Pages

ULTRA PETITA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Oleh wongbanyumas

Semangat reformasi setelah masa orde baru bangsa Indonesia ingin melakukan banyak perubahan mendasar. Dalam bidang ketatanegaraan khususnya dilakukan amandemen undang-undang dasar 1945. Amandemen terhadap undang-undang dasar telah dilakukan sebanyak empat kali. Pasca amandemen perubahan ketiga undang-undang dasar 1945 terbentuklah mahkamah konstitusi sebagai lembaga tinggi Negara. Mahkamah konstitusi sebagai pengawal sekaligus penafsir undang-undang dasar merupakan sebuah lembaga Negara yang sifatnya masih baru di dalam kehidupan ketatanegaraan di dunia modern.

Bersama Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi adalah pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman mahkamah konstitusi diharapkan dapat menjadi ujung tombak penegakan keadilan. Banyak yang berharap bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat menjamin hak konstitusioanal warganegara. Sebab selama masa orde baru hak-hak dasar warganegara selalu diabaikan oleh penguasa pada saat itu. Masyarakat pada masa itu sering menjadi korban kebijakan pemerintah yang selalu mangabaikan hak masyarakat. Keberadaan mahkamah konstitusi dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya yang telah diatur dalam konstitusi, dalam hal ini adalah undang-undang dasar 1945.

Ide pembentukan mahkamah konstitusi diawali oleh pembaharuan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan pada abad 20. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang berasal dari sistem hukum eropa kontinental. Indonesia sebagai sebuah Negara hukum (Rechstaat) banyak dipengaruhi pemikiran ketatanegaraan di Eropa terutama Negara dengan sistem hukum Eropa Continental yang menganut supremasi konstitusi. Pada Negara yang menganut Eropa Continental Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang merupakan bentuk perlindungan terhadap hak konstitusional warganegara.

Ide mengenai pembentukan mahkamah konstitusi di Indonesia muncul sejak lama. Pembentukan Mahkamah Konstitusi terwujud ketika akan dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara.

Mahkamah Konstitusi secara resmi terbentuk pada tanggal 16 Agustus 2003. Namun terdapat perbedaan pendapat. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Ada pula yang berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi lahir bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003. Secara kelembagaan Mahkamah Konstitusi menetapakan tanggal 16 Agustus 2003 sebagai kelahiran mahkamah konstitusi.

Mengutip Afiuka Hadjar, dkk, ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1. Paham Konstitusionalisme
Paham Konstitusionalisme adalah suatu paham yang menganut adanya pembatasan kekuasaan. Paham ini memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukan sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi.
2. Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakan-tindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.
3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih
Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang bersih, transparan dan partisipatif.
4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap HAM.

Selain itu berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif

a)Susunan mahkamah konstitusi
Dalam melakukan tugasnya yang telah di amanatkan UUD 1945 Mahkamah konstitusi. Mahkamah Konstitusi terdiri dari Sembilan orang hakim konstitusi. Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung mengajukan masing-masing 3 orang sebagai hakim konstitusi. Masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan. Ketua dan wakilnya dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

Berikut ini susunan Mahkamah Konstitusi :
1.Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ketua)
2.Prof. Dr. Laica Marzuki, S.H. (Wakil ketua)
3.Prof. Abdul Mukhtie Fajar, S.H., MS (Anggota)
4.Letjen TNI H. Achmad Roestandi, S.H (Anggota)
5.Dr. Harjono, S.H., MCL (Anggota)
6.Prof. H. Ahmad S. Natabaya, S.H., LL.M (Anggota)
7.Soedarsono, S.H. (Anggota)
8.I Dewa Gede Palguna, S.H, M.H. (Anggota)
9.Maruar Siahaan, S.H. (Anggota)

b)Tugas dan wewenang
Sebagai sebuah lembaga Negara Mahkamah konstitusi memilik tugas dan wewenang antara lain:

1.menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sebagai pelindung hak konstitusional warga Negara, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945. Melalui proses pengujian (uji materil) terhadap undang-undang maka Mahkamah Konstitusi dapat menilai apakah suatu pasal atau keseluruhan undang-undang dikatakan tidak sesuai dengan undang-undang dasar. Sehingga Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak dapat berlaku karena bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab selanjutnya.

