Pages

Buruh Migran : “Kami bukan budak”


Oleh wongbanyumas

Bagi sebagian penduduk Indonesia terutama yang berada di pedesaan bekerja di luar negeri adalah sebuah impian. Membayangkan betapa banyaknya ringgit atau dolar yang akan dibawa pulang ke kampung halaman. Impian akan perubahan nasib mereka yang terjepit ekonominya akibat kerasnya jaman. Mimpi indah itu terus menempel di kepala mereka seolah tak peduli dengan fakta begitu banyak kasus yang menimpa buruh migran asal Indonesia. Kenyataan pahit itu seakan sirna dan terkubur bersama impian perbaikan nasib dan keinginan untuk membuat asap dapur tetap mengepul.

Tiap minggunya hampir pasti muncul pemberitaan di media massa mengenai derita para buruh migran. Entah mengalami penyiksaan berat dari majikan, tidak mendapat gaji, mendapat perlakuan tidak manusiawi, dan bahkan berujung pada kematian yang tak jelas ujung pangkalnya. Sederetan fakta itulah yang terjadi dan menimpa para buruh migran kita. Nasib mereka tak lagi mendapat perhatian dari pemerintah. Sesungguhnya nasib dan kehidupan seorang warga negara tetap menjadi tanggung jawab negara apabila masih tercatat sebagai warga dari negara tersebut.
 
Untuk apa kita memiliki staf diplomatik dan konsulat di negara asing? Ataukah jabatan dan posisi tersebut hanya sebagai seremonial dalam kehidupan tatanan hukum internasional. Fungsi perwakilan kita di negara asing adalah untuk menjaga warga negara kita yang berada di luar negeri. Bagaimanapun tanggung jawab negera tetap melekat pada warga negera dimanapun mereka berada. Sederetan kasus spektakuler seperti kasus Nirmala Bonat jika anda ingat kini menjadi hal yang biasa. Dengan entengnya warga kita mendapatkan perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi.

Posisi para buruh migran yang termarjinalkan tak lepas dari pengaruh pemerintah yang tidak memberikan proteksi bagi para penghasil devisa ini. Berbeda dengan negara lain yang sangat tanggap apabila ada warga negaranya di luar negeri yang menghadapi masalah. Negara kita hanya bisa terpaku termangu tanpa melakukan sesuatu apapun yang berarti. Jepang sebagai sebuah negara kecil ternyata amat perhatian terhadap warganya yang berada di luar negeri. Kejadian terakhir ketika demo kaus merah yang menewaskan wartawan jepang membuat pemerintah jepang gerah. Mereka mengirimkan nota keberatan terhadap pemerintah thailand.

Miskin Proteksi
Kenyataan pahit yang amat tidak menyenangkan adalah fakta bahwa buruh migran kita yang berada di luar negeri tidak bisa mendapat perlindungan hukum. Hal ini dikarenakan identitas mereka seperti paspor dan visa dipegang oleh majikan tempat mereka bekerja. Tentunya hal ini menjadi trik yang mapuh untuk mengancam para buruh migran. Jika para buruh migran 'membebek' maka sang majikan akan merusak atau menyembunyikan surat-surat penting tersebut. Alhasil tanpa surat identitas dan visa mereka menjadi pemukim dan pendatang ilegal.

Tak heran jika sebagian buruh migran yang saat ini sedang mendekam dalam penjara Malaysia awalnya adalah buruh migran yang legal. Karena tak tahan dengan waktu kerja yang tak kenal batas dan berbagai perlakuan buruk lain menyebabkan mereka memutuskan untuk kabur. Sialnya dalam perjalanan eksodus menuju Indonesia acap kali terkena razia PDM (Polisi Diraja Malaysia). Fakta yang ada di lapangan buruh migran asal Indonesia saat ini memiliki prosentase sebesar 83 persen jika dibandingkan dengan negara lain.

Undang-undang Ketenagakerjaan Malaysia tidak memberikan perlindungan bagi para pekerja rumah tangga. Tidak ada aturan jam kerja, pembayaran uang lembur, hari cuti, dan ganti rugi atas kecelakaan di tempat kerja.

Segera lakukan perbaikan instrumen hukum
Dalam pergaulan global telah ada aturan yang melindungi hak bagi para buruh migran. Sebagai lembaga yang mewadahi negara di seluruh dunia PBB telah membuat sebuah konvensi yang melindungi hak buruh migran. Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya adalah instrumen hukum internasional yang menjadi rujukan utama untuk menilai kinerja pemerintah dalam melindungi hak-hak dan kesejahteraan buruh migran dan keluarganya.
 
Sayangnya sampai dengan saat ini pemerintahan SBY belum berani melakukan ratifikasi konvensi tersebut. Sejak pemerintahan jilid 1 SBY melalui mentrinya selalu menolak dengan berbagai alasan. Konyolnya pernyataan Muhaimin Iskandar dan pendahulunya yang mengkhawatirkan konsekuensi ratifikasi konvensi, khususnya hak untuk mendirikan serikat pekerja bagi pekerja asing, sungguh sebuah pernyataan yang mengada-ngada. Tidak jelas apa yang harus dikhawatirkan Muhaimin dan jajarannya jikapun ada pekerja asing yang mendirikan serikat pekerja di Indonesia.
 
UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri harus direvisi atau diganti total. Perubahan tersebut nantinya harus sesuai dengan standar perlindungan yang diatur dalam Konvensi PBB 1990.

Selama ini memang terlihat kebijakan pemerintah yang berkuasa pasca orde baru memang tidak mengindikasikan adanya keberpihakan terhadap rakyat kecil. Selama ini pemerintah lebih mngedepankan kepentingan para investor yang notabene merupakan pemilik modal. Sampai dengan saat ini nasib buruh migran kita sangat menyedihkan. Angka kematian buruh migran Indonesia sepanjang 100 hari kinerja KIB II (20 Oktober hingga 27 Januari 2010) yang mencapai 171 orang.

Perlu diingat bahwa para buruh migran merupakan penyumbang devisa terbesar bersama produk migas. Eksploitasi buruh migran akan terus berlangsung selama keberpihakan terhadap pemilik modal mngedepan. Buruh migran adalah manusia biasa yang butuh hiburan, ketenangan, rekreasi, dan butuh segala macam keperluan yang menjadi hak dasarnya sebagai manusia. Buruh migran bukan hewan pesuruh yang selalu dipecut oleh tuannya. Mereka juga mempunyai perasaan selayaknya manusia belaka. Maka tak jarang terjadi kasus pembunuhan oleh buruh migran terhadap majikannya.
 
Marilah kita memikirkan kembali nasib para buruh migran sebagai pahlawan devisa dengan terus menyuarakan tuntutan mereka. Tuntutan yang tidak neko-neko. Mereka hanya minta KEADILAN...

1 komentar:

Ayo ungkapkan pendapat kamu...