemimpinan Soeharto merupakan kepemimpinan yang berpegang pada prinsip otoritarianisme. Kekuasaan terletak pada satu orang yakni presiden sebagai mandataris MPR yang merupakan representasi rakyat. Kepemimpinan masa orde baru dikenal represif dan tidak ramah terhadap aspirasi masyarakat. Kebebasan masyarakat untuk berekspresi sangatlah dibatasi. Ruang terbuka untuk menyampikan ide dan gagasan mempunyai sekat tersendiri.
Negara yang baru merdeka, terutama negara bangsa (nation state) acap kali menghadapi masalah ketika menentukan pilihan apakah akan mengedepankan demokrasi atau integrasi. Ketika sebuah negara mengedepankan prinsip demokrasi yang berarti membuka keran kebebasan individual maka integrasi akan terganggu. Dikarenakan setiap lapisan dan kelompok muncul sikap egosentris akibat individualisme. Namun ketika pendekatan integratif ditempuh cenderung mengorbankan ruang-ruang kebebasan. Amat sulit menemukan titik seimbang antara keduanya lantaran tiap konsepsi mengandung konsekuensi yang berbeda.
Robert Dahl menyatakan delapan prinsip demokrasi. Pertama, adanya kebebasan untuk membentuk dan mengikuti organisasi; kedua, adanya kebebasan berekspresi; ketiga, adanya hak memberikan suara; keempat, adanya eligibilitas untuk menduduki jabatan publik; kelima, adanya hak para pimpinan politik berkompetisi secara sehat untuk memperoleh dukungan dan suara; keenam, tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; ketujuh, adanya pemilu yang bebas dan adil; dan kedelapan, adanya institusi-institusi untuk menjadikan kebijakan pemerintah tergantung pada suara-suara (pemilih,rakyat) dan ekspresi pilihan (politik) lainnya. Prinsip yang dikemukakan oleh Dahl dapat disalurkan melalui partai politik.
Partai politik menurut Roger Soltau adalah sekelompok warganegara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka sendiri. Miriam Budiarjo menyatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan berebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan mereka. Dari definisi tersebut kita dapat menemukan persamaan bahwa partai politik bertujuan membentuk pemerintahan berdasarkan prinsip yang mereka miliki.
Di masa orde baru kehidupan berpolitik warganegara sangatlah dibatasi oleh negara. Bahkan pemerintah melakukan fusi partai politik menjadi 2 yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan penggabungan partai nasionalis dan partai kristen serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yakni partai hasil fusi dari partai-partai islam. Serta ditambah golongan karya yang secara inheren memiliki karakteristik sebagai partai politik. Pasca kejatuhan rezim orde baru pemerintahan transisi di bawah BJ. Habibie melakukan perubahan dengan mengeluarkan undang-undang paket politik. Hal ini tentunya merubah sistem politik Indonesia, terutama dengan adanya Undang-Undang No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik yang memberikan hak bagi setiap warga negara untuk mendirikan partai politik.
Historis ketatanegaraan
Majelis Syuro muslimin indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) merupakan gambaran betapa partai politik di Indonesia sejak pemilu pertama tahun 1955 juga mengusung Islam sebagai prinsip dan platform partai. Hal ini tak lepas dari pandangan bahwa islam bersifat menyeluruh, tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan politik. Sejak awal perjuangan bangsa ini memperoleh kemerdekaannya tak lepas dari peran ummat islam. Berbagai kelompok islam menjadi pelopor dalam mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan.
Taqiyuddin an-nabhani mengajukan empat penyebab utama kegagalan partai islam ditinjau dari aspek keorganisasian, yaitu:
1. Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar fikrah (pemikiran) yang masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul kekaburan atau pembiasan. Lebih dari itu, fikrah tersebut tidak cemerlang, tidak jernih, dan tidak murni.
2. Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) bagi penerapan fikrahnya. Bahkan fikrahnya diterapkan dengan cara-cara yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh dengan kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqah gerakan-gerakan tersebut telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.
3. Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Mereka pun belum mempunyai niat yang benar. Bahkan mereka hanyalah orang-orang yang berbekal keinginan dan semangat belaka.
4. Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya struktur organisasi itu sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi, dan sejumlah slogan-slogan organisasi.
Partai-partai islam tersebut bergerak hanya sebatas bekal ghirah (semangat). Kemudian secara perlahan aktivitasnya berhenti dan akhirnya lenyap ditelan hiruk pikuk panggung politik nasional. Kemudian terbentuklah gerakan-gerakan yang mempunyai tipikal sama. Pada akhirnya gerakan baru tersebut juga akan habis dan terjadi secara berulang-ulang. Kegagalan semua gerakan ini merupakan hal yang wajar, karena gerakan-gerakan tersebut tidak berdiri di atas dasar fikrah yang benar dengan batasan yang jelas, tidak mengetahui thariqah yang lurus, tidak bertumpu pada orang-orang yang berkesadaran sempurna, serta tidak mempunyai suatu ikatan yang benar.
Masuknya ideologi barat sekuler seperti demokrasi, nasionalisme serta berbagai pemikiran lainya telah meracun dalam tubuh aktivis gerakan islam. Mereka tidak bertumpu pada fikrah dan tharikah yang benar yakni islam. Islam yang tak hanya sebagai agama melainkan sebagai sebuah ideologi politik. Ideologi yang merasuk ke dalam rusuk dan sendi manusia untuk menuju kesempurnaan. Padahal Allah swt telah menggariskan betapa pentingnya kita untuk tetap teguh berpegang kepada tali Allah. Ideologi sampah yang dibawa oleh barat telah menciptakan karat yang sangat sulit dibersihkan.
Sejak pertama kali partai islam di indonsia terbentuk belum pernah sama sekali ada partai islam yang memenangkan kompetisi di pemilu. Hal ini menjadi catatan penting karena mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Jika diamati secara jeli dan seksama ternyata penyakit islamophobia (takut dengan ajaran agama islam) menjangkiti sebagian besar ummat islam di negeri ini. Hal ini tak lepas dari keberhasilan yang dilakukan oleh musuh islam yang melancarkan perang pemikiran terhadap kaum muslimin, terutama generasi muda. Mereka takut dengan bayangan syariat islam yang diusung oleh partai islam. Mengenai pandangan partai tentang islam dan demokrasi tergantung pada masing-masing partai. Dalam fiqh siyasah (fikih politik) terdapat dua aliran. Pertama, Islam dianggap sebagai al-din wa aldaulah, Islam itu satu paket antara agama dan negara. Kedua, Islam itu dinilai tidak punya cetak biru tentang demokrasi tetapi memiliki prinsip-prinsip umum tentang demokrasi seperti al-musawa (persamaan), musyawarah, al-adl (keadilan), al-hurriyah (kemerdekaan).
Kembali pada masalah refleksi perjuangan partai islam sampai dengan saat ini saya katakan masih belum sukses. Lantaran minat masyarakat terhadap partai islam sangatlah kecil dan memperihatinkan. Padahal partai merupakan saran yang efektif untuk berdakwah dan melakukan perubahan sosila. Kini tinggal kita memperjuangkan ideologi islam untuk bangsa ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...