2.memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dalam hal terjadi sengketa kewenangan antar lembaga Negara maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan apakah lembaga Negara tersebut memiliki wewenang terhadap apa yang diajukan pemohon. Sebelumnya lembaga Negara yang bersengketa harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi. Sebelum terbentuknya mahkamah konstitusi sengketa antar lembaga Negara diselesaikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR), namun keputusan sering beraroma politik. Karena pada saat itu MPR sebagai lembaga politik.

3.memutus pembubaran partai politik; dan
Pembubaran partai politik sebelum adanya mahkamah konstitusi dilakukan oleh presiden. Jika presiden berwenag membubarkan partai politik maka akan dikhawatiirkan akan terjadi kesewenang-wenangan. Presiden akan membubarkan partai yang menjadi lawan politik yang selalu mengkritisi kebijakan pemerintah. Pembubaran terhadap partai politik tertjadi apabila ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4.memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pemilihan umum sebagai sarana menuju negara yang demikratis sangat penitng. Pemilihan umum sangat penting dalam menentukan arah bangsa ke depan oleh karena itulah jika terjadi sengketa para pihak akan berusaha untuk menang. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945 penyelesaian sengketa pemilu dilakukan oleh pemerintah. Sengketa pemilu akan dilaporkan pada Panitia Pengawas Pemilu yang kemudian akan diteruskan pada Mentri dalam negeri. Pada ahirnya presiden jugalah yang memutuskan sengketa hasil pemilu. Yang pada masa orde baru selalu dimenangkan oleh Golkar. Saat ini hasil pemilu ditangani oleh Mahkamah Konstitusi agar netralitas tetap terjaga. Sekarang bahkan sengketa pilkada turut diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Contohnya adalah sengketa pilkada depok antara Badrul Kamal dan Nur Mahmudi.

5.Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketika presiden melakukan pelanggaran maka DPR akan memberikan rekomendasi melalui rapat paripurna. Mahkamah Konstitusi akan memberikan putusan. Namun hal ini menjadi kurang efektif karena putusan tersebut akan diserahkan ke MPR yang merupakan lembaga politik.

A.PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
a.Judicial review atau constitutional review
Terdapat banyak pendapat mengenai istilah dari pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sebagian orang menganggap bahwa istilah yang cocok mengenai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun banyak pula pakar hukum yang berpendapat lain.

Judicial review sering diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Namun judicial review juga dapat diartikan sebagai peninjauan kembali (PK). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial review adalah upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun judikatif dalam rangka pererapan prinsip check and balance berdasarkan separation of power.

Sedangkan istilah constitusional review bararti review yang dilakukan oleh lembaga yudikatif atas produk perundang-undanagn terhadap konstitusi (undang-undang dasar). Constitusional review lebih spesifik pengujian terhadap undang-undang

Maruarar Siahaan S.H. lebih memilih untuk menggunakan istilah Constitutional review sebagai bentuk kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar. Penulis lebih cenderung menggunakan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Penggunaan istilah constitutional review dirasa lebih tepat dibandingkan judicial review jika konteksnya adalah pengujian terhadap undang-undang dasar (konstitusi). Sebab jika memakai istilah judicial review akan terjadi kerancuan. Namun penulis akan tetap menggunakan istilah judicial review dalam makalah ini.

b.Latar belakang judisial review
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia kita mengenal istilah judicial review. Judicial review sering diartikan sebagai pengujian terhadap undang-undang dasar. Judicial review awal mula lahir di Amerika Serikat sejak tahun 1803. Terjadi kasus madison vs william marbury. Hakim john marshal yang melahirkan putusan judicial review. Saat itu ia ditantang oleh madison untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang ditetapkan oleh kongres. Namun di Amerika judicial review dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme court). Amerika tidak mengenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi.

Judicial review telah diperbincangkan sejak dulu oleh para founding father Indonesia antar Supomo dan Muh Yamin. Sopomo beranggapan bahwa judicial review tidak diperlukan karena memposisikan lembaga peradilan lebih tinggi dari lembaga lain dan bertentangan dengan konsep trias politica. Namun hal tersebut dibantah oleh Muh. Yamin ia mengatakan bahwa judicial review itu diperlukan.

