Oleh Wongbanyumas
Belakangan ini kita sering
menonton atau membaca berita mengenai begal. Mulai dari banyaknya begal yang
beraksi merampas motor sampai dengan berita adanya begal yang dikeroyok dan
bahkan di bakar massa. Masyarakat merasa sangat resah dengan adanya begal. Hal
ini tentunya membatasi ruang gerak masyarakat. Karena ketakutan sewaktu-waktu
akan menjadi korban.
Begal pada dasarnya adalah
penjahat yang melakukan aksi perampasan kendaraan bermotor. Begal ada yang
menggunakan kekerasan brutal dan ada pula yang melakukan paksaan secara halus.
Ada begal yang menghentikan motor korban kemudian baru merampas baik dengan
kekerasan atau tidak. Ada pula begal yang langsung sikat alias main tembak atau
bacok korban ketika korban masih mengendarai motor.
Apapun gayanya tetap begal
menjadi momok menakutkan, terlebih bagi masayarakat ibukota. Begal marak di
jumpai di daerah pinggiran kota. Mereka membentuk sindikat kelompok kejahatan.
Bukan hanya masalah harta tetapi juga aksi begal yang begitu brutal dan nekat.
Para begal kini tak ragu untuk menghabisi nyawa korbannya. Konon begal yang
brutal dan nekad adalah begal baru. Mereka begitu berani menghabisi nyawa orang
tanpa takut.
Di Podok Aren terjadi kasus pembakaran
begal oleh massa. Masayarakat yang sudah tidak tahan dengan kelakuan begal akhirnya
memutuskan menghabisi nyawa sang begal. Sang begal pun telah mati hangus. Kini
mungkin tersisa penyesalan para pelaku. Sebab mereka telah menghabisi nyawa
(membunuh) orang lain. Ini semua adalah kegiatan main hakim sendiri.
Main hakim sendiri dikenal juga
dengan istilah eigenrichting. Eigenrichting adalah tindakan yang
dilakukan diluar hukum untuk mencari keadilan atau menindak orang lain sesuai
kemauan sendiri. Hukum melarang kita untuk bertindak di luar jalur hukum. Untuk
menegakkan hukum itu sendiri ada perangkatnya yaitu para penegak hukum. Siapa
sajakah para penegak hukum itu? Polisi, jaksa, dan hakim adalah para penegak
hukum.
Lalu bagaimana kasus Kompol Budi
Gunawan yang disebut hakim Sarpin bukan penegak hukum? Ah itu sih akal-akalan
hakim Sarpin untuk membebaskan BG dari jerat hukum. Mungkin Sarpin tidak paham
konsep Praperadilan.
Oke kita balik lagi soal
penegakan hukum yang ada aturan mainnya. Semuanya diatur dalam hukum acara
pidana yaitu bagaimana hukum pidana dijalankan. Diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai panduannya. Di situ dijelaskan
mulai dari penyidikan, penyelidikan, penahanan, penuntutan, dll.
Eigenrichting adalah sebuah fenomena sosial. Main hakim sendiri ada
korelasi dengan tingkat kebahagiaan dan kepuasan masyarakat. Pada masayarakat
yang bahagia jarang sekali ditemui tindakan main hakim sendiri. Masyarakat akan
mempercayakan kepada sistem yang ada untuk memperbaiki keadaan. Begitu pula
masyarakat yang merasa puas dengan kinerja negara (pemerintah cq polisi) akan
jarang ditemui tindakan main hakim sendiri.
Maraknya tindakan main hakim
sendiri di negeri ini merupakan buah dari penegakan hukum yang tajam ke bawah
namun tumpul atau bahkan lembut ke atas. Kita dapat mengakses banyak berita dan
liputan mengenai buruknya penegakan hukum di negeri ini. Mulai dari hakim yang
disuap, jaksa nakal, pengacara kotor, dan sampai ke polisi gendut korup. Semuanya
menghadirkan distrust kepada otoritas
penegak hukum.
Masyarakat kerap disajikan berita
bebasnya para koruptor dari jerat hukum. Hal ini berbanding terbalik ketika
sang terdakwa hanyalah rakyat kecil yang melakukan pidana biasa seperti
penipuan atau pencurian ayam. Berita seperti ini selalu terulang dan membentuk
sebuah memori yang kuat bahwa negara ini tidak adil.
Keadilan adalah sebuah perasaan
yang terdalam. Semua manusia merasa bahwa keadilan harus terekspresikan dalam
kehidupan. Semua orang ingin diperlakukan adil (equal and fair). Maka ketika muncul ketidak adilan maka jiwa
manusia akan berteriak memberontak. Tentunya kita semua menginginkan adanya
sistim penegakan hukum yang adil bukan? Ketika perasaan tidak adil itu muncul
maka ada keinginan untuk melihat semuanya kembali normal.
Ketidakadilan merupakan sebuah
gangguan terhadap keseimbangan. Ketidakadilan merusak tatanan moral dan
perasaan masyarakat. Ketidakadilan melahirkan sikap pemberontakan. Ketidakadilan
melahirkan masyarakat sakit jiwa. Ya kesadaran dalam jiwa masyarakat terusik.
Jangan menyapu dengan sapu yang
berlumuran lumpur. Adagium yang berlaku bahwa untuk menegakkan hukum haruslah
dengan perangkat penegak hukum yang bersih. Nah yang menjadi masalah ketika
masyarakat merasakan tidak adil mereka justru melihat ketidakadilan itu muncul
karena ulah penegak hukum. Bukan satu atau dua institusi atau golongan,
melainkan semua penegak hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, dan pengacara.
Ketika ketidakpercayaan muncul
maka masyarakat akan berfikir keras bagaimana caranya menegakkan keadilan
menurut versinya sendiri. Ini yang bahaya dan mesti dihindarkan. Apalagi jika
masayarakat meyakini konsep ‘mata dibayar dengan mata’. Artinya setiap
pembunuhan harus diganti dengan nyawa si pembunuh. Main hakim sendiri akan
menimbulkan kepuasan dalam batin karena merasa sudah memperbaiki apa yang dirasa
tidak sesuai tatanan. Namun sayang hal ini justru melahirkan dendam tak
berujung dan sangat berbahaya. Masayarakat bisa bertindak sesuka hati jika ini
dibiarkan.
Maraknya tindakan eigenrichting pertanda bahwa masyarakat
mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa muncul dalam beberapa bentuk berupa kecemasan, stress, ketakutan, depresi, marah, sakit hati, trauma, kecemasan, kesedihan
atau masalah emosi lainnya. Berita terkini di Kompas
menyebutkan bahwa jumlah penderita sakit jiwa di DKI hinga Triwulan dua
tahun 2011 telah mencapai angka 306.621 orang. Jika dibandingkan dengan kasus
yang sama pada tahun 2010 tercatat jumlah penderita sakit jiwa sebanyak 150.029
orang ini berarti terjadi pertumbuhan penderita sakit jiwa di DKI hingga 100%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...