Pemidanaan sebagai sarana menciptakan tata yang dinamik
Oleh wongbanyumas
Siapa yang tidak pernah mendengar kata pidana? Hampir setiap orang yang bisa membaca atau minimal pernah menonton televisi akan sering menemukan kata ini. Pidana dalam pandangan masyarakat umum adalah hal yang ditakuti dan dihindari. Sebagian besar masyarakat menyatakan tidak mau dipidanakan. Anggapan masyarakat mengenai pidana yang menakutkan sangatlah tepat. Kata pidana merupakan arti dari kata “straf” yang artinya penghukuman. Oleh karena itu kita sering mendengar kata “andi di setrap/ straf oleh ibu guru”. Oleh karena itulah
Pidana merupakan penderitaan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang yang telah memenuhi syarat dan unsur perbuatan tertentu yang berakibat pidana, perbuatan yang dilarang serta orang yang melanggar larangan tersebut.
Teori pemidanaan
1. teori absolut
Menurut teori ini seseorang dipidana karena telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Pidana sebagai sebuah nestapa yang ditimpakan merupakan akibat mutlak yang harus ditimpakan sebagai pembalasan kepada seorang yang melakukan kejahatan. Setiap kejahatan harus diberikan penghukuman tanpa peduli apa yang akan mungkin timbul setelah penghukuman tersebut.
2. teori relatif
Berdasarkan teori ini sebuah perbuatan pidana tidak melulu dijatuhi sanksi pidana. Sebuah pemidanaan juga harus mempertimbangkan akibat yang munkin timbul setelah adanya pemidanaan tersebut.
3. teori gabungan
Teori ini merupakan gabungan dua teori sebelumnya. Sebuah penjatuhan pidana hendaknya mendasarkan pada pembalasan dan juga mempertimbangkan bahwa hukuman tersebut akan menjaga tatanan masyarakat. Pemidanaan pengandung unsur pembalasan dan pencegahan.
Dari ketiga teori di atas kita bisa melihat adanya perkembangan dari jaman ke jaman. Pada awalnya pidana dijatuhkan sebagai balasan perbuatan seseorang yang dianggap sebagai kejahatan. Perlahan paradigma tersebut berubah. Dengan adanya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia lahir komitmen untuk menciptakan penghukuman yang bersifat manusiawi.
Contoh yang dapat kita lihat adalah penghukuman terhadap terpidana narkotika. Orang yang didakwakan terkait narkotika seharusnya mendapat perlakuan yang setimpal seperti hukuman mati ataupun penjara seumur hidup sebagai balasan perbuatannya. Namun ternyata terpidana narkotika juga diberikan therapi agar lepas dari cengkraman obat bius serta mendapat pelatihan keterampilan untuk membekali diri setelah keluar dari LP. Pemidaan kini juga harus memberikan gambaran pada masyarakat bahwa apa yang sudah ditimpakan kepada seorang narapidana bertujuan untuk memberikan pelajaran. Sehingga masyarakat tidak melakukan hal yang sama.
Kita harus melihat kembali tujuan sebuah aturan hukum adalah untuk menciptakan tata yang adil bagi semua masyarakat. Seorang penjahat pun memiliki hak yang sama atas penghidupan dan penghukuman yang layak. Ketika membicarakan hak asasi seseorang yang terampas karena pidana hal tersebut dapat dibenarkan. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak yang sama atas hidup dan perlakuan manusiawi. Ketiak seseorang menikamati hak tersebut ia juga berkewajiban untuk menghargai hak yang sama yang dimiliki oleh orang lain.
Ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang maka akan meninbulkan konsekwensi bahwa hk terebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil. Selama ini kita mendapatkan konsepsi yang salah mengenai penegakan hak asasi manusia. Seolah dalam keadaan apapun dan dalam hal apapun hak tersebut tidak dapt terhapuskan. Padahala sebagaimana konsepsi hak yang telah dipaparakan oleh para filsuf yunani menyatakan bahwa hak selalu diimbangi dengan kewajiban.
Ketika ada seseorang yang melakukan tindak pidana orang tersebut harus mendapatkan sanksi yang sesuai. Sanksi juga bertujuan untuk mengembalikan ketentraman yang sempat terganggu akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Sehingga pidan perlu ditegakkan dengan sebaik mungkin. Masalh yang muncul adalah adanya disparitas penjatuhan pidana oleh hakim. Sebanarnya apakah yang menjadi alasan adanya disparitas tersebut. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut ditentuka oleh sikap batin dan rasa keadilan yang dimiliki oleh hakim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...