Kebelet adalah
kata yang menggambarkan sebuah keadaan dimana seseorang mempunyai keinginan
yang amat sanga kuat, hasrat yang tinggi, atau sesuatu yang sudah tidak bisa
ditahan lagi. Dalam kehidupan keseharian kita sangat akrab dengan kata kebelet.
Pernah gak sih kamu merasakan yang namanya mules di perut. Rasanya ingin segera
bergegas ke kamar mandi. Ya kamu tau lah rasanya seperti apa kebelet ingin ke
kamar mandi.
Lain lagi dengan kebelet yang satu ini. Kebelet nikah, haha ini adalah guyonan dari ibu saya. Ya kebelet nikah, bisa diartikan udah ga sabar pengen nikah. Lho kok kebelet?
Lain lagi dengan kebelet yang satu ini. Kebelet nikah, haha ini adalah guyonan dari ibu saya. Ya kebelet nikah, bisa diartikan udah ga sabar pengen nikah. Lho kok kebelet?
Jadi pada
dasarnya menikah itu sunnah bagi seorang muslim. Bahkan hukumnya bisa menjadi
wajib jika dalam keadaan tertentu. Setiap manusia normal pasti ingin megikatkan
cinta pada pasangan hatinya. Dalam Undang Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
didefinisikan bahwa Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Wah mantap
sekali ya kalau kita baca definisinya. Tujuan pernikahan adalah sebuah rumah
tangga yg diberkahi Allah. Dan saya termasuk lelaki normal yang ingin menikah
lho. Tapi masalahnya adalah waktunya dan dengan siapanya yang belum tau pasti.
Saya termasuk
anak laki-laki yang kreatif di dapur. Memasak makanan sudah jadi tugas
sampingan saya di rumah selain mencuci pakaian. Bukan bermaksud sombong juga
sih, tapi masakan saya bisa dikatakan cukup nyaman di lidah. Kalau dibilang
enak nanti malah pada protes ke saya. Sebenarnya memang sejak dulu saya suka
sekali berkutat di dapur. Awalnya hanya sekedar melihat ibu saya memasak sambil
mengobrol.
Lambat laun
saya mulai tertarik dengan dunia dapur yang penuh asam mengebul. Perkenalan pertama
dimulai ketika ikut membantu ibu memasak. Ya minimal ngupas bawang, metikin
cabai, ngulek bumbu masakan. Kalau tak
salah sejak SD lah saya mulai rajin membantu ibu di dapur. Selain ingin berbakti
ya sebenarnya saya agak lapar. Jadilah saya selalu menanti ibu saya di dapur
ketika sedang masak. Lambat laun saya mulai mendapat kepercayaan untuk memegang
wajan dan spatula. Tentungan dengan bimbingan ibu saya dong. Maklum yang namanya
noobs itu harus mendapat bimbingan
dari mereka yang sudah expert dan
ahli.
Sampai dengan
saat ini memasak tetap jadi aktiviti harian saya, sebagai sebuah hobi dan juga
sebagai sebuah bantuan untuk keluarga. Saya termasuk manusia yang iseng dan
suka sekali dengan prinsip “Trial and
Error”. Walaupun seringkali lebih banyak ke errornya. Ya karena ibu saya
memang pandai memasak jadi saya cukup familiar dengan dapur. Apalagi ibu kerap
berlangganan tabloid SA*I yang isinya resep dan dunia kuliner. Makinlah saya
mencintai dapur.
Sebenernya masakan
saya dibilang enak juga engga sih. Maklumlah karena memang saya masak itu untuk
saya makan, dan itu saja cukup. Dan suatu hari saya membuat masakan yang saya suka.
Cukup dengan sepotong ayam yang direndam ke dalam cabai merah dan cabai setan
yang dihaluskan bersama terasi, bawang putih, dan bawang merah, serta lada
bubuk. Saya menyebut nama masakan ini sebagai ayam setan. Sensasi pedas yang
dihasilkan ayam setan ini sangat luar biasa. Siapapun yang memakan makanan ini
saya berani jamin akan kelojotan
karena pedasnya. Dan jangan salahkan saya kalau perut anda akan mules. Hahahaha.
Tidak ada yang
aneh waktu itu. Saya memasaknya dengan bumbu yang biasa saya pakai. Kali ini
saya cukup pede dengan masakan saya ini. Saya sengaja buatkan untuk orang
tercinta di rumah dan menyambutnya. Sangking pedenya saya tidak mencicipi apa
yang saya masak. Begitu ibu saya pulang langsung dicoleklah masakan saya. Tiba-tiba
ibu bilang “Loh masakan kamu asing banget, kamu kebelet kepengen nikah ya?”. Whaaatt??
Asin? Gak salah? Padahal saya ga merubah komposisi bumbunya.
Kejadian tersebut
malah jadi bahan lelucon ibu saya. Kebelet kawin? Hahaha ada-ada saja. Kok bisa
ya ibu saya tau kalau saya ingin segera menikah. Eits tapi kejadian keasinan
ternyata terjadi kembali. Sayur yang saya masak dibilang asin sekali rasanya. Mulailah
sejak itu ibu menggoda saya sudah tak tahan ingin menikah.
Ketika saya
sedang masak di hari berikutnya saya iseng mengecap garam yang masih menempel
di jari saya. Waduuuuh ini toh biang kebeletnya. Rupanya garam yang kebetulan
sudah dua pekan nangkring di dapur itu rasanya uasin (karena terlalu asin maka menggunakan kata lebay: uasin). Pantas saja masakan saya
asin karena saya menggunakan garam dengan takaran biasa saya masak namun dengan
kepekatan rasa asin yang sangat. Ya apapun itu intinya setiap masakan emang
harus diicip dulu sama lidah chefnya.
Hmm... Masakan ibu hari itu asin jugakah?
BalasHapus*What?? Enggak??
ibu saya tak masak. saya selalu yang masak bu. tugasnya jadi bapak rumahtangga. hihihi
Hapus