Pada seminar nasional (1957) ada dua pertanyaan mengenai judicial review
1.Lembaga mana yang dapat melakukan judicial review?
2.Produk hukum mana yang dapat dilakukan judicial review?
Pada akhirnya pertanyaan tersebut terjawab
1.Mahkamah Agung
2.Produk hukum di bawah undang undang

Kemudian muncul wacana baru dalam seminar hukum nasional VII. Abdul Hakim Garuda Nusantara mempertanyakan 4 pertanyaan:
1.Apakah judicial review terbatas terhadap peraturan dibawah undang-undang yang boleh dilakukan oleh MA?
2.Jika demikian, badan mana yang dapat menguji produk undang-undang?
3.Apakah judicial review akan menganut model pengujian sebelum UU diundangkan atau setelah diundangkan?
4.Apakah akan berlaku sistem sentralisasi atau berlaku sistem sentralisasi?

Dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi maka semua pertanyaan tersebut telah terjawab.
Selain itu adanya judicial review dilatar belakangi oleh
1.Historis ketatanegaraan
Dahulu banyak produk perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sudah terreduksi dan disalah artikan oleh pemerintah demi mempertahankan kekuasaan. Sehingga pasca reformasi masyarakat menginginkan adanya suatu sistem pengujian agar undang-undang diterapkan sesuai dengan UUD 1945.

2.Konsep supremasi konstitusi
Indonesia menganut supremasi konstitusi pada masa orde baru. Undang-undang dasar tidak boleh diganggu-gugat dan ditafsirkan. Sehingga ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 banyak usulan untuk membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi.

c.Pelaksanaan judisial review dalam lingkungan kekuasaan kehakiman
Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh dua lembaga yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam UUD 1945 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan Mahkamah Agung berhak menguji produk perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.

Dari ketentuan ini muncul permasalahan apakah jika Mahkamah Konstitusi membatalkan atau menyatakan suatu undang-undang tidak berlaku lagi maka bagaimanakah peraturan yang berada di bawah undang-undang tersebut. Apakah akan batal secara otomatis atau tetap berlaku. Disinilah letak kekurangan sistem pengujian. Seharusnya kita menganut sistem sentarlisasi. Dimana pengujian seluruhnya dipegang oleh satu badan. Sehingga putusan yang dikeluarkan tidak akan mengakibatkan pertentangan.

d.Macam-macam pengujian
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie pengujian terhadap undang-undang ada dua macam yakni :
1.. pengujian materiil
Adalah pengujian atas bagian undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat berupa bab, ayat, pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal atau ayat dalam sebuah undang-undang.
2.. pengujian formil
Adalah pengujian yang dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi substansi norma yang diatur itu menjadi suatu bentuk hukum tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga substansi norma hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum.

Sri Sumantri berpendapat bahwa : Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.

Pada dasarnya Pengujian formil biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum. Misalnya, berdasarkan prinsip ‘lex specialis derogate lex generalis’, maka suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum.

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
a)Mekanisme beracara di mahkamah konstitusi
1)Permohonan/Legal standing
Ketika ingin melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi para pihak harus mendaftarkan diri di panitera. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian terhadap undang-undang adalah :
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
d. Lembaga negara.
Alasan pengajuan adalah hak &/atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya UU. Dalam permohonan alasan yang diberikan adalah
a.Pembentuk UU tdk memenuhi ketentuan berdasarkan UUD
b.Materi muatan dlm ayat, pasal &/atau bagian UU bertentangan dengan UUD

2)Registrasi perkara dan penjadwalan sidang
Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK dan diberi nomor perkara. Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah untuk menetapkan susunan Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera menetapkan Panitera Pengganti.

Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan kepada Pemohon dan diumumkan kepada masyarakat.

3)Pemeriksaan dan pembuktian
Pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi. Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan. Jika tidak lengkap maka hakom akan meminta untuk dolengkapi. Apabila berkas lengkap maka akan dilakukan pemeriksaan lanjutan

Pemeriksaan persidangan
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim.

Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 12 adalah:
a. pemeriksaan pokok permohonan;
b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
d. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
e. mendengarkan keterangan saksi;
f. mendengarkan keterangan ahli;
g. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa
yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.

pembuktian
Alat bukti:
I.Surat atau tulisan
II.Keterangan saksi
III.Keterangan Ahli
IV.Keterangan para Pihak
V.Petunjuk
VI.Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang sampai dengan itu.

4)Rapat permusyawaratan hakim
Hakim kemudian mengadakan sidang tertutup untuk menemukan keputusan. Kuorum RPH untuk mengambil keputusan adalah sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi, dibantu Panitera, dan petugas lain yang disumpah.

