Pages

Kebelet Nikah

Oleh Wongbanyumas
Kebelet adalah kata yang menggambarkan sebuah keadaan dimana seseorang mempunyai keinginan yang amat sanga kuat, hasrat yang tinggi, atau sesuatu yang sudah tidak bisa ditahan lagi. Dalam kehidupan keseharian kita sangat akrab dengan kata kebelet. Pernah gak sih kamu merasakan yang namanya mules di perut. Rasanya ingin segera bergegas ke kamar mandi. Ya kamu tau lah rasanya seperti apa kebelet ingin ke kamar mandi.

Lain lagi dengan kebelet yang satu ini. Kebelet nikah, haha ini adalah guyonan dari ibu saya. Ya kebelet nikah, bisa diartikan udah ga sabar pengen nikah. Lho kok kebelet?
Jadi pada dasarnya menikah itu sunnah bagi seorang muslim. Bahkan hukumnya bisa menjadi wajib jika dalam keadaan tertentu. Setiap manusia normal pasti ingin megikatkan cinta pada pasangan hatinya. Dalam Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan didefinisikan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Wah mantap sekali ya kalau kita baca definisinya. Tujuan pernikahan adalah sebuah rumah tangga yg diberkahi Allah. Dan saya termasuk lelaki normal yang ingin menikah lho. Tapi masalahnya adalah waktunya dan dengan siapanya yang belum tau pasti.
Saya termasuk anak laki-laki yang kreatif di dapur. Memasak makanan sudah jadi tugas sampingan saya di rumah selain mencuci pakaian. Bukan bermaksud sombong juga sih, tapi masakan saya bisa dikatakan cukup nyaman di lidah. Kalau dibilang enak nanti malah pada protes ke saya. Sebenarnya memang sejak dulu saya suka sekali berkutat di dapur. Awalnya hanya sekedar melihat ibu saya memasak sambil mengobrol.
Lambat laun saya mulai tertarik dengan dunia dapur yang penuh asam mengebul. Perkenalan pertama dimulai ketika ikut membantu ibu memasak. Ya minimal ngupas bawang, metikin cabai, ngulek bumbu masakan. Kalau tak salah sejak SD lah saya mulai rajin membantu ibu di dapur. Selain ingin berbakti ya sebenarnya saya agak lapar. Jadilah saya selalu menanti ibu saya di dapur ketika sedang masak. Lambat laun saya mulai mendapat kepercayaan untuk memegang wajan dan spatula. Tentungan dengan bimbingan ibu saya dong. Maklum yang namanya noobs itu harus mendapat bimbingan dari mereka yang sudah expert dan ahli.
Sampai dengan saat ini memasak tetap jadi aktiviti harian saya, sebagai sebuah hobi dan juga sebagai sebuah bantuan untuk keluarga. Saya termasuk manusia yang iseng dan suka sekali dengan prinsip “Trial and Error”. Walaupun seringkali lebih banyak ke errornya. Ya karena ibu saya memang pandai memasak jadi saya cukup familiar dengan dapur. Apalagi ibu kerap berlangganan tabloid SA*I yang isinya resep dan dunia kuliner. Makinlah saya mencintai dapur.
Sebenernya masakan saya dibilang enak juga engga sih. Maklumlah karena memang saya masak itu untuk saya makan, dan itu saja cukup. Dan suatu hari saya membuat masakan yang saya suka. Cukup dengan sepotong ayam yang direndam ke dalam cabai merah dan cabai setan yang dihaluskan bersama terasi, bawang putih, dan bawang merah, serta lada bubuk. Saya menyebut nama masakan ini sebagai ayam setan. Sensasi pedas yang dihasilkan ayam setan ini sangat luar biasa. Siapapun yang memakan makanan ini saya berani jamin akan kelojotan karena pedasnya. Dan jangan salahkan saya kalau perut anda akan mules. Hahahaha.
Tidak ada yang aneh waktu itu. Saya memasaknya dengan bumbu yang biasa saya pakai. Kali ini saya cukup pede dengan masakan saya ini. Saya sengaja buatkan untuk orang tercinta di rumah dan menyambutnya. Sangking pedenya saya tidak mencicipi apa yang saya masak. Begitu ibu saya pulang langsung dicoleklah masakan saya. Tiba-tiba ibu bilang “Loh masakan kamu asing banget, kamu kebelet kepengen nikah ya?”. Whaaatt?? Asin? Gak salah? Padahal saya ga merubah komposisi bumbunya.
Kejadian tersebut malah jadi bahan lelucon ibu saya. Kebelet kawin? Hahaha ada-ada saja. Kok bisa ya ibu saya tau kalau saya ingin segera menikah. Eits tapi kejadian keasinan ternyata terjadi kembali. Sayur yang saya masak dibilang asin sekali rasanya. Mulailah sejak itu ibu menggoda saya sudah tak tahan ingin menikah.
Ketika saya sedang masak di hari berikutnya saya iseng mengecap garam yang masih menempel di jari saya. Waduuuuh ini toh biang kebeletnya. Rupanya garam yang kebetulan sudah dua pekan nangkring di dapur itu rasanya uasin (karena terlalu asin maka menggunakan kata lebay: uasin). Pantas saja masakan saya asin karena saya menggunakan garam dengan takaran biasa saya masak namun dengan kepekatan rasa asin yang sangat. Ya apapun itu intinya setiap masakan emang harus diicip dulu sama lidah chefnya.

2 komentar:

  1. Hmm... Masakan ibu hari itu asin jugakah?
    *What?? Enggak??

    BalasHapus
    Balasan
    1. ibu saya tak masak. saya selalu yang masak bu. tugasnya jadi bapak rumahtangga. hihihi

      Hapus

Ayo ungkapkan pendapat kamu...