Oleh Wongbanyumas
Beberapa tahun terakhir isu penegakan hak asasi manusia semakin santer terdengar, seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin menjunjung tinggi akan penegakan hak asasi manusia. Dengan semakin bertambahnya kesadaran masyarakat, maka pelaksanaan hukuman mati mulai dipertanyakan eksistensinya. Pada awalnya hukuman mati dilakukan guna memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa takut bagi masyarakat agar mereka tidak melakukan tindakan yang diancam dengan ancaman hukuman mati. Tetapi belakangan ini masyarakat khususnya aktifis dan pejuang hak asasi manusia merasa hukuman mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, terlebih lagi tujuan dari adanya hukuman mati dianggap tidak terpenuhi. Efek jera yang diharapkan dari diberlakukannya hukuman mati ternyata tidak tercapai, dengan begitu maka efektifitas hukuman mati dipertanyakan.
Seiring dengan kenyataan yang ada maka eksistensi hukuman mati yang ada di Indonesia dipertanyakan. Apalagi banyak negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati di negaranya, terutama negara-negara yang telah meratifikas The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty, yaitu negara Australia, Austria, Denmark, Finlandia, Jerman, Hungaria, Islandia, Irelandia, Italia, Mozambik, Namibia, Belanda, Swiss. Dan banyak lagi negara yang telah menghapuskan hukuman mati.
Dunia menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran HAM dan oleh karena itu pemberlakuan hukuman mati harus dihapuskan karena hak untuk hidup dari setiap manusia tidak dapat dicabut oleh hukum atau manusia yang lain. Tetapi di beberapa negara hukuman mati masih tetap diberlakukan, salah satunya adalah China. Pemberlakuan hukuman mati di China berawal dari kepemimpinan perdana menteri Zhu Rongji yang memang sejak awal memiliki komitmen untuk menghapuskan korupsi dengan kebijakannya yang terkenal yaitu “ Pemesanan 100 peti mayat”, dimana peti itu dipersiapkan untuk para koruptor dan salah satu peti tersebut dipersiapkan untuk dirinya jika ia berbuat kesalahan. Kebijakan ini terbukti sangat efektif dalam mengurangi tindak pidana terutama korupsi. Kebijakan ini terus dilanjutkan oleh para penerusnya sampai sat ini, bahkan China menjadi menjadi negara terbanyak yang melakukan eksekusi mati bagi para terpidana dan terbukti tindak pidana yang diancam hukuman mati berkurang.
Setelah melihat kontroversi yang ada mengenai eksistensi hukuman mati antara kemanusaiaan dengan rasa keamanan bagi masyarakat maka kami mengangkat hukuman mati menjadi tema dalam makalah ini. Apalagi belakangan ini hukuman mati yang ada di Indonesia mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Sejarah hukuman mati di Indonesia
Hukuman mati di Indonesia bukanlah hukuman yang populer. Sebab dalam pelaksananaanya sering mendapatkan kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Terutama para pegiat HAM. Hukuman mati dipandang sebagai bentuk pelanggaran HAM. Sebagian orang beranggapan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Dalam Universal Declaration of Human Rights (deklarasi universal hak asasi manusia) dinyatakan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara tidak tidak manusiawi atau dihina.
Jelas berdasarkan pernyataan di atas hukuman mati dapat dikategorikan telah menyiksa dan memperlakukan manusia secara tidak manusiawi. Padahal setiap manusia diciptakan oleh Tuhan dan hanya tuhan pulalah yang berhak mencabut. Selain itu manusia diciptakan setara dihadapan Tuhan dan tidak boleh berbuat zalim terhadap sesama. Sehingga mencabut hak hidup orang lain dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak masa kerajaan. Pada saat itu hukuman mati diberlakukan oleh para raja untuk menjamin terciptanya keamanan dan kedamaian masyarakat yang berada di wilayah kerajaannya. Hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara, seperti dipancung, dibakar, dan diseret dengan kuda.
