Pages

Derita Gunung Sahari

Oleh wongbanyumas

Sebenarnya saya hendak bercerita tentang pengalaman saya yang cukup unik. Kalau saya bilang cerita ini menggabungkan beberapa potong kejadian yang berbeda di tempat yang sama. Jalan gunung sahari, terhampar memanjang sejak dari pasar senen hingga ke daerah mangga dua. Kisah ini dimulai ketika di suatu siang. Saya hendak pergi menuju salah satu petshop di daerah kartini. Kebetulan hari ini saya lihat kandang tikus sudah kosong. So tanpa menunggu lama siang itu saya segera mengeluarkan motor dari rumah.

Dalam perjalanan tak lupa saya mampir ke sebuah mesin duit. Upss maksud saya mesin automatische machine teller. Saya mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribu rupiah. Sebagian untuk membeli pakan ular saya dan sisanya saya niatkan untuk pegangan selama satu pekan ini.

Seperti biasanya matahari selalu nampak gagah dan garang. Membakar siapa saja yang berada di bawahnya, termasuk saya. Perjalanan dari Otista menuju Pasar Baru rasanya lama lantaran udara panas dan kemacetan yang menggila. Terutama di jalan jatinegara barat dan timur yang selalu padat dengan angkutan kota yang berjejal di pinggiran jalan.

Dalam kepala saya terdengar perintah agar segera sampai ke tempat tujuan. Setelah melawati Pasar Jatinegara lalu lintas menjadi sangat lancar. Motor biru butut ini saya pacu sekencang-kencangnya. Angka di speedometer menunjukkan angka 90KMph. Angka yang bisa dibilang cukup ngebut di dalam kota yang lalu lintasnya padat seperti jakarta. Kalau ngebut di Jakarta itu sulit. Sebentar saja ngebut selalu saja ada lampu merah atau pun bis dan angkot yang menepi mendadak mencari penumpang.

Akhirnya sampailah saya di petshop yang menjual aneka reptil dan feeder (pakan). Uang dua ratus ribu rupiah saya tukarkan dengan beberapa ekor tikus putih. Untuk membawa tikus yang saya beli saya selalu menyiapkan wadah khusus. Sebenarnya wadah khusus ini tak lain adalah topless plastik ukuran besar. Kadang juga sering saya menggunakan topless itu untuk kandang ular saya. Beberapa ekor tikus akhirnya berhasil saya bawa pulang.

Perjalanan pulang saya tempuh melalui jalan biasa. Melewati jembatan yang membelah kali yang bau. Tapi hari ini saya melihat kok barisan motor itu sangat rapih. Semuanya menepi di pinggir garis lalu lintas. Ah saya berlagak cuek dan maju saja ke depa. Sial betul hari ini, rupanya ada beberapa orang polisi yang berjaga di pos dekat saya duduk diatas kuda besi saya. Pantas para pengendara motor menjadi sangat tertib.

Priiittt...!!!
“Hey kamu kesini” teriak seorang polisi sambil menunjuk ke arah saya. Awalnya saya celingak-celinguk seperti orang bodoh. Sebenarnya bukan merasa bodoh sih. Hanya saja kok ga yakin kalau yang dipanggil polisi itu saya. Ya allah ternyata saya berada di garis jalan. Pantas saja polisi itu memanggil saya.

Wah mimpi apa ya semalam? Saya gak mau ditilang. Uang didompet memang masih ada, cukup untuk membayar denda tilang. Tapi hati memang gak bisa bohong. Sayang rasanya menghilangkan uang yang ada di dompet ini demi beralih ke tangan polisi. Memang menjengkelkan rasanya menemui kejadian seperti ini. Motor pun saya arahkan menuju pos polisi tadi.

Di pos tersebut ada empat orang polisi. Satu orang berada di dalam pos, sisanya berada di luar. Dua orang petugas berada di pinggir jalan seraya (berlagak) mengatur lalu lintas. Sisanya satu orang nampak sedang beradu argumen dengan seorang pengendara motor. Saya menduga orang itu tertangkap tangan melakukan pelanggaran lalu lintas.

Layaknya sherlock holmes yang bisa memikirkan rangkaian kejadian yang mungkin terjadi saya melihat ada celah. Polisi yang mengatur lalu lintas jaraknya saling berjauhan. Artinya kalau saya bisa merangsek menembus salah satu polisi saya bisa bebas. Ide gila ini muncul begitu saja di kepala saya.

Motor pun saya lajukan pelan menuju pak polisi. Namun bukan berarti saya pasrah dan mengikhlaskan uang saya di kantong loh ya. Itu hanya kamuflase saja agar pak polisi tidak mengejar saya. Jarak antara saya dengan polisi sudah sangat dekat, terpaku hanya sekitar satu meter. Sesuatu yang buruk bisa terjadi jika saya salah melakukan perhitungan timing. Satu detik loss maka saya bisa tertangkap dan (mungkin) akan dihabisi secara fisik atau finansial.

Greeeng...!!
Tuas gas saya puntir dalam-dalam. Walhasil motor saya melaju kencang. Tanpa di duga saya berhasil melewati barisan polisi. Uniknya saya justru tidak mengambil ke kanan agar bisa menghindari polisi. Saya lebih memilih merangsek masuk ke dalam pertahanan lawan. Polisi pertama lewat begitu saja. Naaas polisi kedua punya refleks yang cepat dan menarik tangan saya.

“Haduuuh kalau tertangkap bisa habis saya”
Mata saya terpejam sesaat. Tak peduli, tuas gas tetap saya puntir. Waaaw subhanallah ternyata tenaga saya lebih besar dari polisi sehingga ketika polisi kedua hendak menangkap tangan saya tidak berhasil merengkuh tangan saya secara sempurna. Akibatnya bisa diduga motor saya menjadi oleng seketika. Dan alhamdulillahnya saya selamat dari pak pulisi dan tidak terjatuh.

Rasanya saya sudah tidak bisa berfikir banyak. Dalam kepala saya hanya ada tiga kata “ngebut, ngebut, dan ngebuuuuutt..!!”. Kecepatan sepeda motor saya menjadi menggila. Sensasi hangat ketika darah mengalir kencang ke seluruh tubuh, adrenalin terpompa. 110Kmph angka di speedometer dan akhirnya saya selamat.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...