Oleh wongbanyumas
Hukum sebagai sebuah perangkat lunak yang bekerja dalam sebuah sistem. Sistem yang terintegrasi dengan sebuah perangkat keras (hardware) yankni para aparat penegak hukum. Sebagai sebuah rangkaian kerja yang saling memiliki keterkaitan antara hukum dengan perangkat hukum hendaknya dapat berjalan sesuai komando dari user/pengguna hukum. Jika diibaratkan sebagai sebuah rangkaian komputer maka hukum adalah sistem operasi yang ada dalam komputer tersebut. Sistem operasi memegang peranan penting karena fungsinya yang menjadi ruh bekerjanya perangkat keras macam keyboard, monitor, motherboard, dan processor. Dengan adanya sebuah sistem operasi maka komputer akan berfungsi. Namun jika tidak ada perangkat lunak maka kumpulan perangkat keras tak lebih dari seongok sampah yang tidak berharga. Begitu pula dalam sebuah sistem hukum, tanpa adanya produk hukum yang baik maka tidak akan ada proses penegakan hukum.
Hukum sendiri sebagai sebuah ide abstrak tentang keadilan, kepastian serta kemanfaatan. Ketika ide tersebut dipersatukan akan sangat sulit untuk mewujudkannya dalam dunia realitas. Bahkan dengan konsep keadilan sekalipun tidak ada kesefahaman antar para ahli hukum. Para begawan ilmu pengetahuan sosial seperti aristoteles, grotius, fakhruddin al-razi, marx, dworkin, toynbee, sampai kelsen pun tidak menemukan kesepakatan akan konsep keadilan. Keadilan sebagai akhir perjalanan hukum. Setiap masyarakat mencita-citakan akan adanya keadilan dalam berhukum. Namun kadang kita dibuat bingung dengan proses penegakan hukum yang aneh. Seringkali kita melihat bagaimana hukum memberikan perlindungan bagi mereka yang memiliki strata sosial lebih baik dalam sebuah komunitas masyarakat.
Lawrence friedman menyatakan bahwa pemahaman akan hukum lebih dimiliki oleh mereka yang mempunyai tingkat kemakmuran dan pendidikan yang lebih baik. Thesis friedman ini memang sangatlah tepat jika kita melihat konsep kekinian. Saat ini hukum diibaratkan sebagai sebuah hutan yang gelap gulita dan penuh dengan cabang dan perakaran pohon rindang. Sangatlah sulit bagi orang biasa yang tidak mengenal hutan tersebut untuk menembusnya. Kalaupun bisa tentunya akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Keruwetan hukum sendiri merupakan sebuah bentuk yang diciptakan oleh para penegak hukum itu sendiri. Sistem birokratisasi dalam berhukum membuat hukum semakin tak teratur. Kita dipusingkan dengan setumpuk kitab yang berisi pasal-pasal yang memiliki tafsiran ganda. Dengan sekumpulan larangan yang malah membuat kita makin tidak mengerti dengan hukum itu sendiri.
Teaching order finding disorder, mempelajari keteraturan(hukum) akan menemukan sebuah ketidakteraturan. Mungkin inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan bahwa hukum di negeri memang kacau. Berbagai masalah dalam dunia hukum seperti mafia peradilan, korupsi, kesewenang-wenangan, dan suap seolah menjadi hal yang biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kita tidak berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang semata-mata bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Paradigma positivisme hukum memang menjadi pegangan setiap ahli hukum (sarjana). Hal ini tentunya tidak dapat dipersalahkan begitu saja sebab paradigma positivisme memang merupakan paradigma pemikiran hukum yang mendominasi. Positivisme lahir dalam sistem hukum eropa kontinental. Bermula dari pemikiran ahli ilmu sosial prancis Henri Saint Simon dan Auguste Comte. Positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran metafisis yang abstrak. Setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata.
Seiring dengan perkembangan jaman positivisme hukum mulai mendapatkan pertentangan. Positivisme sendiri lahir sebagai anti tesis pemikiran hukum alam. Jika melihat pada proses dialektika paradigma hukum kita akan melihat begitu banyak pertentangan seperti kritik positivisme terhadap hukum alam, kritik realisme kepada positivisme, post modernisme yang meruntuhkan pemikiran modernisme. Lahirnya post modernisme pada abad 19 mencoba mendekonstruksikan pemikiran yang lebih mapan. Sifat post modernisme adalah meyakini kebenaran plural. Munculnya paradigma pemikiran baru dalam ilmu hukum tidak mematikan pemikiran yang telah usang. Melainkan menambah khazanah baru dalam berhukum. Konstruksi hukum saat ini ditentukan oleh paradigma yang mendominasi yakni positivisme. Positivisme memang merupakan sebuah obat mujarab bagi negara yang sedang berkembang dimana negara masih berusaha membentuk fundamen hukum dan struktur ketatanegaraan yang mapan.
Paradigma post modern sebagai anti tesis dari paradigma sebelumnya lahir untuk memecah kebuntuan dalam berhukum. Baudrillard dan derrida merupakan pencetus post modernisme fase awal. Salah satu bentuk pemikiran post modernisme hukum antara lain critical legal studies dan hukum responsif. Di Indonesia kini mulai didengungkan hukum progresif. Hukum Progresif yang dicetuskan Satjipto Raharjo yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusian. Bagi pemikiran hukum progresif tujuan hukum bukanlah hanya sekadar penemuan keadilan. Bukan pula penegakan hukum (law enforcement). Namun tujuan hukum adalah kebahagiaan manusia.
Untuk mewujudkan kebahagiaan tersebut hendaknya hukum juga bersifat partisipatif. Artinya hukum tidak hanya merupakan kehendak dari penguasa melainkan juga dari keinginan serta aspirasi masyarakat. Hukum dapat dikatakan efektif apabila hukum tersebut dapat menciptakan sebuah tata yang dinamis. Ketaatan pada hukum tidak melulu dilandaskan pada sanksi yang berat juga melalui pada kesadaran hukum. Kesadaran hukum sendiri dipengaruhi oleh nilai yang hidup dalam interaksi sosial. Setiap peristiwa dalam masyarakaata dapat diinterpretasikan sebagai hukum yang hidup. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan pandangan positivisme. Masyarakat akan mentaati sebuah aturan hukum apabila masyarakat merasa aturan tersebut adil.
Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
1. hukum represif, hukum sebagai pelayan kekuasaan represif
2. hukum otonom, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya
3. hukum responsif hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial
Pemikiran hukum progresif menurut saya tak lepas dari munculnya hukum responsive yang dicetuskan nonet dan selznick. Hukum progresif lahir hingga melampaui eksistensi hukum positif (hukum yang berlaku saat ini), sosiologi hukum, realisme hukum, dan seterusnya. Pemikiran humanistik dan mekanistik (sistem) disatukan dengan jernih oleh Satjipto Rahardjo dalam mengkonsepsikan hukum. Latar belakang Prof Tjip sebagai begawan hukum yang mengedepankan ide sosiologi hukum dalam setiap pemikirannya. Penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Berbeda dengan teori murni hans kelsen yang menghilangkan anasir non hukum dalam kajian hukum. Bahkan hukum harus bebas dari anasir sosial maupun politik yang kerap kali menyelimuti setiap produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu hendaklah kita berusaha untuk mewujudkan ide serta gagasan progresif mengenai hukum ini. Hukum dibuat untuk kebahagiaan manusia dan manusia tidak hidup untuk mematuhi hukum.
Dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo ungkapkan pendapat kamu...