Pada masa kolonial hukuman mati diberlakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Pada masa kolonial hukuman mati diatur di dalam wetboek van strafrecht.
Saat itu hukuman mati dilakukan dalam berbagai cara yang dapat dikatakan tidak manusiawi, seperti adanya kasus antara pemuda yang merupakan calon perwira muda VOC yang berusia 17 tahun yang bermesraan dengan gadis yang berusia 13 tahun, sang pemuda dipancung dan si gadis didera/dicambuk dengan badan setengah telanjang di balai kota. Selain itu ada kasus yang menimpa 6 budak yang dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya, lalu ada kasus Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya karena diduga akan melakukan pemberontakan dan akhirnya mereka dihukum mati dengan cara badannya dirobek menjadi empat bagian, kemudian potongan badan tersebut dilempar ke luar kota untuk santapan burung.
Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup lama di Indonesia.
Lalu pada masa pemerintahan presiden Soekarno hukuman mati tetap diatur di dalam wetboek van strafrecht atau yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada saat itu ada beberapa kasus yang dijatuhi hukuman mati seperti kasus Kartosuwirjo, Kusni Kasdut, dan tragedi Cikini. Selain itu masih banyak vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Banyak pula kasus hukuman mati yang dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa ini tidak terlalu dipertentangkan karena pemerintahan saat itu terkenal sangat represif. Sebagian besar yang dieksekusi mati adalah lawan politik Soeharto. Kita pasti masih ingat ketika Petrus menebar teror dengan menembak mati siapa saja yang “dianggap” mengganggu ketertiban. Hal seperti itu adalah bentuk hukuman mati secara terselubung.
Pasca orde baru pemerintahan tiga presiden juga banyak penjatuhan hukuman mati. Bagaimana ketika megawati menolak tiga permohonan grasi terpidana mati. Pada akhirnya ketiga terpidana tersebut tewas ditangan regu tembak, antara lain Chaubey. Lain halnya ketika masa pemeritahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tercatat ada beberapa kasus yang di jatuhi vonis hukuman mati seperti terpidana mati kasus terorisme seperti Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera, fabianus Tibo cs.
Perspektif hukuman mati
Sebelum melangkah lebih lanjut membicarakan hukuman mati kita harus mengetahui hukuman mati tersebut. Hukuman mati dalam istilah hukum dikenal dengan uitvoering. Hukuman atau pidana mati adalah penjatuhan pidana dengan mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan hukuman mati. Hukuman mati berarti telah menghilanhkan nyawa seseorang. Padahal setiap manusia memilik hak untuk hidup.
Banyak pendapat mengenai pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Perbedaan ini mendasarkan dari berbagai sudut pandang. Tiap orang memiliki kecendrungan untuk mendukung pendapatnya tanpa melihat dari sudut pandang lain. Berbagai sudut pandang yang ada antara lain:
1. Perspektif HAM
Sebelum beranjak lebih jauh mengenai hukuman mati di Indonesia. Alangkah baiknya terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia. Berikut ini beberapa definisi hak asasi manusia:
Hak Asasi Manusia adalah Hak-hak (yang seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Soetandyo Wignjosoebroto.
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak asasi manusia adalah hak dasar/mutlak/kudus/suci pemberian Tuhan yang dimiliki setiap manusia serta menempel/melekat untuk selamanya. Dalam pelaksananaannya harus memperhatikan/menghormati hak orang lain. Hak asasi juga dibareng dengan tanggung jawab asasi dan kewajiban asasi.
Maka dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang diberikan dari Tuhan kepada manusia sesuai dengan kodratnya. Hak tersebut bukanlah berasal dari manusia sehingga diantara mereka harus saling menghormati. Manusia tidah sepatutnya hanya menuntut pemenuhan hak tetapi juga harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban asasi.
