Oleh Wongbanyumas
Dalam sebuah persaingan atau kompetisi hanya ada dua pilihan yakni menang atau kalah. Hanya ada dua opsi itulah yang ada. Hasil imbang tentunya bukan hasil yang baik karena memberikan pembenaran ketika kerja kita kurang maksimal. Dalam kompetisi juga ada pilihan yakni terhormat atau dinistakan. Kehormatan yang kita dapatkan karena menang secara jujur dan kalah dengan sportif. Menang secara jujur seharusnya menjadi asas yang dipegang oleh setiap orang yang berkompetisi. Begitupun ketika kalah, kita juga harus memberikan apresiasi positif kepada kompetitor kita meskipun kita telah dikalahkan. Saya teringat kata-kata bijak “kekalahan kita hari ini adalah bekal kemenangan kita di esok hari”.
Mencermati kompetisi yang terjadi dalam masyarakat seringkali saya menemukan minimnya sikap fair play. Sikap yang mampu menghadirkan seorang juara sejati yang mampu menerima kekalahan dengan ikhlas dan lapang dada. Kalah bukan berarti akhir dari segalanya dan mimpi buruk bagi kita. Mencoba mencermati pada momentum yang sering terjadi belakangan ini yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pertandingan sepak bola. Berdasarkan pengamatan terhadap dua fenomena sosial tersebut terlihat bahwa bangsa ini belum siap untuk sebuah kemenangan.
Sebuah kekalahan bagi sebagian besar kita teras amat menyakitkan. Namun sesungguhnya itulah kemenangan kita ketika kita berhasil memenej emosi dan amarah kita. Kita belum siap untuk menang karena masih belum siap untuk kalah. Juara sejati adalah orang yang mampu tersenyum ketika ia kalah.
Lagi-lagi kita harus mencontoh bangsa lain dalam hal ini. Cobalah kita tengok pertandingan sepak bola liga inggris antara Chelsea melawan Manchester United. Meskipun keduanya saling berseteru di lapangan hijau namun masing-masing saling dapat menerima kekalahan. Berbeda dengan tim sepak bola kita yang agak kampungan. Sangat sulit bagi supporter klub kita untuk menerima kekalahan dari lawan. Bahkan seorang pengurus klub sebesar PSIS semarang sekalipun tak dapat menahan emosi ketika klubnya takluk dari lawan. Dengan enaknya ia meninju wasit sang pengadil lapangan. Sudah selayaknya yoyok dilabeli sebagai wong edan karena bersikap tidak fair.
Contoh kecil lainya adalah pilkada Jatim antara pasangan Khofifah versus pasangan Gus Ipul. Pada pilkada putaran pertama pasangan Khofifah menang. Namun pada pilkada putaran kedua Khofifah kalah tipis dari Gus Ipul. Apa yang terjadi ketika khofifah kalah adalah mengajukan gugatan atas kekalahannya. Langkah tersebut terlihat lucu. Saya sendiri bertanya mengapa ia mengajukan gugatan ketika dalam posisi kalah. Berbeda dengan pemilihan presiden AS ketika Mc Cain secara jantan mengucapkan selamat dan mengakui kakalahannya atas Barrack Obama. Di Indonesia ada contoh positif yakni Pilkada Jakarta. Pasangan Adang-Dani secara sportif memberikan selamat kepada Fauzi-Priyanto.
Sepak bola dan pilkada hanya sebuah gambaran kecil mengenai ketidaksiapan kita untuk kalah. Kita haruss banyak belajar untuk kalah. Bagaimana kita memaknai kekalahan sebagai bahan pembelajaran penting yang dapat memacu kita untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...