Oleh wongbanyumas
Becak memang menjadi andalan bagi kaum miskin untuk mengais rupiah di tengah derasnya arus lalu lintas kota. Sejenak kita membayangkan dalam sebuah becak yang melaju santai di tengah padatnya kota. Semilir angin berhembus disela-sela tubuh kita yang duduk asik sedangkan abang becak terus mengayuh becaknya. Tak peduli bulir-bulir keringat mulai menetes dan membasahi handuknya. Seakan tak kenal lelah sang tukang becak semakin kencang menggenjot pedal sambil membayangkan rupiah yang bias ia persembahkan untuk keluarganya. Ya keluarganya yang butuh penghidupan menanti dengan sabar ayah mereka.
Hari ini ia begitu kecewa sebab di tengah jalan ia mendapatkan sempritan polisi. Ia tak faham bahwa mulai hari ini ia tak lagi bias melintas di jalan protocol. Tak adil memang baginya sebab di jalan itulah banyak penumpang yang menantinya. Batin terus menjerit dan merintih perih seraya berdoa pada tuhan agar ketidakadilan ini berhenti. Keluarganya butuh makan, anaknya butuh seragam sekolah dan buku, keluarganya perlu uang untuk membayar uang kontarakan yang sudah ditunggak dua bulan. Tak ubahnya sepotong kerupuk yang diguyur air tubuhnya gemetar dan meleleh ke tepi trotoar. Membayangkan kemana lagi akan mengais rizki.
Apakah anda pernah naik becak? Sebagian besar reader tentunya pernah menumpang becak. Becak sebagai sebuah sarana transportasi memegang peranan penting dalam masyarakat Indonesia. Selain sebagai sebuah alat transportasi becak juga punya nilai ekonomis yang tinggi. Sebuah becak bias menjadi sarana untuk memperoleh pecahan rupiah bagi mereka yang tak punya kemampuan lebih. Di berbagai kota di Indonesia banyak perda yang melarang becak untuk melintasi jalanan protocol. Banyak alasan yang diberikan bagi pelarangan becak. Mulai dari ketidaktertiban, semrawut, hingga menimbulkan kemacetan. Semua petaka lalu lintas ditumpahkan ke wajah para pengayuh becak.
Jikalau kita cermati kembali ketika becak dilarang karena menimbulkan kemacetan siapakah yang tergagnggu? Mereka yang punya mobil pribadi tentunya atau mereka yang mempunyai angkutan kota. Bagi orang kaya yang punya mobil tentunya becak dipandang nista. Mereka tak sudi berbagi jalan dengan para kuli genjot yang lusuh dan bau keringat. Mobil bagus mereka tak ingin bercampur dengan batangan besi tua yang sudah lapuk dimakan zaman. Mereka tak mampu mengeksplorasi kecepatan mobil mereka di tengah sesaknya becak yang berjejal di tepian jalan. Jijik wajah para pengendara mobil melihat pengayuh becak yang menampakkan ekspresi gembira lantaran mereka mendapat uang dari hasil keringat darah mereka sendiri.
Para pemilik angkutan mungkin berfikir lain. Mungkin pengayuh becak dianggap dapat mengurangi penghasilan mereka. Padahal armada angkot yang dimiliki mereka tak lebih sedikit dari becak yang berseliweran. Dan uang yang mereka terima tak lebih sedikit dari hasil jerih payah mengayuh becak. Mungkin para penguasa tak adil bagi mereka. Si kaya tak lagi mampu melihat saudaranya yang miskin gembira karena mendapatkan uang hasil kerja mereka sehari. Keserakahan dan keangkuhan telah menyingkirkan becakku ke sudut pinggiran kota. Sudut sempit yang semakin berjejalan dengan para pengendara ojeg.
Malam ini si abang becak hanya bias berharap agar besok datang rezeki untuk sekedar mengganjal perut. Apa salah mereka sehingga tak diperbolehkan melintasi jalan? Atas nama ketertiban dan tata kota telah membunuh puluhan bahkan ratusan jiwa yang menggantungkan nasibnya dari tiap putaran pedal becak. Wahai tukang becak, nasibmu kini tak ubahnya mereka yang terbuang. Terbuang oleh kecongkakan dan kesombongan manusia kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...