Hak asasi manusia sebenarnya tidak memiliki definisi yang pasti. Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena kemanusiaannya. Hal ini juga didasarkan pandangan bahwa Ham sendiri memilik dua sudut pandang yaitu dari dimensi universal dan dimensi partikular.
a. Dimensi universal
Dalam dimensi universal HAM dipandang sebagai suatu hak dasar yang ada dalam setiap kehidupan manusia dimanapun ia berada. HAM dimensi universal diatur dalam UDHR (universal declaration of human rights). Secara umum bangsa-bangsa di dunia mengakui adanya HAM. Pengakuan terhadap HAM terwakili dengan adanya pengakuan terhadap UDHR.
Dalam pandangan universal hukuman mati harus dihapuskan karena dipandang melanggar Hak hidup seseorang. Nilai-nilai individual yang ada dalam konsep HAM menuntut agar hak seseorang jangan dilanggar. HAM lahir dari nilai-nilai individual yang liberal, yang biasanya hidup dalam negara barat. Hal tersebut mempengaruhi cara pandang aliran HAM ini2. Kelompok negara yang berpandangan terhadap nilai universalitas memandang bahwa di manapun seseorang berada, hak-haknya harus diakui dan dilindungi. Hukuman mati yang jelas bertentangan dengan nilai HAM harus dihapuskan.
Sebagai upaya penghapusan hukuman mati negara-negara di dunia terutama negara yang telah meratifikasi The second optional protocol to the international covenant on civil and political rights, aiming at the abolition of death penalty telah menetapkan tanggal 10 oktober sebagai hari anti hukuman mati. Melalui hari peringatan itu diharapkan negara-negara di dunia menghapuskan hukuman mati karena hukuman mati tidak sesuai dengan perkembangan HAM di dunia.
b. Dimensi partikular
Melihat dimensi partikular HAM tidak melulu kepada pemikiran universal. Penegakkan HAM dikembalikan kepada masing-masing negara. Setiap negara memiliki pandangan yang berbeda sebagaimana yang disebut oleh Von Savigny dengan Volksgeist. Nilai HAM lahir dari nilai luhur suatu bangsa. Begitu pula dengan HAM tiap negara memiliki pandangan berbeda mengenai perlunya hukuman mati. Sebagai contoh dalam masyarakat Uni Eropa hukuman mati telah dihapuskan, sedangkan di Indonesia hukuman mati tetap dipertahankan.
Dalam pidato di Konferensi internasional tentang HAM tahun 1993 di Wina wakil delegasi cina menyatakan bahwa
“Konsep hak asasi manusia adalah produk dari suatu perkembangan sejarah. Ia terikat secara erat dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang khas dan dengan sejarah, budaya dan nilai-nilai suatu negara tertentu yang khas. Perbedaan dalam tahap-tahap perkembangan sejarah memiliki persyaratan HAM yang berbeda. Negara-negara pada tingkat perkembangan yang berbeda atau dengan latar sejarah dan budaya yang berbeda juga mempunyai praktek HAM yang berbeda. Dengan demikian, orang seharusnya tidak dan tidak dapat memikirkan adanya standar HAM dan model negara-negara tertentu sebagai satu-satunya yang baik dan meminta agar negara-negara lain bertunduk padanya.”
Jika melihat dari penggalan pidato di atas terlihat bahwa tidak semua negara menganut HAM universalitas. Maka keputusan mengenai hukuman mati dikembalikan pada masing-masing negara. Hal tersebut diserahkan kepada nilai HAM yang hidup dalam suatu bangsa. Kita tidak dapat memaksakan bahwa hukuman mati ditiadakan. Tetapi di negara tertentu hukuman mati masih diperlukan. Indonesia yang berpandangan kontekstual (berpegang pada nilai bangsa) masih mengakui adanya hukuman mati.
2. Perspektif agama
Agama merupakan pegangan hidup bagi setiap manusia. Setiap manusia yang beragama pasti mendasrkan hidupnya pada aturan-aturan dalam agamanya. Peraturan tersebut diatur dalam kitab suci ataupun pendapat dari para agamawan agama juga memberikan perlindungan hak asasi bagi setiap umat manusia.