5)Putusan
Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang Hakim Konstitusi. Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalamSidang Pleno terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum.

b)Ultra petita dalam putusan mahkamah konstitusi
Mahkamah Konstitusi telah dua kali mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita, yaitu pada pengujian terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan pengujian terhadap Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil terhadap UU No 22 tentang Komisi Yudisial. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi Hakim Konstitusi, sesuatu hal yang sebenarnya tidak diminta oleh pemohon. Padahal para pemohon tidak memohonkan pada Mahkamah Konstitusi untuk menilai hakim mana yang harus diawasi oleh Komisi Yudisial.

Yang menjadi alasan mendasar dari Para Pemohon menguji UU Nomor 27 Tahun 2004 bukan untuk menolak ide KKR secara keseluruhan, tapi justru untuk meminta jaminan agar komisi yang terbentuk nantinya tidak melanggar HAM dan hak-hak korban. UU KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena memang sudah cacat sejak awal.

Keputusan hakim tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan penggugat) tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat dalam keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam UU. Hal inilah yang menjadi dasar untuk mengeluarkan putusan yang melebihi petitum.

Ultra petita merupakan pelanggaran serius terhadap UU MK terjadi karena tidak ada peraturan atau ketentuan dalam UU MK yang membolehkan MK memutuskan melebihi apa yang dimohonkan. Padahal menurut Pasal 5 ayat 1 huruf b Peraturan MK No.06/PMK/2005 dan Pasal 51 ayat (3) UU-MK, setiap permohonan harus disertai uraian petita yang jelas :
“kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji”

Kekosongan hukum dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memang menyulitkan bagi para hakim dalam menjalankan praktek beracara Mahkamah Konstitusi. Sumber hukum yang menjadi acuan selama ini adalah Peraturan Mahkah Konstitusi Nomor 06/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undang-undang. Namun palam peraturan ini tidak mengatur batasan apakah Mahkamah Konstitusi boleh melakukan ultra petita. Oleh karena itulah Mahkamah Konstitsi mengadopsi berbagai aturan dalam hukum acara terutama hukum acara peradilan tata usaha negara. Mahkamah Konstitusi juga mengadopsi peraturan yang berasal dari negara lain yang memiliki lembaga Constitutional courts.

Ultra petita yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada pasal 45 UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan yang berbunyi :
“Mahkamah Konstitusi memutus konstitusionalitas tidaknya satu undang-undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat putusan inkonstitusionalnya pasal yang dimohonkan, maka putusan inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang tersebut”

Mahkamah Konstitusi melakukan ultra petita dengan alasan bahwa dalil yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keseluruhan UU diluar permohonan pemohon, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, serta menimbulkan akibat hukum yang lebih luas dari pada sekadar mengenai kepentingan Pemohon sebagai perorangan.

Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, boleh saja putusan MK memuat ultra petita jika masalah pokok yang dimintakan review terkait pasal-pasal lain dan menjadi jantung dari UU yang harus diuji itu. Menurut Jimly, larangan ultra petita hanya ada dalam peradilan perdata. Sedangkan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan, beberapa waktu lalu, mengatakan, ultra petita dalam putusan MK dapat dibenarkan asal dalam permohonan judicial review atas isi UU itu pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan).

Menurut Dr. Fauzan, dosen tata negara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Beliau mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang bersifat ultra petita adalah diperbolehkan. Ia berpendapat bahwa asas non ultra petita adalah hanya sebuah asas. Melanggar sebuah asas menurutnya tidak menimbulkan akibat hukum karena melanggar asas adalah tidak melanggar aturan perundang-undangan. Namun jika Mahkamah Konstitusi melakukan pelanggaran terhadap asas hukum dinilai sangat tidak etis. Akan lebih baik jika dibuat aturan hukum yang lebih jelas mengenai ultra petita.

Untuk mengan tisipasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita maka DPR menyusun RUU MK yang pada mengatur larangan ultra petita yang terdapat dalam pasal 45A yang mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus perkara melebihi daripada yang diminta.

Yang menjadi permasalahan utama dalam putusan yang bersifat ultra petita adalah ketiadaan dasarhukum. Seandainya ultra petita diperbolehkan dan diatur secara jelas dalam undang-undang maka akan jelas mekanismenya. Yang dikhawatirkan bahwa Mahkamah Konstitusi melakukan tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang. Sehingga terkesan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga superior.

Kekhawatiran terhadap sepak terjang Mahkamah Konstitusi memang cukup baik. Namun alangkah indahnya jika putusan tidak menjadi sebuah ultra petita. Karena masyarakat mengharapkan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga pengawal dan penjaga konstitusi serta mampu manjamin hak-hak masyarakat.