Oleh Wongbanyumas
Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan terhadap konsumsi dalam negeri terhadap barang dan jasa. Pajak pertambahan nilai dikenakan pada pertambahan nilai. Pajak pertambahan nilai diatur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah.
Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena dipakainya faktor- faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Media cetak merupakan salah satu objek PPN.
Yang merupakan bukan objek pajak pertambahan nilai adalah
Barang yang tidak dikenai pajak:
1.Barang hasil tambang yang diperoleh langsung dari sumbernya yang meliputi minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara, bijih besi, timah, tembaga, nikel, perak, serta bijih bauksit;
2.Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam;
3.Makanan dan minuman yang disajikan di hotel. Restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya yang dikonsumsi di tempat maupun tidak;
4.Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Sedangkan untuk jasa adalah :
1.Jasa di bidang pelayanan kesehatan dan medis;
2.Jasa di bidang pelayanan sosial;
3.Jasa pengiriman surat dengan perangko;
4.Jasa di bidang keagamaan;
5.Jasa di bidang pendidikan;
6.Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
7.Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
8.Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air yang dilakukan pemerintah atau swasta;
9.Jasa di bidang tenaga kerja;
10.Jasa di bidang perhotelan;
11.Jasa di bidang
Cara penghitungan pajak pertambahan nilai
PPN yang terutang = Tarif PPN x dasar pengenaan pajak
Tarif PPN sebesar 10 %
Penghapusan pajak pertambahan nilai terhadap media cetak.
Sebenarnya penyediaan jasa informasi berupa koran, majalah, dan media cetak lainnya adalah dikenakan pajak pertambahan nilai. Hal ini berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan pajak penjualan atas barang mewah. Dalam Peraturan pemerintah Tahun 2000 tidak diatur bahwa lembaga media cetak dibebaskan dari pajak pertambahan nilai.
Jika melihat peraturan yang ada pajak pertambahan nilai tidak dapat ditiadakan kecuali bila DPR melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 18 tahun 2000. Pajak pertambahan nilai merupakan pajak tidak langsung artinya pemungutan pajak hanya pada waktu tertentu dan dapat dilimpahkan kepada orang lain. Dalam hal ini yang menjadi destinitari adalah pembaca. Namun apakah pajak pertambahan nilai dapat dihapuskan bagi media cetak? Bagi saya hal tersebut dapat saja dilakukan sebab pajak adalah suatu yang sifatnya membebani masyarakat. Yang menjadi masalah adalah pengenaan pajak PPN terhadap media cetak dirasakan kurang tepat. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya nilai tambah dalam penerbitan media cetak.
Jika tetap dikenakan pajak maka dapat dipastikan media cetak akan mengalami kemunduran, sebab biaya pencetakan melebihi harga jual. Sehingga lambat laun akan mengalami kerugian dan bangkrut. Maka atas dasar itulah PPN dapat dihapuskan karena jika tidak maka industri percetakan akan mengalami kelesuan akibat mahalnya ongkos percetakan akibat adanya pajak PPN
Langkah konkrit yang dapat dilakukan pemerintah
Pemerintah dapat melakukan beberapa cara :
1 Membuat ketentuan yang menjadi pengecualian terhadap Undang-undang seperti pembuatan peraturan pemerintah yang isinya meniadakan pajak PPN terhadap surat kabar. Atau dengan surat keputusan menteri.
2 Mengajukan kepada DPR untuk melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 18 tahun 2000. Dan memasukkan poin bahwa lembaga penyiaran publik (surat kabar) tidak dikenakan PPN.
YA BETUL SAYA SETUJU...KRN SURAT KABAR BUKAN BARANG MEWAH. DAN ISINYA PUN MRPKN INFORMASI YG DITUJUKAN U/ KHALAYAK BANYAK SPY MASYARAKAT TDK KETINGGALAN INFO2 YG UPDATE. KALO MASIH HRS DIBEBANI PPN KEBAYANG HARGA JUAL DI MASYARAKAT DESA AKAN JADI BRP? PDHL TAU SENDIRI MASYARAKAT DESA JANGANKAN BUAT BELI SURAT KABAR BISA BUAT MAKAN AJA DAH ALHAMDULILAH TOH... JADI KALO TDK SEGERA DIUSULKAN UTK DIRUBAH ITU UU KAPAN MASYARKAT KITA AKAN MELEK INFORMASI? BTW..BAGAIMANA DGN PAJAK2 LAINNYA SELAIN PPN, KIRA2 APA SAJA PAJAK YG TERKAIT DI DUNIA PERCETAKAN INI SELAIN PPN/ MAKASIH.DZAJAKALLOH...
BalasHapusPublikasi kinerja jg tdk dikenakan ppn kan?
BalasHapussaya sangat setuju. gini ya ! pemerintah dan kalangan yang mengaku peduli anak bangsa agar supaya minat baca bertambah !! tapi jelas hanya koar koar supaya anak bangsa mau membanca. padahal kalu dilihat dari sudut pandang yang berbeda. menghapus pajak ppn atas media cetak merupakan dukungan nyata bagai industri itu. nyatanya industri itu mulai devisit karena bisa jadi oleh beratnya beban pajak dan kurangya minat BACA !!!!!!!!!
BalasHapus