Penegakan hukum setengah mati
Oleh Wongbanyumas
Miris melihat betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Mulai dari pejabat sampai dengan rakyat jelata di Indonesia adalah seorang pelanggar hukum. Bahkna aparat penegak hukum sekalipun termasuk sebagai pelanggar hukum. Tengoklah sejenak kasus beberapa jaksa yang meminta uang suap kepada “klien” mereka di pengadilan. Tengoklah bagaimana kasus korupsi dan suap yang melibatkan bapak-bapak polisi kita. Sedih memang jika melihat kenyataan demikian. Padahal seharusnya merekalah yang menjadi ujung tombak penegakan hukum di Indonesia bukan sebagai lembaga yang menjadi pengkhianat terhadap hukum.
Masalah utama dalam penegakan hukum di negeri adalah kurangnya keseriusan pemerintah dalam hal pembinaan serta penegakan hukum. Selama ini yang menjadi fokus pemerintahan selalu memusatkan pada pembangunan serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Padahal seharusnya hukum dijadikan sebagai panglima. Namun lagi-lagi pemerintah berkelit bahwa pembangunan ekonomi harus didahulukan karena terkait kepentingan rakyat banyak.
Tidak salah argumen tersebut. Namun kita perlu melihat bahwa di setiap bidang kehidupan yang digeluti manusia membutuhkan suatu tata aturan. Tata aturan ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Perangkat inilah yang kemudian dinamakan sebagai perangkat hukum. Sampai dengan saat ini belum ada orang yang mampu memberikan definisi mengenai hukum yang dapat memuakan banyak pihak. Hal ini terkait pada fakta bahwa hukum juga dipengaruhi oleh unsur subjektifitas dari individu yang terlibat. Untiuk mendefinisikan saja mengandung unsur subjektif maka dapat dibayangkan penegakan hukum yang dipenuhi oleh unsur subjektif.
Fundamen negara Indonesia adalah UUD 1945 (amandemen). Dalam UUD 45 termaktub bahwa negara kita adalah negara hukum, apa artinya? Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang taat dan patuh kepada aturan hukum. Negara yang melandaskan sesuatunya kepada perangkat hukum. Hal ini justru lebih mengarahkan kepada konsep legisme dan pola pikir positivistik. Tujuan yang ingin tercapai memang baik yakni kepastian hukum bagi setiap warga negara. Akan tetapi pola pikir demikian dapat menimbulkan kekacauan hukum. Mengapa muncul kekacauan? Karena berlaku dalam keteraturan tersebut kita menemukan kerumitan dan keruwetan hukum. Keruwetan ini muncul ketika hukum tersebut kaku dan rigit serta tidak mampu menyelesaikan masalah kekinian.
Penegakan hukum sendiri dapat digolongkan menjadi dua yakni:
1. Preventif
Penegakan hukum yang dilakukan melalui cara ini adalah dengan mengkondisikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum. Dapat pula dikatakan sebagai tindakan pencegahan. Penegakan hukum secara persuasif perlu dilakukan agar masyarakat mengerti mengenai aturan hukum.
2. Represif
Penegakan hukum secara represif dilakukan bilamana telah terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan hukum. Dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi (punishment) atas kesalahan yang diperbuat.
Melihat dua poin tersebut kita harus menyeimbangkan antara penegakan hukum secara prevebtif dan represif. Pendekatan preventif didahulukan. Sebenarnya sangatlah mudah ketika kita memperdebatkan pelanggaran aturan hukum. Banyak orang selama ini tidak sadar telah menjadi seorang pelanggar hukum.
Berdasarkan hasil pengamatan saya selama ini di jalan kampus. Saya menemukan fakta bahwa pelanggar aturan paling banyak adalah mahasiswa. Ini menjadi fenomena yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan. Sebagian besar mahasiswa sendiri mengakui hal ini dan mereka memberikan argumen serta pembelaan terhadap tindakan mereka. Dan satu alasan klise yang sering terdengar adalah tidak adanya aparat kepolisian. Sepintas terdengar seperti alasan yang cukup logis. Namun jika direnungkan alasan tersebut menjadi bukti bahwa mental ketaatan akan hukum belum terbentu. Kesadaran tertinggi untuk mengakui adanya kebutuhan akan aturan hukum akan muncul.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...