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia mengenal adanya hukuman mati. Hukuman mati secara jelas diatur dalam kitab Al-qur’an. Hal ini diberlakukan untuk memberikan efek jera dan perlindungan. Tidak semua pelanggaran dalam Jinayat dikenakan hukuman mati, tetapi hanya pada perkara tertentu seperti Murtad, penghinanan terhadap nabi, zina, pembunuhan, pemerkosaan, dll.
Agama kristen juga mengenal adanya hukuman mati. Dalam prakteknya sejak mulai diberlakukannya ius divinum sampai dengan corpus iuris canonici di dalam agama kristen praktek-praktek hukuman mati diakui eksistensinya. Agama kristen bersumberkan pada kitab injil baik perjanjian baru maupun perjanjian lama. Juga berdasarkan keputusan-keputusan konsili di Roma.
Melihat pada sejarah, banyak peristiwa-peristiwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh gereja. Kita dapat mengetahui perihal pidana mati yang dijatuhkan pada Galileo Galilei. Pidana mati yang dijatuhkan oleh gereja biasanya berupa dibakar atau meminum racun. Dasar penjatuhan pidana biasanya adalah karena melanggar aturan-aturan tuhan.
Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk berbagai perbuatan: pembunuhan, penculikan, hubungan seks dengan binatang, perzinahan, homoseksualitas, menjadi nabi palsu, pelacuran dan pemerkosaan dan berbagai kejahatan lainnya.
Namun demikian, agama kristen seringkali memberi keringanan hukuman mati. Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan, namun Tuhan tidak menuntut untuk mengambil nyawa Daud. Pada dasarnya agama kristen beranggapan bahwa semua dosa harus diganjar dengan hukuman mati.
Jadi jelaslah dalam agama bahwa hukuman mati dapat diberlakukan pada hal-hal tertentu dan Tuhan memberikan otoritas kepada pemerintah melalui gereja untuk menerapkan hukuman mati. Agama memberikan jaminan terlindunginya hak orang lain dengan jalan mengurangi hak seseorang. Yang terpenting adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
3. Perspektif hukum
Pengaturan hukuman mati dalam hukum positif di Indonesia berawal pada zaman kolonial Belanda. Hukuman mati diatur dalam wetboek van strafrecht voor nederlandsch indie dalam Buku I, Bab II tentang pokok-pokok pidana pasal 10 jo Pasal 11. Pidana mati dijatuhkan pada pelanggaran-pelanggaran berat. Namun sejak awal hukum positiv bawaan Belanda tidak menjamin HAM terutama bagi orang pribumi.
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Apakah ketika hukum mengatur mengenai hukuman mati maka hukum dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Padahal UUD 1945 sebagai konstitusi sebagai penjamin hak-hak dasar warganegara telah mengatur mengenai HAM. Tentu saja pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan sepenuhnya walaupun peraturan itu sendiri mengandung potensi untuk menjadi kriminogen.
Hukum secara jelas mengatur hukuman mati. Hukuman mati diadakan karena untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Memang arti keadilan bagi setiap orang adalah berbeda-beda. Menurut Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Jika kita melihat teori dari Gustav Radbruch di atas hukuman mati sudah dibakukan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang sehingga hukuman mati memilik kepastian hukum karena kekuatan undang-undang. Kekuatan undang-undang bersifat mengikat terhadap setiap warganegara. Sehingga setiap warga negara harus mengakui adanya eksistensi hukuman mati di Indonesia. Melihat dari nilai kedua yaitu keadilan pelaksanaan hukuman mati sendiri memiliki berbagai sudut pandang. Ada yang berpendapat hukuman mati telah memenuhi rasa keadilan dan ada pula yang menganggap bahwa hukuman mati tidak adil. Hukuman mati dikatakan telah memenuhi rasa keadilan karena hukuman mati dijatuhkan kepada mereka yang memang melakukan kejahatan-kejahatan berat yang tidak manusiawi, sehingga hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang setimpal dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sedangkan hukuman mati dianggap tidak adil, karena hukuman mati dianggap melanggar HAM karena telah merampas hak hidup seseorang dan berarti hukuman mati dianggap telah sewenang-wenang karena tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang melakukan kejahatan yang cukup berat untuk memperbaiki diri. Dan jika dilihat dari nilai yang ketiga, yaitu kemanfaatan maka hukuman mati dianggap bermanfaat karena dapat mengurangi tindak kejahatan dengan adanya efek jera sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.
