Pages

Sikap berlebihan polisi terhadap kaum muslimin

Oleh wongbanyumas

Teror bom pada tanggal 17 juli lalu memberikan dampak yang sangat besar terhadap ummat islam di indonesia. Peledakan yang disinyalir dilakukan oleh kelompok teroris yang dikomandoi oleh nordin m top. Seketika publik disajikan pemberitaan membabi buta yang menyebutkan motif peledakan tersebut karena dilatarbelakangi oleh aksi jihad. Jihad untuk melawan pemerintahan yang bathil. Seketika itu pula presiden memamerkan foto-foto yang seolah menggambarkan latihan yang dilakukan oleh teroris yang bertopeng. Benarkah itu teroris? Atau hanya sekelompok orang yang berada di belakang pemerintahan yang coba memainkan sebuah lakon apik.

Publik indonesia sendiri dibuat gerah dengan aksi pengeboman yang dilakukan di dua hotel mewah tersebut. Ummat islam sebagai mayoritas di negeri ini tentunya ikut bersuara menentang aksi tersebut karena dinilai brutal. Islam sendiri tidak mengajarkan untuk melakukan kekerasan terhadap makhluk hidup, apalagi terhadap sesama manusia. Meskipun terhadap orang yang kafir pun Rosulullah tidak asal melakukan kekerasan. Melainkan didahului dengan pendekatan dakwah ajaran islam. Pada hakikatnya islam merupakan ajaran agama yang damai dan toleran terhadap penganut agama lain.

Pasca pengeboman tersebut pers langsung secara serentak seolah mendapatkan komando untuk menyebut gerakan islam sebagai dalang di belakang aksi tersebut. Anehnya masyarakat seperti tidak berfikir ulang mengenai pemberitaan dari media tersebut. Setiap hari masyarakat dijejali dengan berita-berita yang dilabeli ‘hot news’ yang ditayangkan secara live ke seluruh negeri. Tanpa ‘babibu’ aksi teror yang terjadi langsung ditujukan pada agama islam. Ya, agama islam dan bukan pada oknum yang beragama islam. Padahal saat itu polisi belum menemukan fakta objektif yang jelas mengenai siapa pelaku peledakan tersebut.

Mungkin jika anda mencermati pemberitaan pasca peledakan tersebut kita akan disuguhkan tayangan kamera cctv yang memperlihatkan adanya aktivitas pelaku pengeboman. Anehnya gambar yang diperoleh melalui cctv tersebut ternyata mengikuti objek yang sama. Antara satu kamera dengan kamera yang lain hanya mengikuti gerakan pria ‘misterius’ tersebut. Padahal sebagaimana kita faham kamera cctv harusnya bergerak ke seluruh sudut ruangan. Ternyata pihak terkait berdalih bahwa pria tersebut disorot secara terus-menerus lewat cctv lantaran mencurigakan. Kerancuan terjadi karena pihak pengelola tahu bahwa ada yang mencurigakan namun tidak dihentikan oleh pengamanan. Anenya lagi beberapa menit sebelum meledak terlihat gambar pengamanan hotel yang terus mengintip ‘pria misterius’ tersebut.

Polisi langsung menganalisa bahwa pria misterius tersebut adalah nur hasbi alias nur hasib. Luar biasa dalam hitungan menit polisi langsung mengetahui identitas sang pria misterius. Padahal polisi hanya bermodalkan rekaman cctv dengan kualitas gambar yang kurang baik. Kontan pemberitaan media kembali menyudutkan islam. Padahal belum jelas korelasi antara peledakan yang dilakukan oleh pelaku dengan ajaran islam. Yang lebih mengherankan lagi ketika meluncur pernyataan dari mulut seorang habib yang meyakini pelaku tersebut adalah nur hasbi dan merupakan alumni ngruki.

Subhanallah, habib tersebut malah menjatuhkan orang lain. Entah motif apa yang berada di belakang pernyataan tersebut. Lalu kita juga masih ingat dengan peristiwa ‘penggempuran’ rumah kecil di daerah kedu miliki muzahri. Aksi penyergapan yang lebih mirip penggempuran tersebut bak sebuah opera sabun. Banyak televisi nasional yang mewartakan secara langsung dari tempat kejadian. Diberitakan dalam rumah yang tengah dikepung tersebut terdapat nordin m top bersama tiga orang yang lainnya. Aksi brutal polisi pun mulai dilakukan dengan memasukkan bom ke dalam rumah tersebut untuk melumpuhkan orang yang ada di dalamnya.
Tembakan secara brutal dan sadis juga langsung diarahkan ke dalam rumah. Ratusan peluru dimuntahkan tanpa menggunakan strategi yang matang dan jitu. Kalau kita fikirkan kembali aksi yang dilakukan oleh densus ini adalah untuk menyergap pelaku dan bukan untuk membantai pelaku. Namun yang kita saksikan bagaimana satu detasemen dikirim untuk mengepung sebuah rumah kecil. Apalagi densus 88 mendapatkan bantuan khusus berupa satuan tentara elite dari TNI. Bom pun dimasukkan ke dalam rumah untuk diledakkan. Tentu saja hal ini akan melemahkan siapa pun yang berada di dalam.

Ternyata densus yang sudah sangat terlatih pun melakukan hal yang tidak manusiawi dengan mengumpankan sebuah bom untuk melumpuhkan musuh. Ironisnya pria yang ada dalam rumah tersebut hanya ada seorang saja yakni ibrohim. Nordin tidak ada di dalam rumah tersebut. Wajarkah aksi yang dilakukan oleh densus tersebut? Kalaulah memang menginginkan penuntasan kasus terorisme hendaknya jangan membunuh para pelaku. Padahal pelaku dapat dijadikan sumber informasi primer untuk mengetahui jaringan teroris (itu pun kalau ada).

Mungkin jika menggunakan istilah yang populer di masyarakat polisi dapat dikatakan ‘lebay’ alias berlebihan. Sikap yang ditunjukkan oleh polisi sangat berlebihan dan melampaui batas nalar manusia. Densus 88 yang dipersenjatai dengan teknologi modern dan kemampuan taktis dalam menghadapi teror ternyata tidak berani untuk melakukan aksi ‘man to man’ dengan teroris. Beradu satu melawan satu, antara moncong senapan melawan senapan yang lain. Ternyata malah main keroyok dan yang dikeroyok ternyata satu orang oleh puluhan aparat.

Polisi memang ‘lebay’ mungkin itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan hal tersebut. Semestinya polis dapat bersikap lebih bijak dalam mengantisipasi teror yang mungkin akan muncul dalam masyarakat. Bukan dengan aksi yang sangat reaksioner melainkan dengan aksi simpatik yang manusiawi. Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 45. Sebagai negara hukum segala hal yang dilakukan harus berdasarkan aturan hukum dan sistem yang berlaku. Perlindungan terhadap hak asasi yang dimiliki oleh pelaku pun harus diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo ungkapkan pendapat kamu...