Oleh wongbanyumas
Sepak bola Indonesia mendapatkan penghargaan sebagai liga terbesar di dunia. Dengan peserta bejubel kita mampu menghadirkan tontonan olah bola yang diselenggarakan dari ujung pulau sumatera sampai ujung pulau irian. Puluhan klub setiap akhir pekan unjuk gigi di hadapan para pendukungnya. Aksi ciamik penuh dengan aksi hiburan disuguhkan para aktor lapangan hijau. Pagelaran Liga Super Indonesia(LSI) menghabiskan dana yang tidak sedikit. Untungnya tahun ini pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan APBD untuk membiayai klub.
Sepak bola Indonesia juga dikenal mempunyai suporter yang sangat fanatik terhadap klub yang didukung. Jika di Italia ada kelmpok garis keras ultras dan di Inggris ada hooligans kita punya banyak pilihan mulai dari bonek sampai viking. Tapi inilah sepak bola seharusnya perbedaan menyatukan kita. Sangat indah jika kita dapat melihat dua suporter dari dua klub yang berbeda dapat bersatu di tribun penonton dan menghadirkan aksi yang menaarik dari pinggir lapangan. Tapi yang jadi kelaziman adalah lemparan botol air mineral dan hujan batu.
Selain negara ternyata klub peserta liga juga mengalami kesulitan ekonomi. Jatah APBD yang selama ini diterima ternyata di cabut. Dampaknya banyak klub yang limbung dan berguguran di tengah jalan. Gaji pemain terpaksa ditunggak selama beberapa bulan. Bahkan bintang yang mempunyai nilai kontrak di atas 1 milyar harus rela dikurangi nilai kontraknya. Efeknya tentu saja buruk di lapangan. Pemain menjadi malas untuk bermain karena gaji mereka urung dibayar oleh klub. Kondisi kejiwaan mereka juga lebih labil dan sering emosional.
Pelampiasan mereka biasa ekspresikan kepada lawan. Entah sikut melayang, tinju terbang, sampai dengkul menerabas perut lawan. Pemain menjadi emosional jika bertanding, terutama dengan musuh bebuyutan atau dengan klub yang lebih mapan. Tentunya tidak hanya pemain yang jadi korban keganasan. Korps pengadil lapangan acap kali menerima bogem mentah. Tak jarang pemain menghantam tanpa ampun sang wasit. Bahkan pengurus klub dan ofisial sering ikut mengeroyok wasit hingga babak belur.
Tidak lupa salam hangat berupa lemparan botol air mineral dan batu dari para suporter mendarat di tubuh sang pengadil lapangan hijau. Malam nian nasib wasit di negeri ini. Ketika keadilan sangat sulit didapatkan di meja hijau ternyata merambah ke lapangan hijau. Ternyata penyakit judicial corruption juga merambah ke lapangan hijau. Terkadang hakim lapangan hijau mengeluarkan putusan yang kontroversial dan mencederai rasa keadilan suporter. Padahal semua hadirin di majelis itu menyaksikan secara langsung kesalahan yang dilakukan oleh lawan.
Entah karena alasan suap atau lalai sebagai manusia, hakim lapangan hijau meniupkan vonisnya. Vonis dari wasit kadang berujung petaka berupa gol yang bersarang melalui titik putih. Namun jika diibaratkan sebagai hakim maka sanga wasit tidak mempunyai hak untuk mengusir penonton dari area sidang. Hakim memiliki wewenang untuk mengusir pengunjung jika terjadi “contemp of court” alias tindak pelecehan terhadap wibawa pengadilan.
Namun inilah Indonesia yang sebagian besar penduduknya merasa benar. Bahkan membenarkan tindakannya dengan aksi anarkis yang membuat kita antipati terhadap suporter klub sepak bola. Wasit juga manusia tidak sepenuhnya dapat memuaskan para penonton. Hendaknya penonton juga harus legowo dan bersikap dewasa ketika mengalami kekalahan. Justru kekalahan akan melecut para pemain untuk tampil lebih baik di pertandingan yang akan datang.
Salam sepak bola Indonesia....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...