Hal diatas sesuai dengan tujuan hukum menurut Van Apeldorn, yaitu hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup secara damai dan menurut Aristoteles hukum bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan.
Pelaksanaan hukuman mati
Hukuman mati diatur dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Dalam KUHP ada pengaturan penjatuhan pidana mati pada pasal 10 jo pasal 11. Penjatuhan hukuman mati juga diatur dalam undang-undang yang lain :
UU No.22/1997 tentang Narkotika;
UU No.5/1997 tentang Psikotropika;
UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM;
UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan;
UU No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi;
UU Anti terorisme dan perpu No. 1 tahun 2002; dan
Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU No 5 Tahun 1969
Banyak kasus yang telah dijatuhi hukuman mati seperti kasus Tibo, cs. Dalam pelaksanaan vonis hukuman mati tersebut banyak terjadi pro-kontra di dalam masyarakat. Dalam masyarakat banyak pihak yang menentang pelaksanaan eksekusi mati. Bahkan untuk kasus Tibo ribuan umat beragama dari berbagai daerah menuntut pembatalan eksekusi mati.
Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Penpres Nomor 2 Tahun 1964 pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pelaksanaan hukuman mati tidak dilakukan di muka umum, terpidana dikawal oleh polisi dan dapat juga didampingi oleh perawat rohani, terpidana ditutup matanya dengan sehelai kain namun bila terpidana tidak menghendaki dapat juga tidak ditutup matanya. Setelah itu dilakukan penembakan oleh regu penembak dengan aba-aba yang diberikan oleh komandan regu, senapan diarahkan tepat ke jantung terpidana. Jarak tembak minimal 5 meter dan maksimal 10 meter. Jika terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka salah satu regu penembak diperintahkan untuk menempelkan laras senapan di kepala terpidana tepat diatas telinganya dan memberikan tembakan sebagai tembakan terakhir.
Jika dikaitkan dengan sila ke-2 Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dan “hak hidup” setiap manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945, pelaksanaan hukuman mati dianggap telah merampas hak hidup dan dari sisi kemanusiaannya dianggap tidak adil, karena telah merampas hak hidup seseorang yang oleh konstitusi jelas-jelas disebutkan bahwa hak hidup seseorang itu tidak dapat dan tidak boleh dirampas ataupun dikurangi dalam keadaan apapun. Namun, hukuman mati tetap dilaksanakan guna melindungi hak-hak kemanusiaan orang lain.
Banyak konteroversi yang menyeruak ke permukaan di masyarakat mengenai hukuman mati. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Yang setuju menyatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan deterrence effect (efek jera) terhadap masyarakat. Lain halnya dengan pihak yang menggugat hukuman mati. Mereka beranggapan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak efektif dan lebih mendekatkan pada teori pembalasan pidana (vergeldingstheorie)3. Padahal pidana adalah sebagai langkah terakhir dalam menertibkan masyarakat, dan dalam penjatuhannya harus mempertimbangkan secara mendalam agar tidak terjadi kesalahan.
Yang menjadi masalah di Indonesia adalah ketika penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak terpidana mati mengalami ketidakjelasan nasib. Walaupun telah mendapatkan vonis mati namun eksekusi tidak kunjung dijalankan sampai bertahun-tahun. Hal seperti itu malah menimbulkan penderitaan baru bagi para terpidana. Mengingat yang akan dihadapinya adalah kematian.
