Oleh wongbanyumas
Akhirnya DPR telah merampungkan undang-undang tentang pemilihan presiden pada bulan oktober kemarin. Undang-undang ini lahir setelah begitu banyak tarik-ulur antar fraksi mengenai ketentuan dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Beberapa hal yang menjadi perdebatan sebelumnya antara lain menenai kuota pencalonan partai politik oleh partai atau gabungan partai. Kemudia juga muncul wacana bahwa presiden atau wakil presiden tidak boleh menjadi pimpinan partai politik. Pada awalnya banyak pandangan dari fraksi-fraksi di DPR mengenai kuota pencalonan partai politik.
Secara garis besar ada tiga pendapat. Pertama, kuota pencalonan presiden adalah tiga puluh persen. Usulan ini diusung oleh dua partai yang menguasai perlemen, yakni Partai Golkar dan PDI-perjuangan. Kedua partai ini berpendapat bahwa kuota tiga puluh persen sebagai upaya penguatan sistem presidensial. Dengan semakin sedikitnya jumlah pasangan calon yang akan melaju dalam kancah pemilu maka diharapkan akan menjadi efektif. Sebab sistem presidensial di negeri ini kacau balau. Salah satu penyebabnya adalah adanya sistem multi partai. Sebab sistem presidensial yang baik adalah didukung dengan partai yang sedikit. Akan tetapi kenyataannya adalah sistem presidensial di Indonesia di dukung dengan sistem partai yang membludak.
Alasan lain yang dikemukakan oleh dua partai ini juga terkait biaya pemilu. Dengan kuota tiga puluh persen maka kemungkinan besar hanya ada dua pasangan calon yang akan bertarung. Pastinya pasangan calon ini didukung oleh partai besar maupun koalisi antar partai kecil. Dengan hanya melibatkan dua pasangan calon maka dapat dipastikan tidak akan ada Pilpres putaran kedua. Pilpres putaran kedua pada tahun 2004 lalu menghabiskan dana sampai dengan 700 milyar. Alangkah baiknya jika uang tersebut tidak menguap untuk dana pemilu.
Kedua, lima belas persen kuota untuk mengajukan calon presiden dan wakilnya. Usulan ini diwacanakan oleh fraksi PAN. Melalui ketua fraksinya PAN berpendapat bahwa kini masyarakat membutuhkan alternatif dalam memilih pemimpin. Maka dengan kuota lima belas persen dimungkinkan ada empat atau bahkan enam calon presiden. Jangan sampai pemilu yang akan datang hanya didominasi oleh calon yang dikatakan “elu lagi elu lagi”. Harus ada banyak opsi calon pemimpin agar masyarakat tidak terjebak dengan muka-muka lama yang terbukti sudah gagal menyejahterakan Indonesia. Masyarakat kini pun sudah cerdas dalam menentukan pilihan politiknya.
Ketiga, usulan PKS sebesar dua puluh lima persen. Argumentsi yang diajukan kampir sama dengan Golkar dan PDIP yang menginginkan penguatan sistem presidensial. Namun dalam hal ini PKS memberikan kelonggaran agar nantinya ada Capres-Cawapres alternative. Jika masyarakat hanya disuguhkan dengan dua pasangan calon maka hal tersebut juga akan memberikan dampak bagi masyarakat. Yaitu terjebak dengan pilihan yang “lama”. Denagn kuota dua puluh lima persen setidaknya ada tiga pasangan caloin yang akan melenggang.
Namun akhirnya rapat paripurna DPR memutuskan kuota pencalonan sebesar dua puluh persen. Penentuan kuota ini sebenarnya mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap implementasi sistem presidensial. Sistem presidensial pertama kali tercetu di Amerika Serikat pada abad 18. Saat itu konstitusi AS menentukan bahwa kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang presiden. Presiden pertama di dunia adalah George Washington.
Ciri sistem presidensial menurut alan ball dan guy peter adalah:
1. Presiden adalah kepala Negara dan kepala pemerintahan.
2. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih rakyat.
3. Presiden bukan bagian dari parlemen, tidak dapat diberhentikan oleh parlemen kecuali melalui impeachment.
4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Mengacu pada pendapat dosen tata Negara, Denny Indrayana. Menurutnya sistem Presidensial di Indonesia dapat di kategorikan menjadi tiga yakni :
1. Presiden sial (minority presidential)
Yakni sistem presidensial yang didukung oleh minoritas fraksi dalam parlemen. Hal inilah yang menimpa Gusdur yang ketika itu menjadi presiden berkat dukungan poros tengah yang terdiri dari partai-partai kecil. Sehingga kedudukan parlemen jika dibandingkan dengan parlemen sangatlah lemah. Sehingga pada akhirnya Gusdur di makzulkan atas kasus Bruneigate.
2. Presiden sialan (majority presidential)
Presiden sialan mengacu pada pemerintahan masa orde baru. Dimana presiden didukung oleh mayoritas parlemen. Pada saat itu partai politik dirampingkan sehingga dukungan terhadap presiden dari salah satu fraksi menjadi sangat besar. Sehingga pada akhirnya posisi presiden pun lebih superior dari parlemen. Hal ini mengakibatkan lemahnya mekanisme check and balances
3. Presidensial (effective presidential)
Sampai dengan saat ini di Indonesia sistem presidensial murni belum pernah terwujud. Meskipun jika kita menilik pada UUD 45 yang mulai mengarah pada sistem presidensial murni. Antara lain dengan adanya penaturan mengenai pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Namun ternyata masih ada benturan dengan sistem parlementer. Kelemahan sistem politik di negeri ini adalah sistem banyak partai yang justru mengacaukan sistem presidensial.
Kini UU pilpres telah terbentuk semoga saja UU tersebut dapat dijalankan dengan sesuai. Masih ada cara untuk mewujudkan sistem presidensial yakni dengan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...