Dengan adanya pelaksanaan hukuman mati maka dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat karena apabila tidak ada hukuman mati maka akan terjadi keresahan di masyarakat. Hal ini mungkin saja terjadi karena terpidana yang seharusnya dihukum mati, apabila tidak dihukum mati dikhawatirkan jika ia kembali ke masyarakat dapat mengulangi perbuatannya kembali dan mungkin saja semakin parah.
Alternatif hukuman
Berdasarkan UDHR disebutkan bahwa tidak seorangpun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina. Hukuman mati dapat dikatakan sebagai hukuman yang kejam bagi para pegiat HAM. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Sudut pandang mengenai hukuman mati bagi tiap orang berbeda-beda.
Eksekusi hukuman mati di berbagai negara di dunia dilakukan dengan berbagai cara sepeti pancung kepalayang dilakukan oleh Saudi Arabia dan Iran; sengatan listrik yang diterapkan Amerika Serikat; digantung sebagaimana praktek Mesir, Irak, Iran, Jepang, Yordania, Pakistan, Singapura; suntik mati yang diberlakukan Tiongkok, Guatemala, Thailand, AS; tembak mati yang juga diberlakukan Tiongkok, Somalia, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain; serta hukum rajam yang ada di Afganistan, Iran 5. Amerika sebagai negara yang selalu mengangungkan hak asasi manusia sendiri masih melaksanakan hukuman mati.
Menyikapi adanya pidana mati muncul beberapa wacana untuk melakukan penghapusan ataupun perubahan terhadap tata cara hukuman mati. Terlalu riskan untuk mengambil tindakan menghapuskan hukuman mati, karena resiko yang akan timbul bila hukuman mati dihapuskan akan semakin besar. Hal itu dapat diibaratkan sebagai kemenangan bagi para pelaku tindak pidana. Untuk itulah jika ingin menghapuskan hukuman mati harus ada alternatif hukuman pidana yang sama beratnya dengan hukuman mati agar dapat menimbulkan efek jera dan perbuatan tersebut tidak terjadi lagi.
Oleh karena itu menurut hemat kami hukuman mati harus tetap dilaksanakan namun dengan perubahan tatacara agar tidak menimbulkan rasa sakit dan penderitaan yang hebat bagi terpidana. Perubahan tatacara hukuman mati dapat dilakukan dengan cara seperti suntik mati. Suntik mati yang dilakukan harus memiinimalkan rasa sakit yang akan muncul. Suntik mati yang dilakukan bisa diawali dengan pemberian obat psikotropika seperti heroin dengan dosis yang menimbulkan halusinasi. Sehingga terpidana tidak akan merasakan sakit, dan eksekusi tersebut tidak menimbulkan penderitaan.
Ada pula yang menganggap bahwa sebaiknya hukuman mati digantikan dengan hukuman penjara seumur hidup. Namun hal ini justru menimbulkan penderitaan yang lebih berat bagi terpidana, secara fisik atau psikis. Kami menganggap wacana penggantian dengan pidana seumur hidup tidak relevan dan justru lebih melanggar HAM. Dapat dibayangkan jika Ayodya P Chaubey yang berumur 67 tahun, bila dia di jatuhi hukuman seumur hidup maka dapat dibayangkan pula derita yang dia alami dinginnya lantai penjara, kerasnya kehidupan di penjara, melakukan kerja rutin, dll. Alangkah lebih baik jika negara mengurangi derita hidupnya dengan vonis mati.
Dapat disimpulkan hukuman mati mengundang kontrofersi. Ada banyak pihak yang menginginkan hukuman mati dihapuskan. Melalui berbagai instrumen hukum internasional seperti UDHR dan protokol tambahannya, hukuman mati ingin dihapuskan dari muka bumi.
Namun sifat HAM yang partikular menganggap bahwa hukuman mati masih diperlukan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi warga negara lain. Bila hukuman mati ingin tetap dipertahankan maka harus melakukan beberapa perubahan dalam cara pelaksanaannya, sehingga hukuman mati dapat efektif menimbulkan efek jera.